SBY, Kepemimpinan Melodramatik

Presiden RI ke-6 Susislo Bambang Yudhoyono/Akun Facebook SBY

Koran Sulindo –  Kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai berusaha meraih simpati rakyat dengan cara memerankan diri seakan sebagai korban (playing victim), dan kerap menampilkan diri sebagai  figur yang membawa-bawa perasaan (baperan) dalam ranah politik.

“Tipe kepemimpinan melodramatik bisa jadi hanya muncul di Indonesia. Pemimpin tipe ini mendasarkan sumber otoritasnya berdasarkan rasa kasihan dan terharunya rakyat,” kata Ketua Umum DPN Seknas Jokowi Muhammad Yamin, di Jakarta, Rabu (19/9/2018), melalui rilis media.

Menurut Yamin, gaya melodramatik ini muncul kembali menyusul artikel Asia Sentinel, situs berita berbasis di Hongkong, yang berjudul SBY Government: Vast Criminal Conspiracy. Artikel yang ditulis John Berthelsen itu mensinyalir pemerintahan SBY secara konspiratif dan sistematis telah meraup sekitar USD 12 miliar atau setara Rp 177 triliun, termasuk dari skandal Bank Century.

“Sang mantan  presiden ini merasa menjadi korban fitnah. Lantas, semua anak buahnya melantunkan koor yang sama seperti bosnya. Padahal, kalau mau mengklarifikasi berita yang dituduh fitnah itu, SBY dan barisan anak-buahnya tinggal melakukan upaya hukum, tidak berkoar-koar di media massa,” katanya.

Pada pidato politik peringatan ulang tahun Partai Demokrat kemarin lusa, SBY dinilai masih melantunkan lagu melodramatik yang sama, sambil mengatakan akan mengambil langkah hukum terhadap para pengedar berita fitnah tersebut. Dalam pidato politik yang sama, SBY mengumbar berbagai pencapaian selama masa sepuluh tahun masa pemerintahannya.

“Dengan pencapaian tak berbekas dan gaya kepemimpinan melodramatik yang masih dianut dan dijalankannya, terus terang saya meragukan SBY mampu membawa Partai Demokrat mencapai kejayaan di masa depan,” katanya.

Menurut Yamin, karakter kepemimpinan SBY itu tidak mengusung nilai-nilai utama dalam berpolitik. Salah satunya karakter SBY adalah tidak setia. Rekam jejak ketidaksetiaan itu paling nyata terlihat saat ia bermain politik “dua muka” menjelang pilpres 2004.

“Meski kemudian SBY berhasil menang dalam pilpres masa itu, politik “dua muka” itu telah meninggalkan bekas yang tak mudah terhapus,” kata Yamin. [DAS]