Ilustrasi/Puspen TNI

Koran Sulindo – Tim Gabungan Satgas Kesehatan TNI Kejadian Luar Biasa (KLB) memasuki kampung-kampung terpencil yang berada di Kabupaten Asmat, Papua, untuk  mengobati warga yang terkena wabah penyakit.

Tim terdiri atas Pusat Kesehatan TNI, Pusat Kesehatan TNI AD, Dinas Kesehatan TNI AL dan Dinas Kesehatan TNI AU bersama dengan Dinas Kesehatan Wilayah setempat.

“Dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan, Satgas Kesehatan TNI dibagi menjadi delapan Tim Kesehatan Gabungan yang terdiri atas TNI, Dinkes, Pemda Asmat dan Aparat Kewilayahan diterjunkan ke Distrik (Kecamatan) di wilayah Kabupaten Asmat dengan menggunakan speed boat sebagai transportasi utama menuju titik-titik lokasi,” kata Kabidpenum Puspen TNI, Kolonel Inf Bedali Harefa, di Jakarta, Sabtu (20/1/2018), melalui rilis media.

Pada Jumat (19/1/2018) kemarin, para dokter spesialis dan paramedis bersama personel Puskesmas setempat mendatangi rumah-rumah warga dengan melaksanakan pemeriksaan kesehatan dan pemberian vaksin kepada anak-anak.

Data sementara berdasarkan laporan Posko Satgas Kesehatan TNI Kejadian Luar Biasa (KLB) antara 17-19 Januari 2018, sekitar 4.006 warga Asmat telah mendapatkan pelayanan kesehatan. Satgas Kesehatan TNI KLB juga menempatkan 9 dokter spesialis anak di RSUD Agats, Kabupaten Asmat, karena jumlah penderita anak-anak di situ sangat banyak.

Disamping itu, Satgas Kesehatan juga mendistribusikan logistik antara lain biskuit, susu, makanan tambahan Balita, makanan tambahan ibu hamil, beras, dan minyak goreng.

Wabah penyakit campak dan difteri di kampung-kampung Kabupaten Asmat kebanyakan yang menjadi korban adalah bayi dan anak-anak kecil.

Nutrisi Tepat

Sementara itu, pemberian nutrisi yang tepat dan sesuai menjadi langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan berat badan anak dengan status gizi buruk di Agats, Kabupaten Asmat itu.

Dengan pemberian nutrisi yang tepat diharapkan anak dengan status gizi buruk setidaknya mengalami peningkatan berat badan sedikitnya rata-rata 5-10 gram per kilogram per hari.

“Jadi sedikitnya dibutuhkan waktu sekitar 9-10 hari untuk memantau kemajuan berat badan,” ujar dr. Ratri, Sp.GK, salah satu dokter spesialis yang diberangkatkan ke Asmat, di Papua, Sabtu (20/1/2018), melalui rilis media Kementerian Kesehatan.

Waktu rawat inap yang dibutuhkan terbagi menjadi sekitar 1-2 hari pertama untuk stabilisasi yaitu dengan pemberian formula WHO F75, lalu tujuh hari berikutnya untuk masa transisi dilanjutkan dengan pemberian Formula F100. Sehingga, dibutuhkan waktu sekitar 10 hari perawatan jika tidak disertai penyulit-penyulit lainnya.

Setelah fase transisi, Balita gizi buruk yang telah meningkat statusnya menjadi gizi kurang bisa dipulangkan untuk kemudian masuk ke fase rehabilitasi yang dilakukan di lingkungan keluarga. Pada fase rehabilitasi di rumah, keluarga harus tetap melakukuan perbaikan gizi anak dengan kontrol dari petugas Puskesmas setempat.

Pada fase ini orang tua diharapkan memberikan makanan tambahan dengan nilai gizi yang sesuai untuk meningkatkan status gizi anak ke gizi baik. Salah satu hal yang menjadi peyebab kurangnya penyerapan nutrisi sehingga timbul gizi buruk di Agats adalah cacingan pada anak.

“Cacingan pada anak juga menjadi penyebab minimnya asupan gizi yang diserap tubuh anak karena nutrisi pada makanan diambil oleh cacing. Jadi di samping penatalaksanaan gizi diberikan rehidrasi, multivitamin, juga obat cacing,” kata dr. Ratri.

Selain itu, pemberian sumber protein sangat penting untuk memperbaiki status gizi anak dengan gizi buruk. Setelah anak kembali ke keluarga,  diharapkan orang tua terus memberikan makanan bersumber protein seperti ikan dan kacang hijau atau menyesuaikan dengan ketersedian pangan setempat.

Sementara untuk pengolahan, sumber makanan mengandung protein sebaiknya diolah dengan cara direbus, bukan digoreng agar kandungan protein pada makanan tersebut tetap terjaga. “Jadi kebiasaan mereka di sini itu, anak dikasih nasi dan kuah ikan. Tapi kita tidak tahu apa karena faktor kemampuannya atau ketidaktahuan mereka,” kata dr. Ratri. [DAS]