Koran Sulindo – Untuk pertama kalinya sejak tahun 1990-an, Rusia keluar dari deretan lima besar belanja pertahanan, tulis Financial Times. Rusia tak lagi masuk dalam daftar lima negara dengan anggaran pertahanan tertinggi tahun ini. Demikian hal tersebut dilaporkan perusahaan riset asal Inggris Jane’s Defence Budget.
Sementara itu, AS menempati peringkat pertama, diikuti Tiongkok, dan Inggris. India masuk pada posisi keempat, mengalahkan Arab Saudi dan Rusia. Hal ini disebabkan oleh, akibat merosotnya harga minyak. Pemerintah Rusia terpaksa memangkas anggaran militernya sebesar 30 persen atau senilai 15,89 miliar dolar AS. Rusia mengakui dampak merosotnya harga minyak benar-benar mempengaruhi hampir semua sektor. Reformasi industri pertahanan Rusia terpaksa ditunda.
Secara keseluruhan, pengeluaran untuk pertahanan nasional di anggaran federal untuk 2017 ialah sebesar 2,84 triliun rubel (45,15 miliar dolar AS), atau 3,3 persen PDB. Terlebih lagi, setelah diberlakukannya sanksi Barat serta jatuhnya harga minyak dunia, Rusia secara konsisten mulai mengurangi anggaran pertahanan nasional.
Menurut Aleksey Arbatov, Direktur Pusat Keamanan Internasional di Institut Ekonomi Dunia, pengeluaran negara untuk sektor pertahanan pada 2016 dianggarkan sebesar 3,2 triliun rubel (52 miliar dolar AS), dan pada 2017 telah ditetapkan hanya sebesar 2,8 triliun rubel (46 miliar dolar AS).
“Ini secara langsung terkait dengan defisit anggaran dan krisis ekonomi, tidak ada alasan lainnya,” tutur Arbatov.
Dari berbagai data, pengeluaran anggaran pertahanan Rusia mengambil lima persen dari PDB negara. Angka ini mengungguli AS (sekitar 3,1 persen dari PDB), Tiongkok, dan sebagian besar negara-negara Eropa (dua persen dari PBD, atau bahkan kurang dari itu). Sementara, Arab Saudi dan Israel menghabiskan lebih besar dari Rusia (masing-masing 13 persen dan 5,5 persen).
“Ketika jumlah pemasukan merosot, upaya mencapai kompromi antara berbagai penerima anggaran yang berbeda tak lagi diutamakan. Hal yang penting ialah memastikan meski artinya dalam skala yang lebih rendah operasi ekonomi nasional dan negara di semua area kunci,” ujar analis keuangan dari Finam, Alexei Kalachev.
Ditambahkan, jika harga minyak jatuh maka tidak wajar jika terus meningkatkan pengeluaran militer, sedangkan anggaran untuk kesejahteraan dipotong. Maka, porsi pengeluaran militer juga perlahan menurun.
Namun demikian, dalam struktur APBN Rusia — jika dibandingkan sektor lainnya — dana yang dihabiskan untuk sektor pertahanan tak banyak dikurangi. Sementara, pemotongan besar-besaran terjadi pada sektor sosial dari perekonomian Rusia. Arbatov menyebutkan, hal ini menunjukkan prioritas pemerintah Rusia.
Pemerintah Rusia telah memutuskan untuk mengurangi pendanaan untuk ‘Pembangunan Inovatif dan Modernisasi Ekonomi’ (dikurangi 250 miliar rubel), serta program-program ‘Kualitas Hidup Baru’ (dikurangi 90,9 miliar rubel), dan ‘Pengembangan Sistem Transportasi’ (83,5 miliar rubel), tulis Novaya Gazeta melaporkan pada Oktober lalu.
Sebagaimana yang dijelaskan Arbatov, Rusia akan memotong anggaran belanja militer dengan meningkatkan durasi pelaksanaan sejumlah proyek, daripada membatalkan seluruh proyek sepenuhnya. Menurutnya, sebagian pengeluaran akan didistribusikan dalam kerangka kerja Program Persenjataan Negara yang baru pada 2025, yang akan menggantikan program serupa pada tahun 2020.
Selain itu, ada kemungkinan Rusia berhemat untuk rencana pelaksanaan latihan militer besar-besaran, yang sebelumnya pernah melibatkan hingga 150 ribu tentara, tutur sang pakar.
Masih Bisa Mengungguli NATO
Meskipun demikian, banyak pengamat pertahanan internasional meyakini negara Rusia mampu tundukkan NATO dalam waktu 60 jam saja. Militer negeri Vladimir Putin itu, masih diyakini akan mampu menduduki negara anggota NATO di kawasan Baltik cuma dalam waktu 36 hingga 60 jam. Analisa yang dikeluarkan sebuah lembaga think-tank Amerika Serikat tersebut menyebut, NATO tidak memiliki kemampuan militer yang mencukupi buat melindungi perbatasan terluarnya.
Lewat berbagai simulasi perang, Rusia akan dengan mudah mencaplok Latvia dengan mengirimkan batalion bersenjata berat, tanpa adanya kekuatan tandingan setara dari pihak NATO. Masalah terbesar negara-negara pakta pertahanan Atlantik Utara tersebut adalah, minimnya persenjataan di ke 12 batalion yang dimilikinya di perbatasan timur. Studi tersebut mencatat batalion NATO di timur tidak memiliki satu pun tank tempur, kecuali batalion Stryker milik AS yang dilengkapi dengan 300 kendaraan lapis baja dan 4500 serdadu.
Kekuatan sebaliknya semua 27 batalion Rusia di wilayah yang berbatasan dengan NATO diperkuat dengan tank tempur. Untuk menyaingi kekuatan Rusia, NATO harus menambah kekuatannya di darat. Studi Rand Corporation menganjurkan NATO membentuk tujuh brigade, tiga diantaranya diperkuat dengan tank tempur, dan didukung oleh satuan artileri dan angkatan udara, akan mampu menjamin keamanan negara anggotanya di perbatasan terluar.
Hanya saja, untuk melakukan penambahan pasukan pada skala sebesar itu akan menyedot biaya sekitar 2,7 milyar US Dollar atau sekitar 36 trilyun Rupiah per tahun. (NOR)