Koran Sulindo – Turki, Indonesia, dan Argentina sedang mengalami penurunan nilai mata uang yang drastis beberapa bulan terakhir ini. Pada saat yang sama, nilai saham India, Afrika Selatan, Meksiko dan beberapa negara lain juga merugi.
Secara umum pasar negara-negara berkembang berada di bawah tekanan sejak bank sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan nilai suku bunga pada bulan Juni. Beberapa negara dan perusahaan-perusahaan yang meminjam dalam dolar AS melakukannya pada saat suku bunga sedang rendah dan nilai dolar sedang lemah. Sekarang dengan meningkatnya nilai dolar dan suku bunga, ahli ekonomi Michael Bordo, Chris Meissner dan David Stuckler mengatakan negara-negara dengan nilai utang valuta asing yang tinggi akan lebih rawan mengalami krisis mata uang dan utang, khususnya bagi negara-negara dengan kredibilitas kebijakan yang rendah.
Terdapat kekhawatiran terulangnya krisis moneter Asia tahun 1997 saat melemahnya mata uang Thailand, Bath, menular pada nilai mata uang lain di Asia Tenggara, menyebabkan krisis ekonomi regional. Namun penularan demikian kali ini sepertinya tidak akan terjadi.
Krisis moneter 1997 di Asia telah mengubah bagaimana para ekonom melakukan pendekatan terhadap krisis mata uang. Sebelumnya, mereka percaya bahwa krisis mata uang hanya akan terjadi saat suatu negara tengah menghadapi defisit pembayaran dan bank sentral tidak memiliki cadangan devisa yang memadai untuk mempertahankan nilai mata uangnya sendiri. Setelah krisis Asia tersebut, Kepala Ekonom IMF, Maurice Obstfeld menjadi salah satu ahli ekonomi pertama yang menunjukkan kalau krisis ekonomi justru bisa diakibatkan oleh pesimisme para investor yang jadi kenyataan, seperti yang terjadi tahun 1997. Saat para investor mulai memandang masa depan mata uang negara-negara berkembang secara negatif, penurunan nilai mata uang dapat terjadi tanpa harus adanya kondisi fundamental ekonomi yang buruk atau kebijakan pemerintah yang tidak tepat.
Situasi yang dunia hadapi sekarang tidak sama. Argentina menunjukkan gejala fundamental ekonomi yang lemah dan pemerintahnya sedang bersusah payah untuk membiayai anggaran beberapa tahun ke depan. Bank sentral Turki sedang diserang oleh Presidennya sendiri, Recep Tayyip Erdogan, dan harus membuktikan kemandiriannya kepada para penanam modal. Segala permasalahan tersebut adalah isu-isu yang berdiri sendiri dan tidak berkemungkinan mengakibatkan penularan global.
Belum lama ini, Bank sentral Amerika merilis catatan yang menjelaskan bahwa risiko krisis global yang tengah melanda berkaitan dengan mata uang pasar-pasar berkembang. Namun menurut catatan tersebut, risiko menularnya penurunan nilai mata uang terbilang rendah karena hanya sejumlah negara yang memiliki risiko tersebut, dan negara-negara tersebut relatif tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap ekonomi dunia. Mereka merujuk pada penelitian dari Laura Alfaro dan rekan-rekannya, ahli-ahli ekonomi dari Harvard, yang menunjukkan bahwa pasar-pasar berkembang menghadapi risiko yang lebih rendah dibanding dengan lima negara Asia yang dilanda krisis sebelum 1997.
Pendekatan yang Berbeda
Yang menarik dari kasus Argentina adalah bahwa pemerintahannya adalah percontohan kebijakan ekonomi ortodoks. Jika kondisi ekonomi Argentina terus menurun, akan terbukti bahwa meskipun suatu negara menaati sebagian besar rekomendasi dari IMF, pertumbuhannya tidak terjamin. Hal tersebut dapat membuka jalan untuk reaksi populis atau kemunculan kembali oposisi Peron di pemilihan umum 2019.
Namun belum saatnya untuk berputus asa. Pinjaman yang ditawarkan IMF kepada Argentina senilai AS$ 50 milyar adalah jumlah yang secara signifikan lebih besar daripada nilai pasar valuta asing Argentina, yang diperkirakan oleh Bank for International Settlements (BIS) bernilai AS$ 1 milyar per hari. Ini berarti bahwa bank sentral Argentina akan memiliki ruang gerak untuk bermanuver sepanjang Presiden Argentina, Mauricio Macri, tidak salah langkah seperti saat ia mengumumkan keinginan dia untuk menerima bantuan IMF melalui YouTube. Manuver tersebut menunjukkan keinginan Presiden Macri untuk memulai kembali diskusi dengan IMF, institusi yang berkaitan erat dengan kebangkrutan negara tersebut pada pada awal tahun 2000. Namun, pasar tidak merasa diyakinkan dengan pernyataan tersebut.
Pada saat yang sama, Turki telah menerapkan beberapa langkah untuk menghentikan kemerosotan lira dan mempersulit para spekulator untuk bertaruh melawan lira. Meskipun tindakan-tindakan tersebut memiliki dampak, pengaruh tersebut tidak cukup untuk menghentikan krisis yang tengah berlangsung. Isu yang tetap paling krusial adalah apakah bank sentral dapat independen dari pengaruh Presiden Erdogan. Rasa ketidaksukaan Presiden Erdogan atas independensi bank sentral membuat kondisi di Turki berbeda dengan kondisi di Argentina menurut ekonom, Barry Eichengreen.
Situasi yang terjadi di Turki juga terjadi di Indonesia. Nilai tukar rupiah terus merosot dibanding dolar Amerika. Selasa (2/10/2018) lalu, rupiah anjlok ke level terendah selama 20 tahun terakhir yaitu Rp 15.000 per dolar. Hal ini terjadi karena sentimen negatif terhadap aset negara berkembang dan naiknya harga minyak. Pada bulan Juli, analis sudah memperkirakan hal ini akan terjadi karena kenaikan suka bunga oleh bank sentral Amerika. Turunnya nilai rupiah sebesar 10% tahun ini adalah akibat kenaikan suku bunga Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia telah menerapkan beberapa strategi untuk mencegah rupiah turun lebih parah, namun belum ada yang berhasil.
Terlampau mudah untuk memandang semua pasar berkembang sama. Namun meskipun prospek penularan penurunan nilai mata uang belum tampak, tidak berarti bahwa semua baik-baik saja. Jika dihitung sejak resesi resmi terakhir, resesi di AS sudah telat sembilan tahun, dan ini dapat membawa akibat yang lebih genting kepada ekonomi global sebab dapat menekan ekspor pasar-pasar berkembang. Hal tersebut dapat memperparah krisis mata uang yang tengah terjadi, namun sampai saat itu, penularan lebih lanjut seharusnya dapat dibatasi. [Alain Naef, Kandidat Doktor di Financial History and Teaching Fellow, Fakultas Ekonomi, Universitas Cambridge, Inggris]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia.
![INDONESIA RUPIAH Ilustrasi pelemahan nilai tukar rupiah [ft.com]](https://koransulindo.com/wp-content/uploads/2018/10/rupiah-financial-times-640x360.jpg)


![Apakah Rasa Takut Israel Membenarkan Perangnya dengan Iran? Pada dini hari tanggal 13 Juni, Israel melancarkan serangan "preemptif" terhadap Iran. Ledakan mengguncang berbagai bagian negara itu. Di antara targetnya adalah situs nuklir di Natanz dan Fordo, pangkalan militer, laboratorium penelitian, dan tempat tinggal militer senior. Pada akhir operasi, Israel telah menewaskan sedikitnya 974 orang sementara serangan rudal Iran sebagai balasan telah menewaskan 28 orang di Israel. Israel menggambarkan tindakannya sebagai pertahanan diri antisipasi, dengan mengklaim Iran hanya tinggal beberapa minggu lagi untuk memproduksi senjata nuklir yang berfungsi. Namun penilaian intelijen, termasuk oleh sekutu Israel, Amerika Serikat, dan laporan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak menunjukkan bukti Teheran sedang mengejar senjata nuklir. Pada saat yang sama, diplomat Iran sedang berunding dengan mitra AS untuk kemungkinan kesepakatan nuklir baru. Namun, di luar analisis militer dan geopolitik, muncul pertanyaan etika serius: apakah secara moral dapat dibenarkan untuk melancarkan serangan yang menghancurkan tersebut bukan berdasarkan apa yang telah dilakukan suatu negara, tetapi berdasarkan apa yang mungkin dilakukannya di masa mendatang? Preseden apa yang ditetapkan oleh hal ini bagi seluruh dunia? Dan siapa yang dapat memutuskan kapan rasa takut cukup untuk membenarkan perang? Pertaruhan Moral yang Berbahaya Hossein Dabbagh, seorang asisten profesor filsafat di Northeastern University London, mengemukakan pandangannya untuk Al Jazeera. Para ahli etika dan pengacara internasional menarik garis kritis antara perang preemptif dan preventif. Preemptif menanggapi ancaman yang akan segera terjadi—serangan langsung. Perang preventif menyerang kemungkinan ancaman di masa mendatang. Hanya yang pertama memenuhi kriteria moral yang berakar pada karya-karya filosofis para pemikir seperti Augustine dan Aquinas, dan ditegaskan kembali oleh para ahli teori modern seperti Michael Walzer—menggemakan apa yang disebut rumus Caroline, yang mengizinkan kekuatan preemptif hanya ketika ancaman itu "seketika, sangat kuat, dan tidak memberikan pilihan, dan tidak ada waktu untuk pertimbangan". Namun, serangan Israel gagal dalam ujian ini. Kemampuan nuklir Iran baru akan rampung dalam beberapa minggu. Diplomasi belum sepenuhnya dilakukan. Dan kehancuran yang mungkin terjadi—termasuk dampak radioaktif dari ruang sentrifus—jauh melampaui kebutuhan militer. Hukum tersebut mencerminkan batasan moral. Pasal 2(4) Piagam PBB melarang penggunaan kekerasan, dengan satu-satunya pengecualian dalam Pasal 51, yang mengizinkan pembelaan diri setelah serangan bersenjata. Seruan Israel untuk pembelaan diri antisipasi bergantung pada kebiasaan hukum yang diperdebatkan, bukan hukum perjanjian yang diterima. Para ahli PBB menyebut serangan Israel sebagai "tindakan agresi terang-terangan" yang melanggar norma jus cogens. Pengecualian yang mahal seperti itu berisiko merusak tatanan hukum internasional. Jika satu negara dapat secara kredibel mengklaim tindakan pencegahan, negara lain juga akan melakukannya—mulai dari China yang bereaksi terhadap patroli di dekat Taiwan, hingga Pakistan yang bereaksi terhadap sikap India—yang mana akan merusak stabilitas global. Para pembela Israel menanggapi bahwa ancaman eksistensial membenarkan tindakan drastis. Para pemimpin Iran memiliki sejarah retorika yang bermusuhan terhadap Israel dan secara konsisten mendukung kelompok-kelompok bersenjata seperti Hizbullah dan Hamas. Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel baru-baru ini berpendapat bahwa ketika keberadaan suatu negara terancam, hukum internasional kesulitan untuk memberikan jawaban yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Bekas luka historis itu nyata. Namun para filsuf memperingatkan bahwa kata-kata, betapapun penuh kebencian, tidak sama dengan tindakan. Retorika berdiri terpisah dari tindakan. Jika ucapan saja membenarkan perang, negara mana pun dapat melancarkan perang preemptif berdasarkan retorika kebencian. Kita berisiko memasuki "keadaan alamiah" global, di mana setiap momen yang menegangkan menjadi penyebab perang Teknologi Menulis Ulang Aturan Teknologi memperketat tekanan pada kehati-hatian moral. Drone dan pesawat F-35 yang digunakan dalam Rising Lion bekerja sama untuk melumpuhkan pertahanan Iran dalam hitungan menit. Negara-negara dulunya dapat mengandalkan waktu untuk berdebat, membujuk, dan mendokumentasikan. Rudal hipersonik dan drone bertenaga AI telah mengikis jendela itu—menghadirkan pilihan yang sulit: bertindak cepat atau kehilangan kesempatan. Sistem ini tidak hanya mempersingkat waktu pengambilan keputusan—tetapi juga menghilangkan batas tradisional antara masa perang dan masa damai. Ketika pengawasan drone dan sistem otonom tertanam dalam geopolitik sehari-hari, perang berisiko menjadi kondisi default, dan perdamaian menjadi pengecualian. Kita mulai hidup bukan di dunia yang penuh krisis sementara, tetapi dalam apa yang disebut filsuf Giorgio Agamben sebagai keadaan pengecualian permanen—suatu kondisi di mana keadaan darurat membenarkan penangguhan norma, bukan hanya sesekali tetapi terus-menerus. Dalam dunia seperti itu, gagasan bahwa negara harus secara terbuka membenarkan tindakan kekerasan mulai terkikis. Keunggulan taktis, yang disebut sebagai "keunggulan relatif", memanfaatkan kerangka waktu yang terkompresi ini—tetapi memperoleh kemajuan dengan mengorbankannya. Di era di mana intelijen rahasia memicu reaksi yang hampir seketika, pengawasan etika pun surut. Doktrin langkah pertama di masa depan akan lebih mengutamakan kecepatan daripada hukum, dan kejutan daripada proporsi. Jika kita kehilangan perbedaan antara perdamaian dan perang, kita berisiko kehilangan prinsip bahwa kekerasan harus selalu dibenarkan—bukan diasumsikan. Jalan Kembali ke Pengendalian Diri Tanpa perbaikan arah segera, dunia menghadapi risiko norma baru: perang sebelum akal sehat, ketakutan sebelum fakta. Piagam PBB bergantung pada kepercayaan bersama bahwa kekuatan tetaplah pengecualian. Setiap serangan yang disiarkan di televisi mengikis kepercayaan itu, yang mengarah pada perlombaan senjata dan serangan refleksif. Untuk mencegah rentetan konflik yang didorong oleh rasa takut ini, beberapa langkah penting dilakukan. Harus ada verifikasi yang transparan: Klaim tentang "ancaman yang akan segera terjadi" harus dinilai oleh entitas yang tidak memihak—pemantau IAEA, komisi penyelidikan independen—bukan dikubur dalam berkas rahasia. Diplomasi harus diutamakan: Pembicaraan, jalur belakang, sabotase, sanksi—semua harus dibuktikan habis sebelum serangan. Bukan sebagai pilihan, bukan secara retroaktif. Harus ada penilaian publik terhadap risiko sipil: Pakar lingkungan dan kesehatan harus mempertimbangkannya sebelum perencana militer menarik pelatuk. Media, akademisi, dan publik harus bersikeras bahwa ambang batas ini dipenuhi—dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Perang preemptif, dalam kasus yang jarang terjadi, dapat dibenarkan secara moral—misalnya, rudal yang disiapkan di landasan peluncuran, armada yang melintasi garis merah. Namun, standar itu memang dirancang tinggi. Serangan Israel terhadap Iran bukanlah preventif, serangan itu diluncurkan bukan untuk melawan serangan yang sedang berlangsung, tetapi untuk melawan kemungkinan yang ditakutkan. Melembagakan ketakutan itu sebagai dasar perang adalah undangan untuk konflik yang terus-menerus. Jika kita mengabaikan kehati-hatian atas nama rasa takut, kita mengabaikan batasan moral dan hukum bersama yang menyatukan umat manusia. Tradisi perang yang adil menuntut kita untuk tidak pernah memandang mereka yang mungkin menyakiti kita sebagai ancaman belaka—tetapi sebagai manusia, yang masing-masing layak untuk dipertimbangkan dengan saksama. Perang Iran-Israel lebih dari sekadar drama militer. Perang ini adalah ujian: apakah dunia masih akan mempertahankan batasan antara pembelaan diri yang dibenarkan dan agresi yang tak terkendali? Jika jawabannya tidak, maka ketakutan tidak hanya akan membunuh tentara. Ketakutan akan membunuh harapan rapuh bahwa pengendalian diri dapat membuat kita tetap hidup. [BP]](https://koransulindo.com/wp-content/uploads/2025/07/Asap-mengepul-di-Teheran-180x135.jpeg)
