Candi Prambanan dibangun oleh makhluk halus yang dipanggil Bandung Bondowoso. (Ilustrasi: fuppay)

Untuk mewujudkan syarat kedua, sang pangeran bersemedi dan dengan kesaktiannya ia memanggil makhluk halus, jin, setan, dan dedemit dari dalam bumi. Dengan bantuan para makhluk halus yang memiliki kekuatan magis ini, sang pangeran dengan cepat berhasil menyelesaikan 999 buah candi pada malam itu.

Ketika Roro Jonggrang mendengar kabar bahwa seribu candi sudah hampir rampung, sang putri berusaha menggagalkan tugas Bondowoso. Ia membangunkan dayang-dayang istana dan perempuan-perempuan desa untuk mulai menumbuk padi. Ia juga memerintahkan agar mereka juga membakar gundukan jerami di sisi timur kerajaan.

Mengira bahwa pagi akan tiba karena melihat cahaya di timur yang menyerupai sinar mentari, mendengar ayam berkokok dan para perempuan menumbuk padi, para makhluk halus lari ketakutan dan bersembunyi masuk kembali ke dalam bumi. Akibatnya, hanya 999 candi yang berhasil dibangun pada malam itu dan secara otomotis Bandung Bondowoso telah gagal memenuhi syarat yang diajukan Roro Jonggrang.

Namun, ketika mengetahui bahwa semua itu adalah hasil kecurangan dan tipu muslihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso amat murka dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi batu. Maka sang putri pun berubah menjadi arca terindah untuk menggenapi candi yang terakhir.

Menurut legenda rakyat ini, situs Ratu Boko di dekat Prambanan adalah istana Prabu Boko, sedangkan 999 candi yang tidak rampung kini dikenal sebagai Candi Sewu, dan arca Durga di ruang utara candi utama Prambanan adalah perwujudan sang putri yang dikutuk menjadi batu dan tetap dikenang sebagai Loro Jonggrang yang berarti “gadis yang ramping”

***

Legenda ini adalah dongeng atau cerita rakyat yang menjelaskan asal muasal dari situs-situs bersejarah di Jawa yaitu Keraton Ratu Boko, Candi Sewu, dan Arca Durga di ruang utara candi utama Prambanan. Meskipun candi-candi ini berasal dari abad ke-9, akan tetapi diduga dongeng ini disusun pada zaman setelahnya yaitu zaman Kesultanan Mataram.

Tafsiran lainnya menyebutkan bahwa legenda ini mungkin merupakan ingatan kolektif samar-samar masyarakat setempat mengenai peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di kawasan ini. Yaitu peristiwa perebutan kekuasaan antara wangsa Sailendra (penganut Budha) dan wangsa Sanjaya (penganut Hindu) untuk menentukan penguasa di Jawa Tengah. Prabu Boko mungkin dimaksudkan sebagai Raja Samaratungga, Rakai Pikatan sebagai Bandung Bondowoso, dan Pramodhawardhani, putri Samaratungga sekaligus istri Rakai Pikatan, sebagai Roro Jonggrang. [Ahmad Gabriel]

Baca juga