Ilustrasi/flickr

DIREKTORAT BEA CUKAI Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan cukai hasil tembakau atau rokok, sepanjang 2022 mencapai 218,62 triliun rupiah. Angka ini terus naik sejak tahun 2019 yang tercatat sebanyak 164,87 triliun rupiah, di tahun 2020 sebesar 170, 24 triliun dan 2021 mencapai 188,81 triliun.

Jika membahas mengenai rokok di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari jenis rokok yang menjadi ciri khas Indonesia yaitu rokok kretek

.Rokok kretek terdiri dari tembakau dan cengkih lalu dipadukan dengan saus sebagai tambahan untuk perasa. Asal usul nama “Kretek” konon berasal dari suara rokok ketika dihisap. Rokok jenis ini sudah diproduksi sejak abad ke 19. 

Ada dua jenis yaitu rokok kretek yaitu non-filter dan dengan filter. Kretek yang non-filter masih terbagi dari yang tingwe (kependekan dari bahasa Jawa, ngelinting déwé yang berarti melinting sendiri, untuk diartikan sebagai lintingan tangan) tanpa saus tambahan, cerutu, klobot dan lintingan mesin dengan tambahan saus cengkih. Sedangkan kretek dengan filter berisi semacam gabus yang berfungsi menyaring nikotin dari pembakaran tembakau dan cengkih.

Melongok Sejarah Rokok 

Jika menyebut rokok maka pasti terkait dengan tembakau sebagai bahan utamanya. 

Kehadiran tembakau pertama kali di Indonesia adalah pada abad ke-17 atau sekitar tahun 1600-an. Saat itu, para pedagang Portugis yang datang ke Pulau Jawa membawa serta tanaman tembakau untuk ditanam di tanah Jawa

Ratusan tahun setelahnya, Pemerintahan Kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Cornelis de Houtman membangun perkebunan tembakau di Banten. Kemudian, Deli Maatschappij yang menjadi sentra tembakau di Deli, Sumatera Utara didirikan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda pada 1800-an.

Setelah itu, budaya menanam tembakau mulai berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejalan dengan hal tersebut, tembakau juga banyak dibudidayakan sebagai tanaman ekspor lewat program tanam paksa yang diberlakukan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda.

Dalam catatan Thomas Stamford Raffles, disebutkan bahwa pada sekitar 1600, rokok telah menjadi kebutuhan hidup kaum pribumi Indonesia, khususnya Jawa. Meskipun tembakau bukan tanaman asli di Jawa. 

Naskah Jawa, Babad Ing Sangkala (1601-1602), menyuratkan bahwa tembakau telah masuk ke Pulau Jawa bersama wafatnya Panembahan Senapati, pendiri Dinasti Mataram. “Kala seda Panembahan syargi ing Kajenar pan manunggal warsa purwa sata, sawoyose milaning wong ngudud” . Waktu Panembahan wafat di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya dengan mulai munculnya tembakau, setelah itu mulailah orang merokok.

Berbeda dengan era 1600-an, pada sekarang ini rokok berkembang dari kebutuhan lokal menjadi sebuah industri yang mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Cukai rokok adalah salah satu penyumbang terbesar keuangan negara. Juga turut menggerakan roda ekonomi. Karena menyediakan lapangan pekerjaan di bidang produksi hingga pemasaran serta menghidupi petani tembakau. 

Kisah Rokok Yang Berbunyi “Keretek”

Pada abad ke-19, produk bernama kretek pun ditemukan dengan menggabungkan tembakau dan cengkeh sebagai bahan rokok jenis baru. Hal itu yang mengawali munculnya kretek dan bertahan terus sampai sekarang.

Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Sebenarnya memang tidak jelas asal usul akurat tentang rokok kretek ini. Menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada sekitar akhir abad ke-19. 

Konon awalnya, Djamari yang asli Kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkih. Setelah itu, sakitnya pun reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkih dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.

Pada saat itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari pun berinisiatif melakukan modifikasi dengan mencampur cengkih. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, ia merasa sakitnya hilang. Djamari kemudian menyebarluaskan penemuan ini kepada kerabatnya. Berita baik pun menyebar dengan cepat. Lalu diikuti dengan banyak permintaan “rokok obat” ini pada Djamari. Lantaran ketika dihisap, cengkih yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek”, maka rokok temuan Djamari ini pun diberi nama dengan “rokok kretek”. 

Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu masih terus disukai banyak perokok di Indonesia. [S21]