Koran Sulindo – Peningkatan utang luar negeri kita saban tahun dianggap tidak lagi menjadi sesuatu yang “menakutkan” atau mengkhawatirkan. Mengutang kini dianggap menjadi sesuatu yang wajar dan keharusan. Terlebih dipergunakan untuk hal-hal produktif. Semisal, pembangunan infrastruktur.
Itu sebabnya, ketika utang luar negeri kita terus membengkak, bahkan mencapai Rp 4.636,455 triliun pada akhir November tahun lalu, nyaris tidak ada yang memprotesnya. Jika ada yang protes akan disebut sebagai “pembenci” atau akan bernasib seperti Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa yang dirundung atau dicibir berbagai pihak termasuk kampusnya hanya karena mengkritik orientasi pembangunan infrastruktur pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), kenaikan utang luar negeri itu mencapai Rp 9,1% secara tahunan. Ketika disusun berdasarkan kelompok peminjam, posisi utang luar negeri swasta dan sektor publik sama-sama meningkat. Posisi utang swasta pada November 2017 tercatat US$ 170,6 miliar atau naik 4,2% secara tahunan dan lebih tinggi 1,3% secara tahunan dari bulan sebelumnya. Sedangkan posisi utang luar negeri publik tercatat US$ 176,6 miliar pada periode yang sama atau meningkat 14,3% secara tahunan dan dibanding bulan sebelumnya meningkat sekitar 8,4% secara tahunan.
Kendati nilai utang luar negeri tersebut meningkat pesat, BI tetap menyatakan masih dalam tahap aman, terutama dari jangka waktu asal. Utang luar negeri disebut didominasi utang luar negeri jangka panjang sekitar 85,7% dari total utang luar negeri pada November 2017 atau meningkat sekitar 7,5% secara tahunan, juga naik 3,9% secara tahunan dibanding bulan sebelumnya. Sedangkan utang luar negeri jangka pendek dengan pangsa pasar 14,3% dari total utang luar negeri meningkat 19,8% secara tahunan atau naik dibandingkan peningkatan pada Oktober 2017 yaitu 10,8%.
Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir November tahun lalu berada di kisaran 34%. Rasio tersebut, demikian BI, masih lebih baik dibanding negara-negara lain sekawasan. Akan tetapi, BI memastikan tetap akan memantau perkembangan utang luar negeri dari waktu ke waktu agar meyakinkan bahwa utang luar negeri bisa berperan secara maksimal untuk mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Seperti BI, peningkatan jumlah utang luar negeri itu dianggap masih wajar oleh anggota Komisi XI, Mukhamad Misbakhun. Menurutnya, peningkatan utang luar negeri itu masih dalam batas kewajaran, apalagi digunakan untuk sektor produktif. Karena itu, meski utang terus bertambah, Misbakhun berpendapat sah berutang karena ditujukan untuk sektor produktif. Dengan membangun infrastruktur diharapkan kelak bisa memberi manfaat kepada masyarakat. Semisal, mudah mengakses pelabuhan sehingga mudah mencapai target untuk sektor ekspor.
Misbakhun menuturkan, penggunaan utang untuk sektor produktif akan menopang laju pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi terbukti pemerintah mampu membayar utang dengan tepat waktu. Karena itu, menyoal jumlah utang hari ini tidak lagi relevan, akan tetapi untuk apa sesungguhnya utang itu dipergunakan dan mampu atau tidak pemerintah membayarnya.
Positif
Pandangan yang berbeda disampaikan ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Drajad H. Wibowo. Kenaikan utang luar negeri, kata Drajad, akan membebani generasi mendatang. Di samping itu, penggunaan utang luar negeri untuk membiayai proyek infrastruktur justru perlu dievaluasi. Pasalnya, kurang berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja. Dengan kata lain, utang itu kelak akan ditanggung generasi mendatang. “Di sisi lain kurang produktif dalam menyerap tenaga kerja,” kata Drajad beberapa waktu lalu.
Lebih jauh Drajad mengatakan, sektor konstruksi hanya mampu memberikan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sekitar 134.592 penduduk per tahun. Jauh lebih rendah dibandingkan sektor perdagangan, pergudangan dan jasa akomodasi yang mencapai 1,1 juta per tahun.
Sedangkan, pemerintah lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penambahan utang pada 2018 tidak sebesar tahun sebelumnya. Sri beralasan karena penerimaan negara tumbuh lebih tinggi dibanding 2017. Utang yang ditarik pemerintah pada Januari 2018, kata Sri, hanya Rp 21,4 triliun. Itu digunakan untuk menutup defisit anggaran. Jumlah tersebut tentu saja lebih rendah jika dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp 82,1 triliun. ‘Ini positif,” kata Sri seperti dikutip Republika online pada Januari lalu.
Berdasarkan data Direktorat Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan pada Agustus 2017, pengutang terbesar untuk Indonesia masih didominasi Bank Dunia. Jumlahnya mencapai Rp 238,49 triliun pada Juli 2017 atau setara 32,6% dari total utang luar negeri. Setelah itu menyusul lembaga-lembaga Islamic Development Bank (IDB), Bank Pembangunan Asia (ADB), Jerman, Jepang dan lain sebagainya.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo juga menyambut kedatangan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde. Jokowi didampingi Sri Mulyani, Gubernur BI Agus Martowardojo, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro dan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Pertemuan tersebut hanya berkisar 30 menit dan salah satunya membahas rencana pertemuan tahunan dan Bank Dunia di Bali pada Agustus 2018.
Setelah pertemuan, Jokowi mengajak Lagarde blusukan, salah satunya ke Rumah Sakit Pusat Pertamina untuk menunjukkan efektivitas Kartu Indonesia Sehat yang menjadi bagian dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Juga mengunjungi Tanah Abang. Kendati demikian, banyak pihak menduga kedatangan bagian dari rencana pemerintah mengutang lagi kepada IMF dan Bank Dunia. Sejurus kedatangan mereka, nilai tukar rupiah turun ke posisi Rp 13.699/dolar hingga Rp 13.722/dolar.
Selepas rezim fasis militer Soeharto turun pada 1998, skema pembangunan pemerintahan Indonesia nampaknya tidak berubah sama sekali, terutama soal utang. Entah mengapa pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman soal utang tersebut. Kendati Soeharto sudah tak berkuasa, rakyat Indonesia tetap saja tidak bebas dari beban utang. Pada masa Soeharto utang luar negeri terus meningkat hingga mencapai US$ 159 miliar yang berasal lembaga-lembaga keuangan internasional di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS) seperti IMF dan Bank Dunia. Utang tersebut masih membebani rakyat hingga hari ini. Celakanya skema yang sama juga ditempuh rezim Jokowi – Jusuf Kalla.
Skema IMF
Sebuah catatan berjudul The Case for Debt Relief yang ditulis Binny Buchori dan Sugeng Bahagijo menilai, utang luar negeri Indonesia pada masa Soeharto menarik untuk dianalisis. Pasalnya, Indonesia harus membayar lebih dari separuh pendapatan ekspor untuk membayar utang. Dengan kata lain, separuh uang rakyat yang harusnya bisa digunakan untuk pembangunan, jaminan sosial dan lain sebagainya justru dikirim ke luar negeri.
Seperti Misbakhun yang mengatakan utang bukan masalah hari ini, pada masa Soeharto utang juga disebut sebagai bantuan luar negeri. Setelah itu, muncul krisis keuangan pada 1997 yang berlanjut menjadi krisis ekonomi. Selain karena devaluasi, krisis itu juga disebabkan karena melonjaknya utang luar negeri. Sejurus kemudian, IMF datang dengan resep klasiknya yakni tentang meningkatkan penerimaan pajak, mencabut subsidi dan menaikkan suku bunga perbankan. Resep IMF lantas menyebabkan lonjakan inflasi yang dramatis. Lembaga seperti Oxfam menyebut apa yang dilakukan IMF itu sesungguhnya adalah memperdalam dan memperpanjang resesi.
Setelah berkaca dari rezim Orde Baru, kita juga perlu khawatir tentang utang itu jika mau belajar dari pengalaman Yunani. Tidak ada yang menyangka Yunani hari ini disebut sebagai negara bangkrut karena tak mampu bayar utang. Akan tetapi, IMF lekas-lekas meralatnya sebagai negara yang sedang menunggak utang. Mulanya krisis utang menghantam Yunani berawal pada 2001. Setelah beberapa tahun pertama semuanya berjalan baik. Akan tetapi, pada 2009, Yunani justru dinyatakan sebagai negara bangkrut. Mengejutkan! Itu sebabnya, perlu menganalisis apa sesungguhnya yang terjadi di Yunani.
Menurut sebuah tulisan Who Owns Greece’s Debt yang dimuat Global Research menyebutkan krisis utang Yunani merupakan akumulasi selama bertahun-tahun. Utang publik negara tersebut pada 2004, misalnya, mencapai € 183,2 miliar. Lalu meningkat menjadi € 299,5 miliar pada 2009 atau setara dengan 127% dari PDB Yunani. Pada 2015, utang publik Yunani mencapai € 323 miliar, hampir 175% dari PDB.
Untuk mengetahui asal muasal utang publik, parlemen Yunani lalu membentuk semacam komite yaitu “Truth Committee about the Public Debt”. Tujuannya adalah menyelidiki bagaimana utang luar negeri tersebut bisa terakumulasi sejak 1980 hingga 2014. Dalam laporan awalnya, komite menyatakan utang luar negeri Yunani sebagian besar tidak wajar dan tidak sah.
Kenaikan utang sebelum 2010 disebut bukan untuk belanja publik melainkan karena pembayaran suku bunga yang tinggi kepada kreditor sehingga penerimaan pajak hilang. Dengan kata lain arus modal keluar menjadi tidak sah. Mirip seperti temuan Binny Buchori dan Sugeng Bahagijo tentang utang luar negeri Indonesia yang menyatakan separuh pendapatan ekspor digunakan untuk membayar utang. Membengkaknya utang Yunani itu juga disebabkan belanja militer yang berlebihan yang terjadi sebelum 2010.
Yunani kini mencari jalan untuk menghapus utang negara secara substansial sehingga negeri itu bisa kembali tumbuh secara perekonomian. Yang lebih penting dari itu, laporan awal penyelidikan asal muasal utang luar negeri Yunani juga menyebutkan, pinjaman pertama pada 2010 digunakan untuk menyelamatkan bank swasta Yunani dan Eropa, terutama bank Jerman dan Prancis.
Utang bank swasta kemudian diubah menjadi utang publik lewat skema bailout. Sebuah skema yang tidak asing bagi Indonesia pada kasus BLBI dan bailout Bank Century. Dari sini bisa dipastikan, utang tersebut sama sekali tidak bermanfaat bagi rakyat Yunani. Lantas siapa sesungguhnya pemilik utang publik Yunani? Hampir 80% pemilik utang adalah lembaga-lembaga publik terutama dari Uni Eropa dan IMF. Sisanya adalah kreditor swasta.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Alih-alih mencari kebenaran atas utang, anggota parlemen seperti Misbakhun justru menganggap mengutang adalah sebuah kewajaran. Dan seperti yang sudah disebutkan meski utang terus berakumulasi, lagi-lagi pemerintah hanya percaya kepada resep Bank Dunia dan IMF – bukan kepada pengalaman yang disebut sebagai guru terbaik itu. [Kristian Ginting]