Koran Sulindo – Sebuah kejutan dihadirkan oleh Romo Yohanes Agus Riyanto dan Romo Stefanus Ruswan Budi Sunaryo. Kedua Romo muda yang bertugas di Kalimantan itu memamerkan karya lukisannya yang dibuat di sela-sela kesibukannya melayani umat di Rumah Budaya Tembi, Bantul, Yogya, dari 27 Maret hingga 16 April mendatang.
Tema pameran lukisan yang disajikan pun sangat menggelitik, yakni “Sabda Itu Telah Menjadi Warna”. Tema ini mengingatkan bunyi ayat kitab suci Yohanes 1:14 ““Firman itu telah menjadi manusia.”
Saat membuka pameran lukisan pada Senin (27/3) malam, Romo V. Kirjito Pr. menyatakan, karya lukis kedua Romo itu sangat menarik untuk dipahami sebagai kreativitas seni untuk melengkapi ekspresi iman dalam pengungkapan seni merangkai huruf-huruf menjadi kata dan kalimat dogmatis yang cenderung rasionalistik, logis, bahkan matematis, terbelenggu benar atau salah, khususnya dalam bentuk-bentuk keharusan ritual liturgis, peribadatan, cara berdoa dan lain-lain.
“Karya mereka jauh lebih menarik dari pada hujan kata-kata indah dalam banyak buku renungan rohani yang boros kata Tuhan, surga, suci dan lain-lain. Lanjutkan ya Romo Agus dan Romo Ruswan. BUD – Berkah Udan Dalem,” kata Romo Kirjito.
Menurut Romo Kirjito, kedua Romo dari ordo MSF ini ingin membuka jendela baru, jendela lain, untuk mengkomunikasikan iman dan imamatnya.Tentu saja, tuturnya lagi, akan terasa lebih kaya, lebih multi interpretasi, tanpa terjebak dua jurus salah dan benar, harus begini harus begitu dan sebagainya khas jurus keagamaan.
Romo Kirjito lantas membahas tema pameran. ‘Sabda dan Warna’ adalah dua hal yang secara biofisika berbeda. Sabda itu suara, bunyi, getaran dan frekuensi yang itangkap oleh indera kecerdasan manusia yaitu telinga kemudian dikirim ke otak. Ciri dasarnya tidak kelihatan tapi tidak abstrak, alias nyata. Jadi Sabda itu mewakili realitas, keberadaan hidup di planet bumi ini, dan tentu saja eksistensi Pencipta kehidupan ini, apapun manusia menyebut-Nya, seperti Gusti, Tuhan, Sangkanparaning Dumadi, Hyang Widi dan sebagainya.
Sedangkan warna, menurut Romo Kirjito, itu dunianya kecerdasan indera mata. Mata bisa menangkap tujuh warna pelangi. Walau kata ahli optika hanya ada tiga warna dasarnya yaitu Merah, Hijau, Biru. Pencampuran, kombinasi tiga warna itu menjadi kehebatannya pelukis untuk mengekspresikan pesan-pesan beraneka, dari pesan bernilai kehidupan hingga pesan-pesan keindahan, pesan simbolis ideologis.
Nah, menurut Romo Kirjito, kedua Romo ini memilih kata warna tentu dengan maksud mulia, realitas yang tidak kelihatan Sabda – dalam arti Yesus Sang Juru Selamat menurut dogma agama Kristen Katolik – menjadi realitas lebih sederhana, sehari-hari, indah, berwarna, simbolis, menarik, merdeka. Kedua Romo itu, lanjutnya, kiranya jauh dari niat meredusir ayat kitab suci Yohanes 1:14 ““Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita dan kita telah melihat kemuliaanNya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepadaNya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”
Dijelaskan Romo Kirjito, kedua imam itu mengekspresikan panggilan dan perutusan imamatnya — baik kepada umat Katolik maupun bukan — dalam “warna” sejuk (imam yang melindungi). Hal ini terlihat, misalnya pada lukisan Panglima Burung, St. Michael; membawa damai, Harmoni dengan Alam ; kekeluargaan, afeksi dan edukasi, kegembiraan bersama tiga gadis di sungai; Horse Dancer, Tari Topeng; Harapan Simbok Jamu dan Cinta Return to our family. Jauh dari suasana kontra, surga vs neraka.
“Suatu suasana ideal agak berbau romantis yang hendak dipancarkan oleh kedua imam berbakat seni rupa itu,” ujar Romo Kirjito lagi.
Pada kesempatan itu Romo Stefanus Ruswan Budi Sunaryo – kelahiran Tanjung Karang 7 September 1979, mengaku, melukis adalah merupakan ruang pribadinya untuk berdoa juga. “Di “ruang” lukis ini saya mengalami kebebasan pribadi untuk memuja, meluapkan bentuk-bentuk perasaan atau bersyukur kepada yang Adikodrati,” ujar MoWan – panggilan akrab Romo Stefanus Ruswan Budi Sunaryo.
Dengan fasilitas warna dan bentuk, menurut MoWan, ia merasa mempunyai keluasan rasa yang lebih dari kata. Artinya, “Ruang” lukis ini juga sering menjadi sarana pemulihan relasi saya dengan sesama, diri saya sendiri, alam sekitar dan yang Adikodrati,” kata MoWan yang mengaku berkesenian sudah dijalani sejak kecil meski secara otodidak.
Kalaupun dirinya menggelar pameran ini, pertama-tama karena ingin masuk ke sekolah alam raya di mana semua orang adalah guru. Lewat pameran ini dirinya mengharapkan saran, kritik dan pengajaran dari siapa saja yang bisa memuaskan dirinya yang “haus” akan pengetahuan dan segala macam tekhnik seni lukis. Harapannya, ke depan karya yang juga adalah doanya, kelak menjadi semakin indah untuk dinikmati sesama sebagai pujian bagi Sang Pencipta.
Yang jelas, lewat karya-karya ini ia ingin menyuguhkan kepada masyarakat bahwa saat kita masuk ke dalam batin dan melihat dengan jernih gambaran kehidupan nyata dalam relasi dengan sesama dan pencipta, maka sebenarnya kotak-kotak suku, ras, agama, bahasa, aliran, genre dan lain-lain itu hanya pemisahan kehidupan bagian permukaan saja. “Tetapi ada titik-titik tertentu seperti seni, keragaman warna, spiritual, nada, perjuangan dan pengalaman nyata di dunia yang direfleksi serta dituangkan menunjukkan bahwa seluruh isi alam semesta ini adalah satu keluarga dengan berbagai warna yang indah bentukan Sang Pencipta,” ucap MoWan.
Sedangkan Romo Yohanes Agus Riyanto mengaku dunia seni lukis adalah panggung baru dalam hidupnya, dan bisa dikembangkan. Karena baru, ia “membaptiskan” diri dalam panggung seni, dengan nama Suga Sen.
Sebagai seorang imam religius, ia banyak belajar tentang menjadi murid dan menjadi pelayan yang dalam perjalananya penuh warna, tidak saja terang dan gelap, tapi juga abu-abu. “Di atas kanvas itulah, saya menggoreskan warna-warna itu. Saya ciptakan pula sebuah pergerakan yang dinamis dari sebuah perjalanan. Lebih dalam lagi, di atas kanvas saya goreskan Sabda yang sungguh hidup, bergerak dan gerakannya sungguh dinamis. Sabda itu adalah “guru” bagi seorang murid yang dipanggil menjadi pelayan,” ujarnya.
Menurut Suga Sen, ketika melukis, bukan saja dirinya yang berkreasi, tetapi lebih dari itu, ada “Pihak Lain” yang terlibat.Buah campur tangan “Pihak Lain” adalah karya yang kelihatan. Beberapa kali setiap mulai memegang kuas dan cat, ia tidak bisa membayangkan apa jadinya karya saya ini? “Mungkin ini adalah dosa saya, dan saya harus mengaku dosa bahwa sebagai pelukis saya tidak pernah memulai dengan skets. Semoga Tuhan mengampuni saya,” ungkapnya.
Dari pengalaman ini, Suga Sen mengaku bila ia belajar inkarnasi dalam seni. Apa yang tidak kelihatan, sekarang menjadi kelihatan dalam goresan di atas kanvas. Yang dulu tidak berwujud, sekarang dapat dilihat di atas kanvas.
Pameran ini, lanjutnya, adalah pertanggungjawaban dari sebuah pergumulan penuh warna yang digoreskan di atas kanvas. Pameran ini bukan bertujuan “memamerkan” sebuah karya, melainkan membagikan narasi sebuah perjalanan terhadap apa saja yang ditemui, yang tadinya tidak nampak, sekarang menjadi nampak.
“Semoga “Sabda yang Telah Menjadi Warna” semakin mewarnai dunia dengan keindahan,” kata MoWan. [YUK]