RSUP Merawat Bayi Republik Indonesia

Dr. Ir. Indra Iskandar, Sekretaris Jenderal DPR RI

Oleh: Dr. Indra Iskandar
(Sekretaris Jenderal DPR RI)

Koran Sulindo – Sekutu, pemenang Perang Dunia II, menguasai Jakarta. Ia datang untuk melucuti tentara Jepang. Tapi tak lama. Belanda yang “numpang” Sekutu — begitu tentara Inggris pergi — langsung menduduki kota itu.

Bagaimana nasib kaum republikan di Jakarta?

Tak ada pilihan bagi pejuang RI, kecuali pindah ke daerah aman. Sejak 4 Januari 1946, mereka pergi dari Jakarta. Karena Belanda mengancam akan menangkap mereka.

Kemana pergi?

Pilihannya jatuh ke Yogyakarta. Alasannya rasional: Yogya aman. Ini karena Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mendukung republik yang baru berumur 6 bulan ini.

Semua orang tahu, begitu Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, Sri Sultan langsung menyatakan Keraton Yogya berada di bawan Negara Indonesia. Luar biasa. Rakyat Yogya pun mendukung keputusan rajanya.

Meski Jakarta pernah menjadi pusat kantor VOC yang kemudian jadi pusat pemerintahan kolonial, tapi kalau tidak aman, untuk apa? Jakarta pun ditinggalkan para pemimpin pejuang RI, meski kota ini menjadi tempat pengumuman Proklamasi Kemerdekaan.

Lalu, habiskah Jakarta dalam percaturan politik kemerdekaan? No.

Jakarta masih memberikan sumbangsih besar kepada Republik Indonesia. Setidak-tidaknya, di Jakarta perwakilan kaum republikan masih bisa mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Kantor Pemerintahan Kota Praja, di Balai Agung, Selatan Gambir, Jakarta Pusat.

Baca juga: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Meski Belanda telah menguasai Jakarta sepenuhnya, sang Ibukota (sebelum pindah ke Yogya), masih relatif aman dibanding Surabaya, misalnya, yang masih babak belur usai perang November 1945.

Saat itu, ada semacam kesepakatan dari berbagai pihak untuk menjadikan Jakarta sebagai kota diplomatik.

Kesepakatan ini menjadikan Belanda harus bersikap hati-hati. Tak bisa berbuat semaunya. Karena Sekutu masih mengontrol Jakarta.

Sekutu, misalnya, meminta RI dan Belanda tidak boleh berperang di dalam kota. Perdana Menteri Sutan Sjahrir, misalnya, setelah dilantik November 1945, langsung memerintahkan agar milisi dan laskar kaum republikan keluar dari Jakarta. Hal ini dilakukan agar Jakarta bebas dari bentrok fisik. Keamanan Jakarta harus kondusif untuk melakukan langkah-langkah yang bersifat diplomatik. Bagi RI, perjuangan diplomatik sangat penting agar proklamasi kemerdekaanya mendapatkan pengakuan internasional.

Aksi pertama yang dimainkan pusat administrasi kota Jakarta di Balai Agung bersifat simbolik: mengibarkan bendera Merah Putih. Ya, mengibarkan bendera merah putih saat itu perlu keberanian karena Belanda telah menguasai Jakarta. Berikutnya, Balai Agung bersama kaum republikan yang masih menetap di Jakarta memainkan peran lain. Yaitu mengelola pemerintahan kota praja secara efektif. Untuk membuktikan kepada masyarakat Jakarta dan dunia internasional bahwa kaum republikan juga dapat mengelola pemerintahan dengan baik.

Saat itu, pemimpin tertinggi di Balai Agung adalah Soewiryo. Ia seorang nasionalis sejati, mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan penuh keberanian, langkah pertama yang dilakukannya sebagai kepala Balai Agung adalah membentuk angkatan kepolisian Indonesia.

Inggris, atas nama Sekutu, meminta Soewiryo membatalkan program ini, karena kuatir diarahkan menjadi pasukan perang. Inggris memberikan dua pilihan kepada Soewiryo: masuk penjara karena membangkang pada Sekutu atau membatalkan pembentukan kepolisian.

Tapi Soewiryo tetap ngotot, dengan alasan pemerintah kota praja tidak akan bisa menjaga keamanan dan ketertiban Jakarta tanpa kepolisian. Soewiryo menang. Sekutu menerima penjelasan itu, sehingga kepolisian Indonesia dapat dibentuk.

Meskipun secara de facto dan de jure penguasa Jakarta adalah Sekutu, Belanda masih mempunyai ruang yang sangat besar untuk bermanuver guna melemahkan kaum republikan. Belanda berupaya memutus hubungan rakyat Jakarta dengan Balai Agung.
Betul juga, Belanda berhasil mendekati rakyat Kemayoran untuk memutus hubungan administratif dengan Balai Agung.

Tapi Soewiryo tidak tinggal diam. Ia terus berhubungan dengan rakyat Kemayoran. Bukan melalui jalur politik yang dilarang oleh Sekutu, tapi melalui jalur pendidikan dan makanan.

Soewiryo menjadikan lembaga pendidikan yang ada di Jakarta sebagai sarana untuk membangun kesadaran rakyat bahwa Balai Agung adalah perwakilan Republik Indonesia di Jakarta. Perkuliahan Fakultas Kedokteran di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) — kini RS Cipto Mangunkusomo (RSCM) — dipulihkan.

Soewiryo juga membuka fakultas hukum di dalam kota untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Jakarta akan hukum dan keadilan. Terutama keadilan dalam pengertian bebas dari penjajahan.

Baca juga: Baca juga: Saatnya Kembali ke UUD 1945!

Sementara itu, dalam soal distribusi makanan, Balai Agung berhasil menjamin keamaan suplai beras, karena dibantu oleh laskar-laskar dari Karawang yang memang surplus beras. Sekutu dan Belanda sendiri kurang peduli pada persoalan beras, karena beras bukan makan pokok orang Eropa.

Soewiryo juga memberikan dukungan kepada organisasi bawah tanah dengan dana dari Balai Agung untuk menyebarkan ideologi kaum republikan. Risikonya: jika diketahui Sekutu dan Belanda, maka riwayat Balai Agung sebagai markas kaum republikan akan tamat.

Bersamaan dengan upaya memulihkan RSUP sebagai tempat perkuliahan untuk fakultas kedokteran dan kemudian fakultas hukum dalam kota, sebenarnya Soewiryo tengah melakukan kaderisasi kaum republikan.

Rumah sakit dan lembaga pendidikan, demikian Soewiryo, dalam masa perjuangan harus berperan ganda. Berfungsi sosial, sekaligus politik.

Ingat, RSCM punya sejarah politik panjang dalam pergerakan kemerdekaan RI. RSCM, dulu terkenal dengan nama STOVIA — adalah sekolah kedokteran rintisan Belanda di Jakarta. STOVIA ternyata menjadi tempat tumbuhnya kader-kader bangsa, seperti dr. Wahidin Soedirohusodo, dr. Radjiman Wedyodiningrat, Dr. Sutomo, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, drg. Moestopo, dan lain-lain.

Pada November 1946, Sekutu keluar dari Jakarta dan posisinya digantikan oleh Belanda. Soewiryo dan pejabat setingkat dari Belanda berkomitemen menjaga keamanan dan ketertiban Jakarta bersama-sama.

Bagi kaum republikan, persoalan Jakarta bukan hanya masalah keamanan saja. Tapi juga masalah ekonomi dan keuangan. Terutama berkaitan dengan bagaimana agar kegiatan di Balai Agung, lembaga pendidikan, dan RSUP dapat berjalan dengan baik.

Sejak Inggris dan Sekutu pergi, pengaruh Belanda di Jakarta semakin kuat dan secara ekonomi mampu memblokade sumber-sumber penghasilan Balai Agung. Belanda memperketat arus keluar-masuk barang dari dan keluar Jakarta.

Soewiryo “berteriak” agar pemimpin Republik Indonesia kembali berjuang bersama di Jakarta. Teriakan ini ditanggapi positif. Pada November 1946, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang kebetulan dijabat oleh Soewandi, kakak kandung Soewiryo, memindahkan kantornya ke Jakarta.

Baca juga: Politikus Balita

Berikutnya, Menteri Perekonomian A.K. Gani, juga melakukan langkah yang sama. Kantor pusatnya pindah ke Jakarta.

Selanjutnya, kaum republikan di Jakarta mendapatkan angin segar setelah Pemerintah Republik Indonesia mengedarkan uang sendiri yang dikenal dengan Oeang Republik Indonesia (ORI), 31 Oktober 1946. Nilai ORI mencapai 10 kali lipat dari Gulden Belanda, karena ORI menjadi mata uang untuk perdagangan beras dari Karawang dan Cianjur yang dikontrol oleh kaum republikan.

Sayang, kegembiraan itu hanya berlangsung satu minggu, karena Belanda melancarkan perang ekonomi, antara lain dengan memblokade arus barang dari Jawa dan perdagangan besar dari Karawang. Akibatnya nilai ORI merosot tajam.

Menteri Ekonomi A.K. Gani dan Soewiryo mencoba melawan kemerosotan ORI dengan berbagai cara. Antara lain, melalui monopoli pembelian pemerintah melalui Kantor Pembelian Pemerintah, Januari 1947. Namun upaya itu tidak berhasil.

Tahun 1947 merupakan tahun yang sangat sulit bagi Balai Agung. Sejak Juli 1947, gaji pejabat dan karyawan Balai Agung tidak dapat dibayar, karena Balai Agung tidak punya uang. Akibatnya, banyak pegawai yang harus menjual perabot rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai gantinya, Balai Agung memobilisasi berbagai kekuatan dengan menggalakkan kegiatan sosial untuk pegawai Balai Agung, minimal mereka dapat makan dan mendapatkan pengobatan jika sakit.

Di tengah-tengah kesulitan itu, pada November 1947, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, tergerak membantu Balai Agung.

Sri Sultan melalui Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta memberikan bantuan uang senilai 300 ribu Gulden. Meskipun bantuan ini relatif sedikit dibandingkan dengan kebutuhan, namun uang itu membuat Kota Praja Jakarta dapat bernafas sejenak. Selanjutnya, kaum republikan di Jakarta terus berjuang memelihara Republik Indonesia yang masih bayi tersebut. Ini terlihat dari masih terus berkibarnya bendera merah putih di Balai Agung. Belanda tidak berani menurunkannya.

Baca juga: Sang Garuda Pancasila

Kesulitan Balai Agung bertambah ketika Belanda melancarkan aksi militer. Pada 20 Juli 1947, P.J. Koets sebagai utusan Van Mook datang ke Jalan Pengangsaan Timur, tempat elit republikan biasa berkumpul. Di tempat itu, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sutan Sjahrir pernah tinggal di situ sesaat setelah menjadi Perdana Menteri.

Saat Koets datang, di tempat itu hanya ada A.K. Gani, Menteri Perekonomian Kabinet Sjahrir. Kepada Gani, Koets mengatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada Perjanjian Linggarjati, sehingga Belanda mempunyai kebebasan bertindak.

Tak lama setelah Koets pergi, Westerling, tentara Belanda yang kejam, datang dan menangkap Gani. Pada waktu yang bersamaan, Balai Agung dikepung dan diambilalih Belanda. Soewiryo dan pejabat penting di Balai Agung semuanya ditangkap.

Pejabat Republik Indonesia yang ada di Jakarta juga ditangkap, karena tidak mau kooperatif dengan Belanda. Menjelang tengah malam, Gubernur Jenderal Van Mook sudah berkoar-koar kepada pers bahwa Jakarta sudah berada di tangan Belanda sepenuhnya.

Simbol Republik Indonesia di Jakarta, pikir Van Mook, saat itu sudah tidak ada lagi. Ternyata pikiran Van Mook salah, karena simbol Republik Indonesia di Jakarta masih ada. Yaitu di RSUP.

Di rumah sakit inilah bayi Republik Indonesia dirawat. Kaum republikan menjadikan RSUP sebagai markas perjuangan, menggantikan peran Balai Agung.

Kepada setiap pasien atau keluarganya yang datang, karyawan RSUP mengatakan bahwa bayi Republik Indonesia masih ada dan masih dalam perawatan.

Mengetahui posisi kaum republikan di RSUP, Van Mook mencoba merebutnya. Dalam waktu singkat, RSUP jatuh ke tangan Belanda. Tapi karyawan RSUP menyatakan mogok kerja jika RSUP diambilalih Belanda.

Karena Belanda tidak mempunyai staf yang cukup untuk menggantikan karyawan RSUP serta mengingat pentingnya rumah sakit itu untuk memberikan pelayanan kesehatan agar rakyat Jakarta tidak semakin membenci Belanda, Van Mook akhirnya menyerah. Membiarkan RSUP tetap dikelola kaum republikan.

Berkat strategi jitu dari kaum republikan, terutama Soewiryo, bayi Republik Indonesia tetap hidup dan tumbuh di Jakarta. Di tengah kekalahan secara militer dan diplomatik, kaum republikan yang tersisa di Jakarta, masih mempunyai ruang untuk berjuang mempertahankan Republik Indonesia.

Di mana? Jawabnya: RSUP (kini RSCM). Ya, RSUP telah berhasil merawat bayi Republik Indonesia, sehingga tumbuh kembang menjadi besar seperti sekarang. Merdeka! [GAB]