Sulindomedia – Persoalan perumahan dinilai belum menjadi program prioritas pemerintah pusat maupun daerah. Demikian pula distribusi penyediaan perumahan dipandang belum pula merata.
Anggapan teraebut didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa pàda sààt ini hanya 20% rumah tangga kelas atas yang mampu membeli rumah dari pasar formal, sedangkan 40% rumah tangga kelas menengah tidak dapat membeli rumah tanpa bantuan subsidi. Sedangkan 40% rumah tangga kelas bawah sama sekali tidak memiliki daya beli rumah.
Hal ini disampaikan oleh Dr I Mahditia Paramita, MSc, pendiri dan Direktur Eksekutif Lembaga Housing Resource Center yang diinisiasi pada tahun 2006 oleh para aktivis perumahan, Pemda DIY, UN-Habitat, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Anggaran pemerintah untuk sektor perumahan relatif kecil dibanding sektor prioritas lain. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perumahan belum diprioritaskan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah,” ujarnya dalam acara “Policy Corner” yang diselenggarakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Meski kapasitas pembangunan rumah masih belum dijalankan secara maksimal, Mahtidia mengapresiasi salah satu kebijakan pemerintah dalam 2 periode terakhir, yakni penanganan pemukiman kumuh dan rumah tidak layak huni (RTLH), khususnya melalui program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) terhadap masyarakat berpenghasilan rendah.
“Program BSPS menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan dengan dioptimalkannya konsep desentralisasi di bidang perumahan. Keterlibatan Pemda serta masyarakat secara langsung dalam program ini dapat meningkatkan efektivitas dan transparansi pelaksanaan program,” jelasnya.
Pada diskusi itu Mahtidia memaparkan transformasi kebijakan perumahan di Indonesia selama 6 generasi, yaitu pada masa pengenalan, masa pengembangan, masa stabil, masa transisi, masa revisi kebijakan I, serta masa revisi kebijakan II. Dijelaskan, dirinya membuat pembagian generasi ini berdasarkan kriteria orientasi kebijakan, perubahan target kelompok, serta lingkup layanan perumahan oleh pemerintah.
Dalam masa pengenalan atau generasi pertama pada tahun 1947-1966, menurut Mahtidia, prioritas utama terletak pada perencanaan fisik sebagai respon atas kebutuhan pasca Perang Dunia II. Pada masa ini banyak dipengaruhi oleh paradigma modernisasi dan pertumbuhan perkotaan. Sementara itu, masa pengembangan pada tahun 1967-1977 diwarnai oleh krisis ekonomi yang membuat daya beli masyarakat merosot tajam. Sebàgai akibatnya kebijakan perumahan dilakukan dengan sistem sentralisasi atau top-down.
Kemudian dalam masa stabil pada tahun 1978-1997 terdapat upaya akselerasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru secara bertahap. Hal ini, kata Mahtidia, dilakukan dengan pembentukan beberapa lembaga dan peraturan perundangan yang secara khusus menangani masalah perumahan.
Menurut Mahtidia, pasca-Orde Baru mulai terdapat perubahan dalam orientasi kebijakan pemerintah. Masa transisi pada tahun 1998-2004 menjadi fase awal peralihan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi, yang dilanjutkan pada masa revisi kebijakan I di mana pemerintah kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dan 2 melakukan optimalisasi peran Pemda sebagai aktor kebijakan perumahan. Sementara itu, masa revisi kebijakan II pada tahun 2010 hingga sekarang lebih berorientasi pada sinergi dan pembangunan berkelanjutan. [YUK]