Sarmidi Mangunsarkoro

Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, dinamika perpolitikan nasional bergerak cepat. Soekarno, selaku Presiden Republik Indonesia dan tokoh utama pergerakan kebangsaan, menginginkan terbentuknya sebuah “partai pelopor”.

Pendirian “partai pelopor” itu dimaksudkan Bung Karno untuk menyesuaikan diri dengan keadaan revolusioner agar kekuatan-kekuatan politik tidak terpecah belah karena adanya banyak partai politik. Namun, “partai pelopor” ini tak sempat berdiri. Bahkan sembilan hari kemudian, 1 September 1945, gagasan tentang “partai pelopor” itu diabaikan karena dianggap akan menyaingi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)—sebuah organisasi yang resminya adalah pembantu presiden, namun melaksanakan fungsi partai dan fungsi parlemen sekaligus.

Gagasan “partai pelopor” itu menjadi sirna ketika pada tanggal 3 November 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah, yang ditandatangani Wakil  Presiden Mohamad Hatta.

Sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah itu muncullah beraneka partai politik yang didirikan berbagai kelompok aliran politik. Pada 7 November 1945 didirikan Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia). Bulan Desember 1945 berdiri Partai Sosialis, yang merupakan gabungan Partai Sosialis Indonesia pimpinan Amir Sjarifudin, dan Partai Rakyat Sosialis pimpinan Sutan Sjahrir.

Melihat perkembangan itu, sejumlah tokoh nasionalis mengadakan pertemuan di rumah Suwirjo, di Jalan Pegangsaan Barat N0. 6, Jakarta. Pertemuan yang berlangsung 4 Desember 1945 itu, selain tuan rumah hadir pula Sarmidi Mangunsarkoro, Mukarto, Saabilah Rasjad, Mr. Lukman Hakim, Osa Maliki, Sudiro, dan Mr. Sunario. Dalam pertemuan itu disepakati pembentukan Serikat Rakyat Indonesia (Serindo), dan Sarmidi ditunjuk sebagai ketua.

Selanjutnya, Serindo menggalang beberapa partai-partai lokal yang garis ideologinya sama. Dan, pada 29 Januari 1946, Partai Nasional Indonesia (PNI) baru dibentuk lagi sebagai hasil fusi tujuh kelompok nasionalis: Serindo, PNI Madiun, Partai Republik Indonesia (yang dididirikan di Madiun oleh Dr. Soeradji), PNI-Pati (yang dipimpin Sarino Mangunpranoto), Partai Kedaulatan Rakyat (yang didirikan Sujono Hadinoto di Yogyakarta), PNI-Sumatra (yang dipimpin Dr. A.K. Gani), dan PNI-Sulawesi (dibawah pimpinan Manai Sophiaan). Pembentukan PNI itu dideklarasikan dalam Kongres Serindo yang diselenggarakan di Kediri, Jawa Timur, 28 Januari sampai 1 Februari 1946. Dari komposisi pimpinan partai, falsafah, dan program partai tersebut, tampak jelas bahwa PNI 1946 mewarisi ideologi PNI 1927.

Sebagai ketua umum dipilih Sarmidi Mangunsarkoro, yang sebelumnya menjabat Sekjen Serindo. Dalam jajaran pimpinan partai hasil kongres tersebut tercatat sejumlah tokoh nasionalis terkemuka, seperti: Mr. Sartono, Mr. Wilopo, Sidik Djojosukarto, A.K. Gani, Manai Sophiaan, Mr. Sumanang, dan Sudiro.

Para anggota penting Dewan Partai mempunyai hubungan akrab satu sama lain dalam PNI 1927, Partindo, dan kemudian Gerindo. Selama pendudukan Jepang mereka juga menjalin kerjasama erat dengan Soekarno dalam birokrasi dan organisasi massa seperti Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dan Jawa Hokokai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, mereka terus membina hubungan yang erat dengan Soekarno dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Secara formal, ideologi PNI dirumuskan sebagai sosialisme-nasionalisme-demokrasi atau sosio-nasional-demokrasi, mengikuti dasar-dasar PNI 1927 dan Partindo yang dirumuskan Soekarno.

Berani Membela Rakyat

Siapa sebenarnya Sarmidi Mangunsarkoro, sehingga ia didaulat sebagai ketua umum PNI yang baru didirikan kembali di masa kemerdekaan?

Sarmidi lahir pada tanggal 23 Mei 1904 di Desa Banyuanyar, Colomadu, Surakarta, Jawa Tengah. Keluarganya termasuk golongan priyayi kecil. Priyayi merupakan kelompok sosial bumiputera Jawa yang terhormat. Kelompok masyarakat tersebut umumnya adalah pegawai pemerintah Belanda, bangsawan dan abdi dalem kerajaan.

Ayahnya, Mangunsarkoro, adalah seorang abdi dalem keraton Surakarta yang mempunyai gelar rangga. Ada anggapan, nama Mangunsarkoro sendiri merupakan pemberian dari Puri Mangkunegaraan. Hal itu berkaitan dengan tugasnya sebagai penguasa Desa Banyuanyar di Colomadu yang merupakan daerah penghasil gula.

Sarmidi kecil mulai masuk sekolah dasar pada usia 10 tahun. Sekolahnya dikenal sebagai Sekolah Angka Loro di Sawahan, Surakarta. Sekolah ini merupakan sekolah negeri yang diperuntukkan bagi masyarakat pribumi, namun untuk kelas sosial lebih rendah dibandingkan anak-anak para bangsawan. Untuk kaum bangsawan sendiri, ada sekolah khusus yaitu Sekolah Bumiputera Kelas Satu (Eerste Klass Indlandsche Scholen).

Meskipun segala kebutuhan didapatkan, ada satu hal yang mengusik batin Sarmidi kecil. Dia terusik saat melihat kenyataan di sekelilingnya dimana ada jenjang sosial yang mencolok di sekitarnya. Ada kerisauan melanda dirinya melihat perbedaan mencolok antara rakyat jelata dengan kaum priyayi. Kehidupan yang relatif nyaman dia rasakan sebagai bagian dari masyarakat golongan priyayi, tidak membuatnya menutup mata akan penderitaan yang dialami masyarakat sekitarnya. Hasil dari kontemplasi tersebut membuatnya menentukan langkah selanjutnya dalam perjuangan.

Dalam buku “Guru Patriot: Biografi Ki Sarmidi Mangunsarkoro”, karya R.H. Widada, diungkapkan bahwa di tahun 1923, saat menginjak usia 19 tahun, Sarmidi belajar di Technische School (Sekolah Teknik) Prinses Juliana School di Yogyakarta. Di sekolah tersebut, Sarmidi muda mempelajari teknik bangunan air. Namun, sesungguhnya ia lebih tertarik kepada masalah-masalah pendidikan dan psikologi. Karena itu, di luar sekolah Sarmidi muda aktif dalam pergaulan sosial. Hal ini terlihat dalam keterlibatannya dalam kelompok studi islam (Islam Studie Club).

Di kelompok studi tersebut mulai terlihat bakat kepemimpinan serta organisatorisnya. Sarmidi diangkat sebagai ketua kelompok. Dari situlah mulai kehidupannya di dunia pergerakan, terlebih lagi tatkala dia bergabung sebagai anggota Trikoro Dharmo yang kemudian berubah menjadi Jong Java.

Dalam organisasi tersebut, terbukti keandalan Sarmidi berorganisasi. Dalam berolah pikir dan kata-kata, dia dikenal bernas dan tegas, juga tenang dan tidak kasar. Bahkan, saat diserang lawan debatnya, dia tetap tenang. Hal itu malah membuat lawan debatnya menjadi jengkel.

Kemampuannya dalam mengolah kata semakin tajam, ketika dia bergabung dalam kalangan “Kridho Wahono”, yang bagi penguasa Belanda masa itu dikenal sebagai kelompok anak-anak bengal. Penilaian tersebut diberikan, karena mereka berani mendebat pemuda-pemuda Belanda yang anti bumiputera. Padahal di masa itu tindakan seperti itu bisa dikatakan tabu. Keberanian Sarmidi itu terutama karena sikap para siswa Belanda yang selalu menganggap rendah kaum pribumi, bahkan kepada guru bumiputera.

Keberanian Sarmidi bukan asal berani, melainkan karena dasar moral yang tepat. Dari sanalah mulai tertanam benih-benih nasionalisme dalam diri Sarmidi muda, dengan cara tidak membiarkan ‘sinyo-sinyo’ Belanda itu merendahkan kaum bumiputera.

Nasionalis Radikal

Sejak muda Sarmidi sudah terlbat dalam pergerakan kebangsaan. Berawal dari aktivitas di Jong Java Cabang Yogyakarta, kemudian di Pemuda Indonesia. Sebagai wakil Jong Java, Sarmidi menjadi salah seorang pembicara dalam Kongres Pemuda tahun 1928. Sarmidi kemudian menjadi anggota PNI, selanjutnya Partindo dan Gerindo.

Ketika PNI dibentuk lagi di awal tahun 1946, Sarmidi sudah merupakan salah seorang tokoh nasionalis yang cukup dikenal. Tak heran, dalam Kongres I PNI ia ditunjuk sebagai Ketua Umum PNI pertama di masa kemerdekaan. Di masa kepemimpinan Sarmidi, PNI mengambil sikap yang bisa disebut radikal nasionalis dan benar-benar anti-kolonial. Misalnya, seperti ditulis Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi, PNI menentang dua persetujuan pertama antara pemerintah RI dengan Belanda—Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville—karena persetujuan itu memberikan kelonggaran terlalu besar kepada pihak kolonialis.

Tapi, dalam Kongres kedua PNI di Madiun, Maret 1947, posisi Sarmidi digantikan Adenan Kapau Gani. Adapun Sarmidi ditunjuk sebagai Ketua Fraksi di KNIP. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Fraksi PNI itulah, ia tampil paling depan menentang Perjanjian Linggarjati.

Setelah Pemilu 1955, Sarmidi kembali ditunjuk sebagai Ketua Fraksi PNI di parlemen (DPR) serta wakil PNI di Konstituante. Di kedua lembaga itu, Sarmidi dikenal sebagai pendebat yang tangguh. Dalam sidang Konstituante di Bandung, Juni 1957, yang membahas konstitusi dan dasar negara, Sarmidi jatuh sakit di tengah perdebatan seru. Ia sempat pulang ke kediamannya di Jakarta, tapi beberapa hari kemudian, wafat di usia 57 tahun.

Wafatnya Sarmidi Mangunsarkoro sempat mengagetkan kalangan politik nasional. Harian Abadi—organ resmi Partai Masjumi—memuat berita bertajuk “Air Mata Natsir Mengalir di Rumah Mangunsarkoro. Muhammad Natsir, yang notabene Ketua Partai Masjumi, yang merupakan lawan politik PNI, merasa sangat kehilangan. Ulama terkemuka Buya Hamka, saat melayat mengatakan: “Saya dan Mangunsarkoro dalam sidang selalu berbeda pendapat. Namun, di luar sidang, kami berboncengan sepeda dan melupakan semua perbedaan pendapat yang terjadi di ruang sidang.”

Kesaksian Natsir dan Hamka itu menunjukkan Sarmidi Mangunsarkoro adalah politisi yang disegani kawan dan lawan. [Noor Yanto/IH]