Mortir 2S4 Tyulpan

Koran Sulindo – Rusia membongkar gudang persenjataannya dan mulai mempertimbangkan ulang penggunaannya termasuk di antaranya adalah ‘God of War’.

Tentara Rusia menyebut artileri sebagai ‘dewa perang’ yang kekuatan destruktifnya tak hanya menghancurkan formasi musuh namun sekaligus mengubah ‘bentuk’ medan perang.

Mengapa Moskow menginginkan senjata-senjata lama itu di tengah makin canggihnya bom pintar? Jawabannya mungkin sangat sederhana. Soal biaya.

Di era Perang Dingin, Uni Soviet memiliki sejumlah besar artileri berat yang sanggup menembakkan hulu ledak biasa ataupun nuklir.

Tentu saja, dengan semua senjata-senjata itu seandainya Perang Dingin meledak menjadi perang terbuka, negara-negara Barat yang tergabung dalam NATO bakal mendapat ‘pelajaran’ yang keras dan menyakitkan.

Sayang, dengan runtuhnya Uni Soviet di dekade 90-an, senjata-senjata raksasa itu segera masuk depot penyimpanan Tentara Merah.

Saat ini, dengan meningkatnya ketegangan antara Rusia dan Barat, ‘Dewa Perang’ yang selama ini tertidur sedang dibersihkan dan dimodernisasi, termasuk di antara mereka adalah 2S4 Tyulpan dan 2S7 Pion.

Sebagai sistem mortir terbesar yang digunakan sampai saat ini, 2S4 Tyulpan adalah mortir self-propelled 240mm.

Senjata utama 2S4 Tyulpan adalah mortar 240mm yang digotong sasis adaptasi dari pelacak ranjau. Sebelum menembak, mortir berputar pada engsel di bagian belakang kendaran dan berpijak di atas pelat.

Setelah berakhirnya Perang Dingin, Rusia menempatkan sebagian besar sistem artileri kaliber besar ini ke depot penyimpanan jangka panjang karena beberapa alasan di antaranya yang paling utama adalah penggunaan rudal balistik dan rudal jelajah.

Selain itu misi-misi artileri berat juga bisa dilakukan oleh howitzer seperti M19 yang berukuran 152 milimeter.

Rusia mengeluarkan senjata-senjata itu dari depot penyimpanan sekaligus meningkatkan antarmuka dengan perintah komando modern dan sistem kontrol termasuk menerapkan upgrade komunikasi dan sistem kontrol tembakan.

Senjata-senjata itu dihidupkan untuk melengkapi Brigade Artileri ke-45  yang merupakan satu-satunya brigade artileri berat independen yang melekat pada pasukan atau korps. Satu batalyon unit ini biasanya dilengkapi dengan 8-12 tabung.

Tentu saja itu tak menjawab pertanyaan mengapa Rusia memutuskan untuk menggunakan kembali senjata-senjata ini?

Tanpa perang dingin, kebutuhan untuk mengerahkan artileri nuklir berbasis tabung dengan sendirinya juga berkurang. Di sisi lain, tetap dibutuhkan sebuah sistem persenjataan yang sanggup meratakan daerah perkotaan atau benteng lapangan, tugas yang selama ini sulit dilakukan oleh artileri 122mm dan 152mm standar bahkan di era bom pintar sekalipun.

Secara historis, pasukan tanpa artileri berat menjadi sangat tak berdaya ketika dalam pertempuran harus berhadapan dengan benteng pertahanan.

Jerman mengandalkan pengepungan artileri ketika dengan cepat menghancurkan benteng Belgia pada tahun 1914. Mereka juga mengandalkan Karl mortir 600 milimeter untuk merebut benteng Soviet di Sevastopol tahun 1942.

AS juga menemukan bahwa meriam 203 mm dan 240 mm menjadi senjata yang sangat berguna untuk menghancurkan benteng Jerman di Eropa di 1944-1945.

Alasan lain, senjata berteknologi tinggi seperti rudal balistik terlalu mahal dan tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas.

Di sisi lain kemampuan industri pertahanan Rusia menyediakan rudal canggih dan mahal dalam jumlah banyak pada skala perang besar mungkin akan sangat dipertanyakan. Memproduksi peluru untuk 2S4 dan 2S7 tentu saja jauh lebih cepat dan lebih murah dibanding memproduksi rudal apapun.[TGU]