Pramuka satu-satunya organisasi pendidikan nonformal untuk kaum muda yang punya sejarah panjang, yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan berdirinya Republik Indonesia. Pramuka bukan saja mengajarkan pendidikan kepanduan seperti yang dipelopori Lord Baden Powell, tapi juga menanamkan identitas keIndonesiaan.
Sejak awal berdirinya, kepanduan di Indonesia tidak bisa lepas dari gerakan nasionalisme. Sayangnya, buku sejarah nasional Indonesia bisa seakan abai atas gerakan kepanduan ini. Perjuangan mempersatukan sejumlah organisasi kepanduan sebetulnya sebangun dengan mempersatukan organisasi pergerakan.
Berbagai sumber tentang gerakan kepanduan di Indonesia umumnya blog-blog di jagat Internet yang ditulis oleh aktivis dan mantan aktivis Pramuka. Juga dari situs kepramukaan.
Organisasi kepanduan yang pertama berdiri di Hindia Belanda merupakan cabang dari Nedelands Padvinders Orgnisatie (NPO), yang didirikan oleh P.J. Smith dan Mayor De Janger di Batavia Centrum (Jakarta) pada tahun 1912. Cabang NPO ini organisasi eksklusif. Untuk kalangan bumiputra, yang bisa masuk hanya remaja dari keluarga golongan tertentu. Pada waktu itu, istilahnya pun belum “kepanduan”, tetapi padvinder (‘pencari jejak’).
Pada 4 September 1914, karena pecahnya Perang Dunia I, hubungan Hindia Belanda dengan Kerajaan Belanda terputus. NPO Hindia Belanda pun berdiri sendiri, yang berganti nama dengan Nederlands Indische Padvinders Vereeniging (NIPV).
Gerakan kepanduan memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh pergerakan untuk membentuk organisasinya sendiri. Awalnya Mangkunegara VII dari Surakarta yang memelopori pembentukan Jaavanse Padvinders Organisatie (JPO). Kemudian, pendiri Muhammadyah, K.H. Achmad Dahlan, mendirikan Padvinders Muhammadyah di Yogyakarta. Pada tahun 1920, Padvinders Muhammadyah diubah namanya menjadi Hizbul Wathon.
Budi Oetomo menyusul mendeklarasikan berdirinya Nationale Padvinderij’ pada tahun 1921, yang dipimpin Daslam Adi Warsito. Hampir bersamaan, Jong Java cabang Mataram-Yogyakarta mendirikan pasukan pandvinder juga dengan nama Jong Java Padvinderij (JJP). Yang menarik, bendera pasukan dan hasdoek (kacu) JJP adalah merah-putih. JJP cabang Mataram ini menularkan semangat pada cabang JJP lainnya pada Kongres V Jong Java di Solo tahun 1922.
Pada awal 1923, Jong Java cabang Bandung membentuk suatu panitia untuk mendirikan organisasi kepanduan. Namun. di antara panitia ada yang berkeinginan bergabung dengan National Padvinderij, sementara sebagian lagi ingin mempersatukan seluruh organisasi padvinderij kebangsaan dan meminta pengakuan dari World Organisation of Scout Movement di Kanada.
Akhirnya, JJP pusat di Batavia mendukung pembentukan organisasi padvinder baru untuk mempersatukan seluruh organisasi padvinderij . Hasilnya: Nationale Padvinders Organisatie (NPO), dengan Safioedin Soerjodipoetro sebagai pemimpin awalnya. Belakanga, karena Safioedin pindah tugas ke Jember, Jawa Timur, pucuk kepemimpinan NPO diserahkan kepada Ir. Soekarno.
Sejak pertengahan 1920-an, organisasi kepanduan lainnya bermunculnya. Umumnya berafilisasi dengan organisasi pergerakan, seperti Jong islamiten Bond mendirikan National Islamietishe Padvinderij (NATIPIJ), Kepanduan Al Irsyad, ada juga Sarekat Islam Afdeeling Pandu (SIAP). Jumlahnya puluhan organiasi kepanduan.
Gerakan kepanduan terus membesar hingga NIPV melarang organisasi kepanduan Indonesia, terutama yang dicurigai mendukung pergerakan, menggunakan kata padvinders. Atas usul Haji Agus Salim, istilah “pandu” pertama kali diperkenalkan.
Salah satu upaya mempersatukan organisasi pandu terwujud pada 23 Mei 1928, dengan terbentuknya Persaudaraan Antara Pandu Indonesia (PAPI), yang anggotanya adalah INPO, SIAP, NATIPIJ, dan PPS. Sayangnya, federasi ini tidak bertahan lama, karena niatnya fusi.
Pada 13 September 1930 berdiri Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang merupakan fusi dari beberapa organisasi kepanduan. Kelompok ini tidak berafilisasi ke organisasi politik dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. KBI punya sayap kepanduan putri yang dipimpin oleh Soehariah Soetarman, dibantu oleh Soeratmi Saleh serta Prabandari.
Riet Boenakin dalam kesaksiannya yang tertuang dalam buku Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi, Jilid III, yang diterbitkan Sinar Harapan (1983), menceritakan bagaimana kegiatan bagian putri masa itu. Penuturannya membuktikan, organisasi kepanduan bukan hanya melakukan kegiatan di luar ruang, seperti berkemah, tetapi juga melakukan kegiatan kemasyarakatan, mengabdi kepada masyarakat.
Pada usia 14 tahun, aku sudah menjadi Pandu Putri dari KBI. Pada latihan rutin terasa sekali diarahkan menuju kebaikan budi dan rasa kebangsaan. Dengan jadi pandu, aku harus berbuat baik terjadap siapa pun. Salah satu usaha pada waktu itu ikut memberantas buta huruf orang dewasa disebut KOD (Kursus Orang Dewasa). Kepada mereka, di samping memelekkan huruf, mereka juga diberikan pelajaran keterampilan jahit-menjahit, merenda, membordir. Pada waktu itu diberikan juga pelajaran Bahasa Inggris.
PADA MASA penjajahan Jepang, organisasi kepanduan dilarang mengadakan aktivitas. Pada waktu itu, pihak Jepang tidak menginginkan adanya perkumpulan yang tidak mendukung kepentingan militer. Baru pada September 1945, beberapa tokoh dari gerakan kepanduan Indonesia memutuskan untuk melakukan pertemuan di Yogyakarta.
Hasil pertemuan itu: berdirinya Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia (KPPI). Hasil kerja panitia ini: kongres yang berlangsung pada 27 hingga 29 Desember 1946 di Surakarta. Kongres ini membentuk Pandu Rakyat Indonesia. Namun, pada waktu itu, perjuangan bersenjata untuk merebut kemerdekaan adalah pengabdian utama pandu Indonesia.Mencari Identitas Kepanduan
PADA 20-22 Januari 1950, Pandu Rakyat Indonesia menggelar kongres kedua di Yogyakarta. Hasil kongres ini: memberikan kesempatan kepada golongan khusus untuk menghidupkan kembali bekas organisasi kepanduannya. Disusul dengan Keputusan Menteri PP dan K Nomor 2234/Kab Tertanggal 6 September 1950, Pandu Rakyat Indonesia bukan lagi satu-satunya organisasi kepanduan di Indonesia.
Efeknya: hingga 1950-an, jumlah organisasi kepanduan di Indonesia lebih dari 100. Identitas keindonesiaannya kembali mundur. Bahkan, perayaan kepanduan tahunan juga mengacu pada kelahiran Baden Powel.
Misalnya apa yang dilakukan sejumlah anak dan remaja di Bandung, yang memperingati hari kelahiran “Bapak Kepanduan”. Pikiran Rakjat edisi 23 Februari 1951 menuliskan, segenap pandu di Kota Bandung, yaitu Pandu Rakjat, Pandu Kesatuan, serta Pandu Katholik dan Tionghoa, berkumpul pagi hari pada Kamis 22 Februari 1951 di halaman Kotapraja Bandung, mengadakan upacara penaikan bendera berkenaan dengan Hari Bapak Pandu Sedunia Baden Powell. “Sorenja di halaman tersebut para pandu berkumpul lagi mengadakan upacara penurunan bendera,” demikian ditulis koran tersebut.
Malam harinya para pandu berkumpul di Gedung Condordia. Setelah upacara dibuka para pandu puteri membuat lingkaran dengan lilin. R. Ukon dari Pandu Rakjat menjelaskan arti hari itu. Tidak hanja di Bandung tetapi di tempat lain pandu berkumpul. Setelah itu dinyanyikan lagu pandu Hort zegt ons hoort. Pertunjukan hiburan para pandu memperagakan keterampilan meloncat-loncat ke dalam lingkaran api di tengah ruangan Concordia dengan penuh keberanian.
Sebagian dari ratusan organisasi kepanduan terhimpun dalam tiga federasi, yaitu Ipindo (Ikatan Pandu Indonesia, berdiri tanggal 13 September 1951); Poppindo (Persatuan Organisasi Pandu Putri Indonesia, berdiri tahun 1954), dan; PKPI (Persatuan Kepanduan Putri Indonesia). Pada 1953, Ipindo berhasil menjadi anggota kepramukaan sedunia. Ipindo berhasil mengelar Jambore Nasional I pada 10-20 Agustus 1955 di Pasar Minggu, Jakarta. Sementara itu, Poppindo dan PKPI pernah bersama-sama menyambut singgahnya Lady Baden Powell (istri Baden Powell) ke Indonesia, dalam perjalanan ke Australia.Inisiatif Bung Karno
BARU pada awal 1960-an muncul kesadaran bahwa sudah selayaknya puluhan organisasi pandu dilebur menjadi satu. Dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tertanggal 3 Desember 1960 tentang Rencana Pembangunan Semesta Berencana antara lain disebutkan, dasar pendidikan kepanduan adalah Pancasila, organisasi kepanduan supaya dibebaskan dari sisa-sisa Lord Baden Powell, serta menyetujui rencana pemerintah untuk mendirikan Pramuka.
Atas dasar itu, pada Maret 1961, Presiden Soekarno memerintahkan kepada seluruh organisasi kepanduan untuk melebur diri dalam organisasi kepanduan yang dinamakan Pramuka atau Praja Muda Karana. Bung Karno sendiri memperkenalkan nama Pramuka, yang artinya ‘rakyat muda yang senang bekerja’.
Dalam pidatonya di depan sekitar 150 wakil organisasi kepanduan yang dipimpin Sri Sultan Hamangku Buwono IX , Bung Karno mengatakan, selama 15 tahun Indonesia merdeka, mereka yang berminat menjadi pandu dari seluruh organisasi kepanduan waktu itu hanya sekitar 500 ribu orang. “Padahal harusnya jumlah anggota pandu bisa mencapai 20 juta orang. Pramuka nantinya disiapkan untuk perjuangan pembangunan,” tutur Soekarno berapi-api, seperti ditulis Suluh Indonesia edisi 16 Maret 1961.
Keinginan Soekarno akan pentingnya suatu wadah kepanduan tampaknya mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Pada akhir Mei 1961, Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie mengeluarkan pernyataan soal kepanduan.
Adjie mengatakan, Lord Badan Powell bukan Bapak Kepanduan Indonesia. Powell adalah Bapak Boy Scouts Bangsa Inggris. Tujuan Powell mendirikan kepanduan untuk kepentingan negaranya yang baru menghadapi pemberontakan Boer di Afrika Selatan, serta ketegangan menghadapi Perang Dunia I. Powell mengajak pemuda Inggris untuk terlibat “menyelamatkan” negaranya.
“Powell bukan penyelamat dunia dari kehancuran, seperti yang dilakukan Henry Dunant membentuk Palang Merah benar-benar untuk kemanusiaan. Dunant benar-benar Bapak Pelang Merah dunia,” ujar Adjie dikutip Pikiran Rakjat, 1 Juni 1961. Ia menginginkan kepanduan Indonesia berkiblat kepada tokoh Indonesia sendiri, serta punya nasionalisme.
Pada Juni 1961 dibentuk Panitya Pembentukan Gerakan Pramuka, yang dipimpin Brigjen Aziz Saleh.Panitia ini melaksanakan Ketentuan Presiden Nomor 238/1961 yang mulai berlaku pada 20 Mei 1961. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka sudah ada, antara lain pada Pasal 1 Bab I, yang menyebutkan perkumpulan ini dinamakan Gerakan Pendidikan Kepanduan Praja Muda Karana.
Gerakan Pramuka adalah perkumpulan gerakan pendidikan kepanduan kebangsaan Indonesia untuk anak-anak dan pemuda WNI. Demikian diberitakan (Antara pada 2 Juni 1961.
Keputusan ini didukung berbagai organisasi kepanduan, seperti Pandu Rakjat Indonesia, Hizbul Wathon, Kepanduan Bangsa Indonesia, Kepanduan Nasional Aisyah, Kepanduan Al Irsyad, Pandu Islam Indonesia, dan Pandu Katolik. Pramuka diharapkan berdiri sebelum 17 Agustus 1961, seperti diberitakan Suluh Indonesia edisi 7 Juni 1961.
Akhirnya, pada 30 Juli 1961, para wakil organisasi kepanduan di Indonesia menyatakan dengan ikhlas meleburkan diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka di Istana Olahraga Senayan .Peristiwa ini kemudian disebut sebagai Hari Ikrar Gerakan Pramuka.
Menjelang pelantikan anggota Pramuka se-Indonesia, sejumlah kwartir daerah (kwarda) mengirimkan delegasinya ke Jakarta. Kwarda yang terbesar ialah Kwarda Jawa Barat. Pikiran Rakjat edisi 14 Agustus 1961 melaporkan, pada Minggu pagi tanggal 13 Agustus 1961, sekitar 1000 anggota Pramuka berbaris di Lapangan Jalan Diponegoro, Bandung (Gedung Sate). Mereka berparade di depan para pembesar Jawa Barat sebelum berangkat ke Jakarta.
Pada Senin sore, 14 Agustus 1961, Presiden Soekarno berpidato di hadapan sekitar 10 ribu anggota Pramuka di Istana Negara, Jakarta. “Kami semua bukan lagi pandu biasa, tetapi Pramuka. Jika dulu hanya bisa sekadar berbaris, bikin tali-temali, atau api unggun, sekarang sebagai Pramuka disiapkan untuk perjuangan pembangunan,” kata Bung Karno.
Dalam kesempatan itu, Panji Kehormatan Pramuka diserahkan Presiden Soekarno kepada Wakil Ketua I Gerakan Pramuka Sultan Hamangkubuwono IX, sebagai tanda diresmikannya Gerakan Pramuka di seluruh Indonesia. Upacara dilakukan selama satu setengah jam.
Majelis Pimpinan Nasional Pramuka saat itu dipimpin oleh Bung Karno, dengan Wakil Ketua I Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Ketua II Brigjen TNI Dr. A Aziz Saleh. Kwartis nasional diketuai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Brigjen TNI Dr. A. Aziz Saleh sebagai wakil ketua merangkap Ketua Kwarnari.
Pendirian Gerakan Pramuka merupakan sebuah megaproyek dari Bung Karno dalam pembangunan karakter bangsa atau proyek cinta Tanah Air agar para pemuda-pemudi Indonesia mencintai negerinya.
* Artikel ini pertama dimuat pada 26 Juni 2018
[Irvan Sjafari, Sejarawan]