Ilustrasi RUU Pemilu/Media Indonesia

Koran Sulindo – Upaya merevisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu merupakan isu yang cukup keras tarik-menariknya di parlemen. Setidaknya gelagat itu ditunjukkan dari tidak sedikitnya fraksi yang belakangan ini menyatakan menarik dukungan dari proses legislasi itu, hingga meninggalkan Fraksi Partai Demokrat dan PKS saja yang mendukung dan bakal terus mengupayakan revisi.

Revisi UU Pemilu sudah sering dilakukan. Faktor pembedanya, biasanya perdebatan pada penentuan ambang batas parlemen dan ambang batas presiden, kali ini melebar dengan mengatur normalisasi pelaksanaan pilkada untuk tidak digelar serentak tahun 2024.

Sejauh ini, DPR belum menetapkan Prolegnas Prioritas 2021 dalam paripurna. Situasi ini turut menggambarkan semakin kentaranya tarik-menarik di parlemen terkait RUU Pemilu yang sekarang ini drafnya sudah dalam tahap harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg). Baleg bahkan sempat mengeluhkan mengapa pimpinan DPR tak kunjung menggelar paripurna prolegnas.

Daftar Prolegnas Prioritas 2021 telah disahkan di tingkat Baleg pada 15 Januari 2021. Terdapat 33 RUU termasuk RUU Pemilu didalamnya. Belum ditetapkannya prolegnas di tingkat paripurna mengakibatkan pembahasan RUU tertunda. Padahal publik juga menanti pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) atau RUU Perlindungan Data Pribadi untuk segera dibahas.

RUU Pemilu sejatinya tidak populer bagi masyarakat. Terlalu elitis. Namun tetap menarik karena adanya pertarungan kekuasaan terkait urgensi menggelar pilkada pada 2022 dan 2023. Terlebih terdapat isu adanya ancaman reshuffle bagi fraksi koalisi pemerintah di parlemen yang ngotot untuk merevisi UU Pemilu.

Nasdem dan Golkar termasuk dua fraksi yang menjadi motor untuk mendorong revisi. Keduanya turut mendukung normalisasi jadwal pilkada. Namun pada waktu yang berdekatan, keduanya kompak menolak revisi dan menyatakan mendukung langkah pemerintah mengatasi pandemi dan pemulihan ekonomi.

Tidak sedikit pula organisasi masyarakat sipil yang menyayangkan sikap parpol di Senayan yang mudah sekali berbalik arah. Semula mendukung revisi dengan menyampaikan argumentasi yang berapi-api, belakangan malah manut mengikuti instruksi DPP menarik dukungan.

Serupa dengan fraksi di parlemen, organisasi sipil turut terbelah menyikapi revisi. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendukung upaya revisi dan menormalisasi pelaksanaan pilkada dari Pemilu 2024.

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil menilai perubahan sikap yang ditunjukkan fraksi-fraksi di DPR cenderung aneh, karena terkesan membebek saja dengan kemauan pemerintah yang menolak revisi.

“Tidak semua juga keinginan dari pemerintah itu harus dituruti sekalipun mereka adalah partai politik koalisi dari pemerintah yang saat ini berjalan,” kata dia, dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan secara daring.

Sedangkan Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiyansyah menyebut, revisi UU Pemilu penting dilakukan sebagai sebagai langkah koreksi atas banyaknya catatan dalam pelaksanaan Pemilu 2019 dan Pilkada 2020.

Eks Komisioner KPU ini malah menilai, seringnya UU Pemilu dikoreksi di Indonesia sangatlah wajar, mengingat pembahasannya tidak tuntas karena berorientasi pada kepentingan yang muncul saat itu.

Akibatnya teknik tambal sulam dalam memperbaiki UU Pemilu dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan semua elemen terkait penyelenggaraan pemilu, baik elemen elektoral, pemilih, penyelenggara dan peserta pemilu.

“Kalau kita ingin lebih baik lagi, proses perbaikan UU ini harus tertata baik dalam berbagai dimensi, baik itu soal sistem, aktor, elektoral prosesnya, electoral justice, mekanisme yang muncul di dalamnya dibahas secara tuntas,” katanya.

Komite Pemilih Indonesia (Tepi) mendukung revisi asalkan pembahasannya dilakukan mendalam dan menyeluruh. Tidak tergesa-gesa. Tidak lagi tambal-sulam. Bila perlu pembahasannya dibuat panjang untuk selanjutnya diterapkan setelah 2024. Langkah ini dianggap penting untuk menghindari kesan adanya kepentingan politik sesaat.

Menolak
Gelagat pemerintah menolak revisi UU Pemilu sudah diketahui setelah Presiden Jokowi mengumpulkan eks jubir tim kampanye nasional (TKN) Pilpres 2019, di Istana Negara, awal 2021 yang lalu. Dalam pertemuan itu presiden menyinggung mengapa DPR harus merevisi UU Pemilu yang sejatinya belum dilaksanakan.

Revisi UU Pemilu merupakan inisiatif dari Komisi II DPR. Semangatnya adalah mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019 maupun Pilkada 2020, karena banyaknya korban jiwa dari pihak penyelenggara. Hanya PDI Perjuangan yang diketahui menolak pembahasan tersebut. Khususnya berkaitan dengan normalisasi pilkada.

Banyaknya fraksi yang berbalik arah dengan menarik dukungan terhadap revisi menjadi wajar dipertanyakan publik. Apabila fraksi-fraksi serius menyoroti perbaikan kualitas pemilu maupun pilkada, seharusnya mereka mendorong setidaknya revisi dijalankan kendati prosesnya tertunda di kemudian hari.

Terlebih tidak sedikit RUU yang sudah masuk prolegnas prioritas namun pembahasannya tertunda. Setidaknya parpol-parpol yang pro-revisi menunjukkan perjuangannya dulu. Namun dalam RUU Pemilu mereka dengan mudah berbalik yang malah mengundang pertanyaan lebih besar.

Tidaklah mengherankan pula mengapa pemerintah menolak revisi mengingat situasi pandemi. Negara butuh biaya besar untuk memerangi pandemi. Belum lagi mengatasi dampak ekonomi yang menyertai. Kementerian Kesehatan saja mengajukan anggaran tambahan Rp 132 triliun untuk membendung pagebluk.

Namun tidak berlebihan pula bila pilkada di normalisasi untuk digelar tahun 2022 atau 2023. Dengan adanya perhelatan tersebut, barangkali pemerintah bisa mengoptimalkan laju penyebaran pandemi. Namun apabila pelasanaan pilkada dilakukan hanya untuk memuaskan nafsu politik segelintir pihak dengan mengorbankan emosi publik, kita patut melawan upaya itu.

Menarik untuk mencermati asumsi yang menyebut dua parpol besar yang telah menarik dukungan terhadap revisi UU Pemilu hanya ingin menaikan posisi tawar. Namun Jubir Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman menepis argumen parpol yang menarik dukungan lantaran menuruti keinginan presiden.

“Perdebatan tersebut ada di DPR, pemerintah tidak terlibat. Pemerintah fokus menangani pandemi Covid-19, memulihkan ekonomi rakyat,” kata Fadjroel. [Erwin Cristianson Sihombing]