Sandiaga Uno, Aetra, dan Putusan MA yang Sempat Menghilang

Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno/Twitter @sandiuno

Koran Sulindo – Tak banyak yang tahu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) kalah dua kali pada April tahun ini. Pertama, pada 19 April, hasil pemilihan umum daerah menunjukkan ia kalah telak dari lawannya Anies Baswedan.

Kedua, ia kalah lagi melawan orang-orang miskin kota yang menggugatnya ke pengadilan soal swastanisasi air minum dalam masa pemerintahannya. Yang pertama begitu ramai dan gaduh di pemberitaan media massa dan media sosial. Yang kedua hanya senyap, dan entah mengapa putusan Mahkamah Agung pada 10 April 2017 lalu itu baru dibuka dan bisa diakses publik pekan lalu.

Hakim MA menguatkan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 12 Januari 2016 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Maret 2015.

Vonis atas kasasi penggugat itu memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) dan Pemprov DKI Jakarta menyetop swastanisasi air. “Menyatakan Para Tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta,” bunyi putusan kasasi MA seperti dilansir laman resminya.

MA tidak hanya menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh 12 orang pemohon, tetapi juga menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air di Jakarta kepada pihak swasta. Hal itu terwujud dalam Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 6 Juni 1997 yang diperbarui dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.

Majelis hakim kasasi yang terdiri dari Nurul Elmiyah, Sunarto dan Panji Widagdo menyatakan para tergugat telah merugikan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI dan masyarakat Jakarta. MA memerintahkan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI dihentikan. MA juga meminta agar mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

“Melaksanakan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Konvenan Hak Asasi Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi UU Nomor 11 Tahun 2015 junto Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2012 hak atas air komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” bunyi putusan MA.

Gugatan privatisasi air di DKI Jakarta ini awalnya dilayangkan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) yang diajukan pada 22 November 2012 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. KMMSAJ yang terdiri atas LBH Jakarta, ICW, KIARA, KRUHA, Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti Utang, Walhi Jakarta, dan beberapa LSM lain mengajukan gugatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, dan PT Perusahaan Air Minum Jaya serta PT PAM Lyonnaise Jaya, dan PT Aetra Air Jakarta sebagai pihak turut tergugat.

Dengan kemenangan di MA, harusnya pemerintah menjalankan putusan untuk mengelola air di Indonesia, terutama di Jakarta. Namun pemerintah malah membuat kebijakan baru yang tetap membuka peluang terjadinya privatisasi air. Misalnya PP No. 121 tahun 2015 Penguasaan Sumber Daya Air, PP No. 122 tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum, Permen PUPR No 50/PRT/M/2015 tentang Izin Penggunaan Sumber Daya, dan terakhir Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VI.

Sandi

Tapi bukan itu yang membuat putusan MA yang lenyap sementara secara ajaib itu menjadi tak janggal. Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Sandiaga Uno melepas sahamnya di  PT Aetra Air Jakarta pada Agustus lalu. “Pertama saya ingin tidak ada benturan kepentingan, saya tahu sistem jual saham itu susah dan repot. Tapi intinya kita tidak ingin potensi KKN,” kata Sandi, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pekan lalu.

Pembelinya Moya Indonesia Holdings, perusahaan swasta air tak terkenal milik Grup Salim, yang mengakuisisi 95 persen saham tiga perusahaan penyedia air bersih yaitu PT Aetra Air Jakarta, PT Aetra Air Tangerang dan PT Acuatico Air Indonesia, dari Recapital, perusahaan milik Sandiaga. Uang yang harus dibayarkan Grup Salim tak tanggung-tanggung: 117 juta dolar AS atau setara Rp 1,2 triliun.

Apakah Grup Salim tidak tahu bahwa MA memutuskan Pemprov DKI menghentikan swastanisasi air? Mungkin tidak, mungkin juga tahu, tapi sekadar informasi, grup yang diwariskan Soedono Salim ini adalah pemilik Suez, perusahaan swasta yang sebelumnya mengerjakan apa yang dilakukan Aetra selama ini.

Kisahnya berawal pada 1997, ketika Soeharto masih berkuasa, bisnis air minum ibukota dibagi kepada dua perusahaan, masing-masing dengan durasi kontrak 25 tahun, kepada Thames Water yang berbasis di London, Inggris dan ke perusahaan Perancis Suez. Perusahaan terakhir ini, dimiliki anak sulung Soeharto, Sigit Harjojudanto dan kroninya Sudono Salim.

Pada 2007, 95 persen saham Thames yang menguasai air minum wilayah Jakarta Timur, Pusat, dan sebagian Jakarta Utara diborong Sandiaga dan berganti nama menjadi Aetra, dan kini pada 2017 ini berputar lagi ke tangan grup Salim. Bingung? Biarkan Sandiaga saja yang bingung meyakinkan penduduk Jakarta bagaimana ia menanggung ketersediaan air bersih bagi warganya. [DAS]