Sam Ratulangi di Negeri Penjajah

Ilustrasi: Sam Ratulangi (kiri), saat mahasiswa di Vriej Universiteit, Amsterdam, Belanda/Istimewa

Koran Sulindo – Hati Sam Ratulangi remuk-redam dilanda kesedihan mendalam. Hari itu, 19 November 1911, Augustina Gerungan—ibundanya tercinta, perempuan yang paling dikasihinya—wafat di pangkuannya. Beberapa tahun sebelumnya, saat Sam masih bersekolah di Batavia, ayahandanya—Jozias Ratulangi— telah pula berpulang ke haribaan Tuhan.

Tapi, disisi lain, wafatnya sang ibunda, telah membuka jalan bagi cita-cita yang telah lama dipendam Sam: menempuh pendidikan terbaik demi kesetaraan dengan kaum penjajah. Tak mau lama-lama di kampung, warisan orang tuanya– termasuk kebun kelapa yang luas– segera dibagi dengan kedua kakaknya. Lantas, Sam segera menjual bagiannya, dan dengan dana penjualan itulah ia berangkat ke Eropa.

Beberapa bulan kemudian, Sam Ratulangi—putra Minahasa berusia 21 tahun– telah berada di sebuah kapal laut yang mengarungi samudra menuju benua Eropa, negeri para penjajah. Setelah berlayar sebulan lebih, pertengahan tahun 1912, kapal laut yang membawa Sam sampai di pelabuhan Amsterdam, negeri Belanda.

Ya memang kota itulah yang menjadi tujuannya. Tanpa membuang waktu, ia mendaftarkan diri ke Vrije Universitet, Amsterdam. Di universitas termashyur ini Sam belajar ilmu paedagogi untuk ilmu pasti alam, selama dua tahun (1913-1915). Hasilnya, Sam mendapat ijazah guru Mildebare Onderwijs Akte di Bidang Wiskunde en Paedogogiek (Akta Guru Sekolah Menengah Bidang Ilmu Pasti Alam).

Selama hidup di negeri Belanda, Sam benar-benar mengandalkan keringatnya sendiri untuk menafkahi hidupnya, terutama dengan menjadi penulis dan wartawan. Sam kerap mengirimkan tulisannya ke beberapa surat-kabar beraliran prorgresif terkemuka di Belanda masa itu, seperti De Indier, De Nieuwe Amsterdammer, dan Rotterdamsch Handelsblad.
Sebagai penulis, Sam dikenal punya kemampuan andal dan berotak tajam. Analisisnya terhadap peristiwa-peristiwa sosial-politik selalu menarik perhatian pembaca.

Salah satu tulisan awalnya selama di Belanda berjudul “Serikat Islam”, yang diterbitkan akhir tahun 1913. Tulisan tersebut menandai pertama kalinya tampil seorang intelektual Kristen bumiputra yang mampu menghargai makna historis dan kebangkitan Islam di Indonesia. Ditengah ketakutan, keraguan, bahkan pencibiran terhadap Serikat Islam (yang berdiri tahun 1911), Ratulangi justru menempatkan Sarekat Islam dalam posisi yang sangat positif, yaitu sebagai wakil dari kebangkitan seluruh rakyat yang tertindas dan terjajah, termasuk semua umat beragama di Hindia Belanda. (Sumartana, 1999)

“Wij staan op het keerpunt der koloniaal geschiedenis. De tijden zijn ernstig. (Kita berada pada titik balik sejarah kolonial. Inilah saat yang penting),” tulis Sam dalam salah satu bagian tulisannya tentang Serikat Islam itu. Lantas dalam bagian penutup tulisan itu, Sam menulis: “Sejarah takkan bisa memberikan contoh satu pun bangsa yang selamanya dijajah. Karena itu, semoga perpisahan yang terelakkan ini menjadi perpisahan yang bersahabat, supaya sesudah itu berlangsung interaksi unsur-unsur budaya yang menguntungkan antara Hindia dan negeri Belanda, yang sudah berabad-abad disatukan sejarah”.

Tentang Serikat Islam, menurut analisis Sam Ratulangi, sedikitnya tiga alasan yang menyebabkan kaum bumiputra bersatu dan mengikat diri dalam bentuk organisasi bersama guna memperjuangkan kepentingan mereka. Pertama, menyangkut soal rasialisme penjajahan (khususnya ras kulit putih); kedua, soal ekonomi (menghadai dominasi kalangan Cina); ketiga, menyangkut soal agama yaitu melawan apa yang disebut “kerstening politiek” pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg (Sumartana, 1999).

Tulisan yang diterbitkan dalam bentuk brosur itu segera saja memantik reaksi dari kaum kolonialis. Tulisan Sam itu dikecam bertubi-tubi oleh surat-kabar kalangan kolonialis. Salah satu kecaman keras datang dari majalah Indische Gids, yang menulis: “Kesimpulan itu ditulis dengan nada permusuhan seorang propagandis yang ingin membuktikan banyak hal”. Tapi, pembelaan terhadap tulisan Sam pun tak kurang. Terutama dari kalangan pers anti-kolonial, seperti De Indier, yang dipimpin Ernest F.E. Douwes Dekker.

Tulisan Sam lainnya yang menarik perhatian khalayak Belanda adalah sebuah artikel di De Indier, berjudul “Dengan Kepala Dingin”. Tulisan ini ditulis di awal pecahnya Perang Dunia I yang meramalkan Belanda—yang meskipun bersikap netral dalam perang tersebut– akan diserbu Jerman. Benar saja, tak lama kemudian Belanda diduduki pasukan Jerman, dan menyebabkan situasi di negeri itu menjadi tidak menentu alias kacau.

Dalam salah satu bagian artikel itu, Sam Ratulangi menulis: “Bagaimanakah sikap kita (rakyat Indonesia)? Bukankah sudah banyak kita menanggung sakit hari terhadap penjajahan Belanda? Tidak sudah tibakah saatnya kita membiarkan negeri Belanda mengurus kebutuhannya sendiri?” Tapi, di tulisan yang sama Sam juga mengimbau rakyat Indonesia dan Belanda agar berkepala dingin untuk bekerjasama dahulu melawan musuh (Jerman), dan kerjasama itu barangkali dapat mempermudah penyelesaian masalah Hindia. (dikutip dari Poeze: 2008)

Tak semua artikel yang ditulis Sam selama di negeri Belanda bernuansa politik. Ia juga menulis cerita tentang budaya tanah kelahirannya, Minahasa, juga kisah mengenai wanita Minahasa.

Menjelang berakhirnya Perang Dunia I, Sam ditugaskan Rotterdamsch Handelsblad untuk meliput perundingan damai antara negara-negara yang berperang di Vienna, Austria. Disinilah ia pertama kali bertemu dengan Raden Sosrokartono, yang juga meliput sebagai koresponden Heart Press, kantor berita Amerika Serikat.

Dalam salah satu momen ketika meliput itu, diantara para wartawan digelar “kompetisi” siapa diantara mereka yang paling menguasai paling banyak bahasa-bahasa Barat. Semula Sam dianggap favorit karena menguasai dengan baik bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Tapi, dalam kompetisi itu Sam dikalahkan oleh Sosrokartono. Abang kandung RA Kartini itu, yang juga sarjana Indologi di Universitas Leiden, ternyata mahir dalam tujuh bahasa barat: Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Spanyol, dan Rusia. Sosrokartono memang dikenal sebagai seorang polyglot. (Pondaag, 1966)

Memimpin Perhimpunan Hindia

Sam Ratulangi tak hanya andal menuliskan gagasan-gagasannya, ia juga aktif berorganisasi. Di tahun 1914 ia terpilih sebagai Ketua Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia. Ia menggantikan ketua sebelumnya yang tergolong konservatif, Noto Soeroto.
Terpilihnya Sam Ratulangi cukup mengejutkan, karena ia belum lagi setahun menjadi anggota Perhimpunan Hindia. Dalam pidato perkenalannya, Sam dengan tegas menerangkan garis kebijakannya yang membuka masuknya semua mahasiswa Indonesia, sekaligus membuka kemungkinan untuk mempropagandakan gagasan-gagasan radikal. (Poeze; 2008). “Perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan jiwa rakyat Indonesia harus diikuti dengan penuh perhatian,” tegas Sam dalam pidatonya.

Perubahan ini, bisa jadi, karena pengaruh “tiga serangkai” pergerakan kebangsaan—Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat—yang saat itu tengah dalam masa pembuangan di Belanda. Dibawah kepemimpinan Ratulangi, Perhimpunan Indonesia juga memulai tradisi ceramah para anggotanya sendiri. Sebelumnya, para penceramah di Perhimpunan Indonesia umumnya adalah tokoh-tokoh dari luar organisasi.

Setelah menamatkan pendidikan gurunya dan memperoleh akte, Sam bermaksud meneruskan studinya hingga tingkat doktoral. Namun, ijazah guru sekolah menengah itu tidak cukup memenuhi syarat untuk melanjutkan studi doktoral di Belanda. Atas saran Abendanon—mantan Menteri Pendidikan di Hindia Belanda dan salah seorang tokoh politik etis—Sam Ratulangi lantas pergi ke Universitas Zurich, Swiss. Ketika pindah ke Zurich di tahun 1915, usianya sudah 25 tahun. Di kampus tempat Albert Einstein pernah belajar ini, setelah kuliah beberapa tahun Sam berhasil meraih gelar doktor untuk bidang ilmu pasti alam dan matematika, di tahun 1918.

Saat di Swiss pula, ia didapuk sebagai Ketua Perhimpunan Mahasiswa Asia. Di tahun-tahun itu, Sam memupuk semangat nasionalismenya dan bergaul dengan orang-orang yang di belakang hari menjadi tokoh pergerakan di negaranya masing-masing, seperti: Jawaharlal Nehru dari India, Manuel Quezon dari Filipina, dan lain-lain. [Imran Hasibuan]