Koran Sulindo – Mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane di PT Pelindo II resmi ditahan.

Penyidik KPK telah memanggil RJ Lino sebagai tersangka kasus tersebut. KPK sebelumnya telah menetapkan dan mengumumkan RJ Lino sebagai tersangka pada Desember 2015.

“Untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan tersangka selama 20 hari terhitung sejak 26 Maret 2021 sampai dengan 13 April 2021 di Rumah Tahanan Negara Klas I Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi,” ucap Wakil Ketua Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3).

Sebagai pemenuhan protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19 di lingkungan Rutan KPK akan dilakukan isolasi mandiri terhadap RJ Lino selama 14 hari di Rutan Cabang KPK pada Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK di Kavling C1.

Selama proses penyidikan, kata Alex telah dikumpulkan berbagai alat bukti di antaranya keterangan 74 saksi dan penyitaan barang bukti dokumen yang terkait dengan kasus tersebut.

Adapun tersangka RJ Lino disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Adapun peran RJ Lino dalam kasus ini, kata Alex, pada tahun 2009, PT Pelindo II melelang pengadaan tiga unit QCC dengan spesifikasi single lift untuk cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak yang dinyatakan gagal sehingga dilakukan penunjukan langsung kepada PT Barata Indonesia.

Namun, penunjukan langsung tersebut juga batal karena tidak adanya kesepakatan harga dan spesifikasi barang tetap mengacu kepada standar Eropa.

“18 Januari 2010, RJL selaku Direktur Utama PT Pelindo II diduga melalui disposisi surat memerintahkan FY (Ferialdy Noerlan) Direktur Operasi dan Teknik melakukan pemilihan langsung dengan mengundang tiga perusahaan, yaitu ZPMC (Shanghai Zhenhua Heavy Industries Co. Ltd) dari China, Wuxi, HDHM (HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd) dari China, dan Doosan dari Korea Selatan,” ujar Alex.

Pada Februari 2010, lanjut Alex, RJ Lino diduga kembali memerintahkan untuk dilakukan perubahan Surat Keputusan Direksi PT Pelindo II tentang Ketentuan Pokok dan Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan PT Pelindo II dengan mencabut ketentuan penggunaan komponen barang/jasa produksi dalam negeri.

“Perubahan dimaksudkan agar bisa mengundang langsung ke pabrikan di luar negeri. Adapun Surat Keputusan Direksi PT Pelindo II tersebut menggunakan tanggal mundur (back date) sehingga HDHM dinyatakan sebagai pemenang pekerjaan,” ungkap Alex.

Alex menjelaskan penunjukan langsung HDHM diduga dilakukan oleh RJ Lino dengan menuliskan disposisi “Go For Twinlift” pada kajian yang disusun oleh Direktur Operasi dan Teknik.

Padahal pelaporan hasil klarifikasi dan negosiasi dengan HDHM ditemukan bahwa produk HDHM dan produk ZPMC tidak lulus evaluasi teknis karena barangnya merupakan standar China dan belum pernah melakukan ekspor QCC ke luar China.

“Maret 2010, RJL diduga memerintahkan Direktur Operasi dan Teknik melakukan evaluasi teknis atas QCC Twin Lift HDHM dan memberi disposisi kepada Saptono R Irianto (Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha) juga untuk melakukan kajian operasional dengan kesimpulan ‘QCC Twin Lift’ tidak ideal untuk Pelabuhan Palembang dan Pelabuhan Pontianak,” tutur Alex. [Wis]