Sapardi Djoko Damono Wafat

Sapardi Djoko Damono/kata-kata.web.id

Koran Sulindo –  Sastrawan Sapardi Djoko Damono wafat Minggu (19/7/2020) pagi ini dalam usia ke-80 tahun, di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan, Jawa Barat. Sapardi dirawat di rumah sakit sejak Kamis (9/7) lalu karena menurunnya fungsi organ tubuh, terutama jantung.

Penyair yang sangat produktif ini mulai menulis media 1950-an. Belakangan ia juga menulis esai, cerita pendek, novella, dan novel.

Puisi “Hujan Bulan Juni” (1994) adalah salah satu karyanya yang paling terkenal dan sering dikutip tanpa menyebut namanya. Karyanya lebih dikenal daripada pengarangnya.

Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940, menempuh kuliah di jurusan Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lalu menjadi pengajar di Universitas Indonesia.

“Sebenarnya sebelum menulis puisi, saya sudah pernah menulis cerita anak dalam bahasa Jawa. Tapi ceritanya ditolak karena dianggap tulisannya tidak masuk akal. Padahal ceritanya benar-benar terjadi,” Sapardi, suatu waktu.

Sapardi menulis puisi sejak duduk di bangku SMA pada 1957. Buku puisi pertamanya bertajuk “Duka-Mu Abadi” diterbitkan 12 tahun kemudian dengan dana sumbangan pelukis Jeihan.

Beberapa puisi lainnya juga populer, antara lain “Aku Ingin”, “Pada Suatu Hari Nanti”, “Akulah si Telaga”, dan “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”.

Puisinya sarat simbolisme namun sederhana, dengan pilihan kata dan tema sehari-hari yang dekat dengan pembaca.

“Jangan bikin yang ruwet, sajak itu sesuatu yang sederhana, manusiawi dan terjadi sehari-hari,” katanya suatu ketika.

Menulis, bagi Sapardi adalah sumber kebahagiaan.

“Bagi saya nulis ya nulis. Karya yang paling baik ya karya yang sering saya tulis. Maka saya tidak akan berhenti nulis, sampai mati,” kata pria yang paling suka menulis pada pagi hari tersebut. “Tapi tujuan saya menulis bukan ingin abadi, kalau menulis saya merasa bahagia.”

Puisi baginya tak ubah sains atau rumus matematika; ia kental dengan logika, “maka kata-kata dalam puisi pun harus nyambung.”

Selain puisi, Sapardi juga menulis cerpen dan novel seperti “Membunuh Orang Gila”, “Trilogi Soekram”, dan “Hujan Bulan Juni”. Buku-buku esainya yang mutakhir adalah “Tirani Demokrasi”, “Slamet Rahardjo”, “Sebuah Esai, Mengapa Ksatria Memerlukan Punakawan?”, dan “Alih Wahana”.

Sejumlah penghargaan pernah diterimanya baik dari dalam maupun luar negeri, di antaranya adalah Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putera (Malaysia, 1984), dan SEA-WRITE Award (Thailand, 1988), Khatulistiwa Literary Award (2004).

Sapardi Djoko Damono menikah dengan Wardiningsih, juga dari Jawa. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai dua orang anak, seorang perempuan (Rasti Sunyandani) dan seorang laki-laki (Rizki Henriko).

Istrinya meninggal sekitar sebulan lalu, sedang anak lelakinya telah mendahului sekitar setahun lalu.

Hingga memasuki usia 80 tahun Sapardi terus menulis. Ia juga aktif di media sosial lewat Instagram dan Twitter. Unggahan terakhir pada 10 Juni 2020 lalu di akun Twitter-nya, @SapardiDD, memperlihatkan ia sedang menulis novela baru.

Hidup adalah doa yang panjang dan sunyi adalah minuman keras. Ia mengangguk entah kapada siapa. (Novela, in progress).

Jenazah almarhum dimakamkan di Taman Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Bogor, Jawa Barat, Minggu (19/7/2020) sore ini. [RED]