Puncak Jayawijaya/oomph.co.id

Koran Sulindo – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Andi Eka Sakya mengatakan Indonesia segera kehilangan salju abadi Jayawijaya di Papua.

“Jika tidak ditangani dengan baik maka lapisan es di Puncak Jayawijaya itu akan hilang pada 2020,” kata Andi, di Jakarta, Kamis (5/1).

BMKG  melakukan observasi langsung pada Juni 2010, November 2015 dan November 2016 mengukur kecepatan penurunan tebal es akibat pemanasan oleh atmosfer.

Pengukuran terakhir pada 23 November 2016 menunjukkan tebal es di Puncak Jaya menyusut 1,42 meter sejak Mei 2016 dan tebal es tersisa 20,54 meter. Sejak Mei, es di Puncak Jaya menyusut 4,26 meter dari November 2015 yang disebabkan el nino kuat pada 2015/2016.

Merunut ke belakang, pada Juni 2010 tebal es Puncak Jaya 31,49 meter dan menyusut menjadi 26,23 meter pada November 2015 atau mengalami laju penurunan tebal 1,05 meter per tahun sejak 2010.

Kehijauan Mewah

“Saljunya sudah tidak terlihat, sekarang sudah habis. Kehijauan mewah sudah tidak ada,” kata Mama Yosepha Alomang, tokoh perempuan Suku Amungme, Papua. Suku Amungme mendiami lembah-lembah di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya.

Bagi suku itu alam adalah sumber kehidupan. Suku ini tak pernah mencari nafkah kecuali di tanah milik leluhur mereka. Tanah digambarkan sebagai sosok seorang ibu, yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga mati.

“Itu tempat arwah-arwah moyang kami. Dulu udaranya dingin, kini semakin panas,” kata tokoh Suku Amungme lainnya, Thomas Wanmang.

NASA

Foto satelit NASA yang dirilis beberapa waktu lalu oleh NASA juga menunjukkan hilangnya gletser di Cartensz Pyramid, yang merupakan bagian dari Barisan Sudirman. Catatan lain menyebutkan, penyusutan luas permukaan es ini diperkirakan terjadi sejak 1850 hingga 1980, dari 20 kilometer persegi menyusut menjadi 16,4 kilometer persegi.

“Pada 1989, ada lima gletser di Ndugu-Ndugu tersebut. Namun, pada 2009, dua dari lima gletser itu hilang sama sekali. Sedangkan sisa tiga gletser lainnya berkurang secara drastis,” kata peneliti dari Department of Atmospheric and Oceanic Science University of Maryland, College Park, Amerika Serikat, Dwi Susanto.

Foto diambil menggunakan Thematic Mapper (TM) di Landsat 4 dan 5. Di ketinggian 4.884 meter, foto satelit NASA membandingkan kondisi gletser di tahun 1989 dan 2009. Tahun 1989, ada lima gletser di Puncak Jaya. Namun, 20 tahun kemudian, tepatnya pada 2009, dua dari lima gletser itu hilang sama sekali. Sedangkan sisa tiga gletser lainnya berkurang secara drastis.

Dengan kondisi suhu Bumi saat ini, NASA memprediksi seluruh gletser di Papua akan musnah pada 20 tahun mendatang. Para peneliti juga menyebutkan, hal ini terjadi karena berbagai faktor. Seperti perubahan suhu, kelembapan, hujan, dan pergerakan awan. Kondisi iklim dan penggundulan hutan juga turut berpartisipasi.

Mencairnya puncak Cartensz juga menjadi ancaman serius bagi Sege Home, Canis lupus. Satwa serupa serigala yang dipercaya menjadi penjaga sang puncak Cartensz hanya dapat ditemui di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut. Di tempat setinggi itu, ia hidup rukun bersama bersama satwa lainnya, Dingiso (Dendrolagus mbaiso), yakni satwa sejenis koala.

Anjing liar dari keluarga Canidae ini dikeramatkan oleh beberapa masyarakat adat Suku Moni dan beberapa suku lainnya yang mendiami lembah-lembah di pegunungan tersebut. Di beberapa tempat lainnya, satwa juga lebih dikenal dengan nama Dingo ini hidup di kawasan Australia dan Asia Tenggara.

“Ini bukan peringatan pertama dan bukan hanya terjadi di negara kita. Es di Antartika juga mencair dan berada pada titik terendah,” kata Direktur Program Iklim dan Energi WWF Nyoman Iswarayoga. [Antara/nationalgeographic.co.id/mongabay/DAS]