Koran Sulindo – Tujuh tahun setelah para pemberontak yang didukung NATO menggulingkan pemimpin Libya Kolonel Muammar Gaddafi, anak keduanya yakni Saif al-Islam Gaddafi berencana kembali terjun ke politik.
Ia berniat mempersatukan Libya yang tercabik perang saudara yang sengit.
Saif yang kini berusia 45 tahun berniat mencalonkan diri di bawah bendera Front Populer Pembebasan Libya untuk pemilihan presiden Libya akhir tahun ini.
Berbicara pada konferensi pers di Tunis, juru bicara Front Populer, Khaled Guel seperti dikutip al-Araby al-Jadeed menyebut partainya menekankan pentingnya segera mengatasi perpecahan politik di Libya.
“Situasi kemanusiaan memburuk sementara masa depan tidak pasti. Banyak orang Libya sekarang percaya bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan negara hanya melalui Saif al-Islam” kata Guel.
“Saif memprioritaskan pemulihan negara dengan kedaulatan penuh sekaligus penghapusan terorisme dalam segala bentuknya”.
Selama tujuh tahun terakhir, bagaimanapun Saif menjadi saksi bagaimana Libya sepeninggal Moammar Gaddafi dirobek-robek perang saudara antar faksi-faksi yang bersaing.
Saif yang tak menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan ayahnya, dipandang sebagai satu-satunya pewaris Gaddafi yang memiliki berorientasi pembaruan. Ia mulai dikenal sejak menjadi juru bicara de facto bagi Libya selama pemberontakan yang dimodali NATO.
Saat Libya makin terperosok dalam perang saudara yang sengit dan tuduhan pelanggaran HAM pada rezim Gaddafi, Saif melenturkan kemampuan diplomasinya sekaligus mengecam kampanye yang menggambarkan kelompok militan sebagai aktivis demokrasi berkedok Musim Semi Arab di Libya.
Ketika situasi makin mendidih Februari 2011, Saif mengingatkan rakyat Libya mesti siap menerima konsekuensinya termasuk periode kolonial baru oleh Amerika dan Inggris yang masuk melalui pertentangan antar suku.
“Semua orang ingin menjadi Syekh dan Emir, kami bukan Mesir atau Tunisia jadi kami dalam tantangan besar. Akan ada perang di masa depan. Ingat kata-kata saya,” kata Saif kala itu.
Ia juga meramalkan, Libya akan dibagi seperti Korea Utara dan Korea Selatan sementara rakyatnya hanya akan saling melihat satu sama lain melalui pagar.
“Anda akan melihat hal yang lebih buruk dari Yogoslavia. Anda dapat mengatakan kami menginginkan demokrasi dan HAM, kami akan menangisi ratusan ribu kematian. Anda semua akan meninggalkan Libya, tidak akan ada apa pun di sini. Tidak akan ada roti di Libya dan itu akan lebih mahal daripada emas.”
Kala itu peringatan Saif tak ada yang mendengar karena orang-orang terlalu sibuk meniru contoh euforia yang dialami tetangga mereka, Tunisia dan Mesir.
Sementara itu, berdalih menegakkan Resolusi Dewan Keamanan dan melindungi para pengunjuk rasa, NATO dan sekutu-sekutu Arabnya menggelar ‘intervensi kemanusiaan’ sejak Maret 2011.
Kampanye ‘kemanusiaan’ itu dengan cepat berganti menjadi upaya ‘pergantian rezim’ untuk mendongkel Muammar Gaddafi yang berpuncak pada pembunuhan di luar hukum oleh gerilyawan dengan dukungan pesawat NATO.
Kala itu, mengomentari kematian Gaddafi Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton bertepuk tangan gembira dan dengan wajah keji mengatakan kepada CBS News sambil tertawa, “Kami datang, kami melihat, dia mati!”
Tepat seperti yang diramalkan Saif, pada kenyataannya kejatuhan Muammar Gaddafi tak menghentikan perang saudara di Libya. Runtuhnya otoritas pusat di Tripoli justru menghidupkan kembali sentimen suku untuk berperang satu sama lain.
Keadaan bertambah parah dengan beroperasinya jaringan militan yang mencita-citakan negara Islam.
AS termasuk salah satu negara yang pertama menerima akibatnya, duta besar mereka di Libya John Christopher Stevens mati diserbu militan pada 11 September 2012.
Presiden Barack Obama dalam sebuah wawancara dengan Jeffrey Goldberg dari The Atlantic pada tahun 2016 mengakui, intervensi NATO dengan membentuk koalisi, menghindari korban sipil, dan dengan hati-hati ‘mendorong dari belakang’ perubahan di Libya pada akhirnya hanya menghasilkan ‘pertunjukan kotor’. Sembari tak lupa menyalahkan sekutu-sekutunya.
“Berkat kurangnya minat sekutu AS dari Eropa untuk membangun Libya, selain itu tingkat perpecahan suku di Libya, lebih akut dibanding perkiraan para analis kami.”
Menyusul kejatuhan Ibu Kota Tripoli, Saif adalah anggota terakhir dari keluarga Gaddafi yang masih berada di Libya dan ditangkap di tengah gurun oleh Brigade Abu Bakr al-Shadiq dari Zintan saat berusaha melarikan diri ke Nigeria.
Saif divonis hukuman mati secara in absentia pada bulan Juli 2015 oleh Pengadilan Kriminal Internasional dan pemerintah Libya boneka PBB. Namun, pemerintahan yang dipimpin oleh Tentara Nasional Libya yang bermaskas di Tobruk justru membebaskan Saif dengan memberikan amnesti.
Sementara Pengadilan Kriminal Internasional ngotot menuntut Saif agar diserahkan atas dugaan kejahatan kemanusiaan, lembaga itu menuai olok-olok pemimpin Afrika sebagai alat dan kepanjangan tangan neokolonial Barat.
Dengan Libya yang terbelah dan bertahun-tahun mengalami anarki serta pertumpahan darah, banyak rakyat negeri itu berharap comeback-nya Saif menjadi upaya penting membangun kembali perdamaian dan stabilitas Libya.(TGU)