Setelah pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia, semasa Republik Indonesia Serikat (RIS), karir Sartono kemudian mapan menjadi seorang politisi yang bergerak di legislatif. Secara berturut-turut, Sartono dipilih sebagai Ketua DPR-RIS, DPRS-RI, dan DPR-RI (1950-1959). Karena itu, ia dijuluki “Bapak Parlemen Indonesia”.

Meski begitu, ia juga sempat menduduki sejumlah jabatan eksekutif. Yang tertinggi adalah saat ia menjabat Pejabat Presiden RI, di tahun, sekitar Januari sampai Februari 1958.  Selaman menjadi Penjabat Presiden RI, Sartono menandatangani sejumah lembaran negara. Salah satunya adalah Undang-undang No. 8 tahun 1958 tentang penetapan Undang-undang Darurat No. 9 tahun 1954 (mengenai perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara).

Ia juga pernah ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPA, Maret 1962. Di tahun yang sama ia tercatat sebagai anggota Panitia Negara untuk Peninjauan kembali Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum MPR/DPR/DPRD Tingkat I dan Tingkat II.

Pada dasarnya Sartono lebih dikenal sebagai tipe politisi administratur. “Ia secara sadar meneriakkan simbol-simbol partai jika dia pandang perlu, terutama ketika berpidato kepada kader partai, tapi terlihat ia tidak terlalu nyaman dengan hal-hal seperti itu, dan juga tidak terlalu bagus dalam hal-hal seperti itu,” tulis Daniel S. Lev di jurnal Indonesia, terbitan Universitas Cornell Amerika Serikat, edisi April 1969.

Sosok Sartono cenderung pendiam, bersikap berhati-hati, dan selalu detail dalam pengambilan keputusan. Gaya bicaranya kalem, tidak meledak-ledak, dan terstruktur. Sebagai aristokrat Jawa, Sartono sangat menjaga etika dan tatakrama. Hal ini, misalnya, tercermin dari hubungan dan komunikasi sehari-harinya dengan sang putri. “Kalau saya mau bicara dengan Bapak, muncul rasa takut, tunduk, canggung, lalu menggunakan bahasa Indonesia yang benar-benar halus dan sopan. Padahal dengan Ibu, saya selalu berbahasa Jawa. Kalau dengan Bapak tidak boleh seperti itu,” tutur Sri Mulyati Muso, putri kedua Sartono.

Sartono merupakan bangsawan keturunan langsung Mangkunegoro, tapi berpola hidup sederhana. Satu-satunya “keroyalan” yang bisa dikritik dalam kehidupan politiknya, karena Sartono sangat sering berfoto ke studio foto ketika mengadakan perjalanan ke luar-negeri.

Pada dasawarsa pertama setelah kemerdekaan, demi mencegah politisi PNI melakukan korupsi, Sartono mendorong dua sahabatnya, Iskaq Tjokrohadisurya dan Yap Tjwan Bing, berbisnis membantu keuangan partai. Bersama beberapa anggota PNI, mereka mendirikan Bank Umum Nasional (BUN). Tapi, ia sendiri tak pernah mengambil keuntungan apapun dari bank tersebut.

Rumah yang ia tempati sampai meninggalnya di kawasan Menteng tampak tertata rapi, tetapi tanpa perabot yang berlebihan. Hanya seperangkat mebel tua dan kumpulan foto dari pengabdiannya di parlemen yang ditinggalkannya. Pada awal 1960-an ia menolak tawaran membeli sebuah rumah mewah (untuk ukuran masa itu) di jalan Imam Bonjol Jakarta, dengan harga jauh di bawah harga pasar masa itu. Alasannya, karena ia memang tak punya uang yang cukup untuk membeli rumah tersebut.

Selama menjadi “pengangguran politik” setelah parlemen dibubarkan, Sartono lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan berolah-raga, membaca buku, dan menerima tamu dalam dan luar negeri yang rata-rata berpofesi penulis. Di masa itu pula, Sartono sering berbicara dengan gaya seperti Semar, tokoh punakawan dalam pewayangan, walau tetap saja ia terlalu ganteng untuk bisa benar-benar merasuk ke karakter itu.

Sepanjang 1950-an sampai awal 1960-an, Sartono termasuk tokoh yang menyertukan agar PNI dibangkitkan lagi dengan cara mendorong anak-anak muda masuk ke jajaran pimpinan partai. Namun, penolakan atas idenya itu sangat kuat. Ia tahu itu, dan dan hanya bisa marah.

Barulah dalam Kongres PNI  X di Purwokerto, Mei 1963, seruan Sartono terwujud. Dalam kongres ini, tokoh senior PNI Ali Sastroamidjojo kembali terpilih sebagai ketua umum. Tapi, sebagai sekretaris jenderal DPP PNI terpilih Surachman, tokoh muda yang sebelumnya aktif di PETANI, ormas sayap PNI yang bergerak di kalangan petani.  Selain itu, beberapa tokoh muda dari GMNI dan Pemuda Demokrat juga ditunjuk sebagai pengurus di Dewan Pimpinan Pusat PNI.

Sartono adalah seorang berintegritas tinggi dan punya kepedulian tinggi terhadap nasib wong cilik. Dalam setiap kesempatan, ia selalu mengkritik ketimpangan ekonomi antara Indonesia dengan dunia Barat, juga antara kaum elit dengan rakyat kecil. Sartono selalu berdiri paling depan jika telah menyangkut hak dan harga diri bangsa Indonesia.

Pada 1961 Sartono mendapat Bintang Mahaputra Adiprana dan Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan. Ia meninggal di Jakarta pada 15 Oktober 1968 pada usia 68 tahun.

Sayangnya, pemikiran Sartono tentang pendidikan, demokrasi, dan nasionalisme belum banyak dipublikasikan. Salah satu buku tentang Sartono, terbit tahun 2014 lalu, berjudul Mr. Sartono: Pejuang Demokrasi Dan Bapak Parlemen Indonesia. Buku yang ditulis Daradjati itu lahir karena keprihatinan melihat penamaan jalan-jalan besar didominasi oleh tokoh eksekutif, seniman, dan negarawan. Belum ada satu pun tokoh parlemen diabadikan menjadi nama jalan.