Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un (tengah), di mausoleum di Pyongyang, tempat disemayamkan jenazah ayahnya (Kim Jong-il) dan kakeknya (Kim Il-sung). Foto: KCNA

Koran Sulindo – Pihak Korea Utara mengatakan pada Senin ini (11/7) telah memutuskan satu-satunya saluran resmi komunikasi diplomatik mereka dengan Amerika Serikat. Sikap ini merupakan balasan atas sanksi Washington atas pemimpin utama mereka, Kim Jong-un, yang dituding Amerika Serikat telah melakukan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia.

Misi Diplomatik Korea Utara untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York memberi tahu pemerintah Amerika Serikat soal pemutusan komunikasi diplomatik itu pada hari Ahad kemarin (10/7), sebagaimana diinformasikan Pusat Pemberitaan Resmi Korea Utara (KCNA), seperti diberitakan The New York Times, Senin ini.

Memang, meskipun dua negara itu tidak memiliki hubungan diplomatik, misi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah lama dijadikan titik kontak dan sering digunakan untuk mengatur perundingan yang bertujuan mengakhiri program senjata nuklir Korea Utara.

“Karena Amerika Serikat tidak menerima permintaan kami agar sanksi ditarik, kami mengambil tindakan nyata satu per satu. Yang pertama adalah benar-benar memutus saluran komunikasi New York, satu-satunya titik kontak resmi yang telah ada di antara kedua belah pihak,” demikian diinformasikan KCNA, mengutip pemberitahuan dari Misi Diplomatik Korea Utara untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pihak Korea Utara juga mengatakan, mereka sekarang ini akan memperlakukan semua masalah dengan Amerika Serikat, termasuk penanganan dua orang Amerika Serikat yang ditahan di Korea Utara, di bawah hukum perang. Namun, tidak diperinci bagaimana keputusan mereka terhadap dua orang warga Amerika Serikat yang ditahan itu, yakni Kim Dong-chul dan Otto F Warmbier. Kim Dong-chul adalah warga Amerika Serikat kelahiran Korea, yang dijatuhi hukuman kerja paksa selama 10 tahun pada April lalu karena didakwa menjadi mata-mata dan sejumlah pelanggaran lain. Sementara itu, Otto F Warmbier dihukum kerja paksa selama 15 tahun karena mencoba mencuri spanduk politik dari hotelnya di Pyongyang, ibu kota Korea Utara. [PUR]