Sam Ratulangi, Simbol Persaudaraan Kota Davao dan Manado

Monumen Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi di Davao City's Millennium Park - tepatnya sepanjang Roxas Avenue, Filipina [Foto: davaotoday.com]

Koran Sulindo – Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan wujud perlawanan negeri ini melawan penjajahan. Soekarno – seorang nasionalis – memimpin negeri dengan lebih dari 17 ribu pulau itu memproklamasikan kemerdekaan di Jakarta, ibu kota negara yang kini disebut dengan Republik Indonesia.

Diam-diam sebuah kota yang berjarak ribuan mil dari Indonesia menghormati perjuangan Republik lepas dari penjajahan. Di sebuah kota bernama Davao, Filipina terdapat sebuah monumen yang dipajang di Davao City’s Millennium Park – tepatnya sepanjang Roxas Avenue berdiri monumen pahlawan nasional Indonesia.

Ia adalah Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih populer dikenal sebagai Sam Ratulangi. Seperti yang dilaporkan davaotoday.com, selain Bung Karno, Sam Ratulangi juga dikenal sebagai tokoh penting dalam gerakan melawan penjajahan Belanda. Sosok pria yang lahir pada 5 November 1890 itu disebut juga terlibat dalam mendidik massa rakyat.

Sam Ratulangi disebut sebagai orang Indonesia pertama yang mendapat gelar doktor di bidang fisika dan ilmu pengetahuan dari Universitas Zurich, Swiss pada 1919. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Sam Ratulangi kembali ke Hindia Belanda dan mengajar di sebuah sekolah setingkat SMA di Yogyakarta.

Selanjutnya, pada 1934, Sam Ratulangi mulai menggeluti dunia jurnalistik. Ia bersama psikolog ternama pada waktu itu M. Amir serta seorang Indo bernama PF Dahler mendirikan mingguan Penindjauan berbahasa Indonesia. Ratulangi menulis kritik tajam terhadap pemerintah kolonial karena ketidakadilan yang dialami pekerja Indonesia.

Belanda menganggap upaya Ratulangi bersama teman-temannya itu sebagai ancaman. Dua tahun dari pendirian mingguan tersebut, ia ditangkap dan dipenjara. “Hukuman” Belanda itu tak menghentikan langkahnya. Ratulangi terus menulis. Kali ini ia menulis Indonesia in den Pasifik, sebuah buku yang meramalkan serbuan Jepang ke Nusantara.

Buku tersebut diterbitkan pada 1937. Setahun kemudian, Ratulangi menerbitkan koran berbahasa Belanda Nationale Commentaren. Koran ini dijadikan sebagai alat propaganda untuk membangkitkan kesadaran kaum nasionalis.

Ratulangi juga kemudian terpilih menjadi wakil rakyat di Dewan Rakyat (Volksraad). Pidato-pidatonya yang tajam acap mengkritik pemerintahan kolonial. Itu karena tindasan dan diskriminasi pemerintah Belanda terhadap kaum pribumi.

Persaudaraan
Karena “pemberontakannya” itu, Ratulangi pada 1941 kembali ditahan Belanda. Keterlibatan Ratulangi dalam politik semakin mendalam ketika bergabung dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) – sebuah badan yang menyiapkan kemerdekaan Indonesia dari Jepang.

Sehari setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan, Ratulangi ditunjuk sebagai Gubernur Sulawesi di Makassar. Pada 5 April 1946, Ratulangi kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Papua. Ia dibebaskan sementara pada 23 Maret 1948, tapi kembali ditangkap pada 25 Desember 1948.

Hanya beberapa bulan merasakan kebebasan, kesehatannya memburuk. Ratulangi meninggal pada 30 Juni 1949. Ia dimakamkan di Tondano, Sulawesi Utara. Bung Karno menghormatinya dengan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ratulangi pada Agustus 1961. Ia dikenal dengan filsafat Si Tou Timou Tumou To yang berarti “manusia hidup untuk kepentingan orang lain”.

Monumen Ratulangi di Davao itu sebagai sebuah penghormatan dan kenangan serta simbol persaudaraan kota tersebut dengan Manado, Sulawesi Utara. [KRG]