Koran Sulindo – Untuk mencapai target pertumbuhan ekspor, komoditas sawit disebut bisa menjadi andalan untuk membantu mencapainya. Pasalnya, komoditas non-minyak dan gas lainnya seperti baja, alas kaki dan tekstil kalah bersaing dengan negara lain.
Kementerian Perdagangan pada tahun ini menargetkan pertumbuhan ekspor mencapai 11%. Target ini meningkat jika dibandingkan target sebelumnya yang hanya 7%. Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, ekspor minyak sawit dan turunannya menyumbang 15% dari total ekspor non-migas. Terlebih harga minyak kelapa sawit (CPO) masih cenderung tinggi yaitu US$ 650 per ton.
“Jika ekspor meningkat, maka perekonomian Indonesia bisa tumbuh lebih baik. Tidak perlu mencapai 11%, bila ekspor tumbuh 7% saja, ekonomi kita bisa tumbuh lebih dari 5,1%,” kata Bhima seperti dikutip Kontan pada Rabu (7/3).
Kendati sawit bisa membantu untuk mencapai target pertumbuhan ekspo, akan tetapi, Indonesia mengalami kendala untuk itu. Salah satunya karena indeks inovasi Indonesia yang rendah di tingkat internasional. Indeks inovasi Indonesia berada di urutan ke-87, sedangkan indeks kompetitif berada di urutan ke-36.
Dari data itu, indeks kompetitif kita bergerak membaik. Namun, indeks inovasi masih tertinggal, kata Bhima. Kelapa sawit disebut sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Buktinya, tahun lalu, misalnya, devisa negara bertambah Rp 300 triliun dari sawit. Kemudian, menyerap tenaga kerja sekitar 8,2 juta tenaga kerja.
Juga ikut meningkatkan kinerja manufaktur dan menurunkan angka kemiskinan di luar Jawa, terutama di perkebunan sawit. Karena itu, untuk mendorong sektor sawit ini, pemerintah harus melakukan beberapa hal seperti memberi kepastian hukum dan iklim investasi, memberi insentif bagi peningkatan kerja sama inti plasma, membuka pasar alternatif dan memperkuat diplomasi dagang serta mendorong hilirisasi industri sawit. [KRG]