Koran Sulindo – Ketika sedang membaca bab demi bab tulisan De Graaf tentang Perang Jawa, pandangan Peter Carey tertumbuk sebuah gambar: Pangeran Diponegoro berkuda di antara para pendukungnya yang bersimpuh. Sketsa Mayor F.V.H.A Ridder de Stuers itu menggambarkan Diponegoro memasuki perkemahan di Metesih, permukiman kecil di kawasan tanjung di tengah Kali Progo, Magelang. Sejak itu sosok pangeran dari Jawa yang misterius itu memikat sejarawan yang saat itu mayoritas hidupnya dihabiskan di Universitas Oxford, Inggris itu.
Merasa pengetahuannya tentang negeri di ujung Asia itu sedikit sekali, Peter nekat naik kapal uap ke Tanjung Betung, Lampung, Pengalaman yang disebutnya ajaib karena ia hampir kehilangan nyawa.
Sejak itu hingga 40 tahun kemudian, dan terus berjalan, Peter menghabiskan hampir seluruh waktunya meneliti kakak kandung Sultan Hamengku Buwono IV itu.
Meneliti Indonesia sejak 1970, membuat Peter tahu luar dalam sejarah negeri di katulistiwa ini, terutama Jawa. Ia menyesali tak banyak karya sejarawan lokal tentang Diponegoro atau tokoh lain. “Ingat kata-kata Bung Karno, Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kalau kita tidak tahu sejarah, kita tidak punya pegangan atau kiblat ke masa depan,” kata Carey suatu ketika.
Pada 1971-1973 Carey menggarap tesis Diponegoro. Sekembalinya ke Inggris ia menerjemahkan “Babad Diponegoro” (1981); dan menulis “Diponegoro, Kuasa Ramalan” (2007).
Pada 2008, Carey kembali ke Indonesia untuk menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pada 2014 ia menerbitkan “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro ” (2014) bersama salah seorang keturunan Diponegoro.
Diponegoro disebutnya tokoh menarik yang hidup di empat dunia: keraton, desa, pesantren, dan kancah perang. Tiga kali mengalami tsunami dalam hidupnya: saat diadopsi, rumahnya dibumihanguskan oleh Belanda, dan diasingkan dari keluarganya. Dalam sebuah tulisan, ia menulis ada banyak aspek mengenai sang pangeran yang lebih fiksi dari sekadar fiksi: Diponegoro ternyata penggemar anggur berkualitas baik, chardonnay. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian sejarawan Belanda, di tempat meditasinya di Selarejo, di luar Tegalrejo, banyak ditemukan arca-arca Hindu. Jadi sebenarnya Diponegoro tidaklah murni reformis Islam, tetapi ia juga memberi tempat bagi kepercayaan Jawanya.
Dalam buku terakhir disebut tadi ia mengatakan salah satu pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) adalah isu korupsi. Ia menuliskan luapan kemarahan Pangeran Diponegoro yang menampar muka Patih Yogyakarta Danurejo IV (yang menjabat 1813-1847) dengan selop, karena bertengkar tentang penyewaan tanah kerajaan kepada orang Eropa sebelum Perang Jawa.
Arus uang yang melimpah-limpah dengan datangnya penyewa tanah dari Eropa pasca-Agustus 1816 (koloni Hindia Timur dikembalikan kepada Belanda oleh Inggris) itu membuka jalan bagi pejabat melakukan korupsi. Raden adipati Joyodiningrat (Bupati Karanganyar 1832-1864), pendukung Pangeran Diponegoro menulis naskah pertama tentang isu korupsi di Jawa. “Agar perkara selesai, segalanya tergantung kehendak Raden Adipati Danurejo IV: barang siapa yang menyerahkan sogok dan upeti paling banyak berupa uang atau barang atau khususnya perempuan cantik, dialah yang akan dibuat menang.”
Menurut Peter, Danurejo IV bisa melakukan korupsi karena posisi HB IV yang tidak kuat. Saat itu sang sultan masih 10 tahun, pemerintahannya diwalikan Sri Paduka Paku Alam I dan Danureja IV sebagai patihnya. Kelak Paku Alam disingkirkan Danureja. Danureja juga sangat dekat dengan pemerintah Hindia Belanda dan pengusaha asing. Kedekatan itu dimanfaatkannya untuk memberikan izin penggunaan tanah, tentu saja dengan mengambil keuntungan pribadi dari izin-izin yang diberikan. Ia meminta sejumlah uang. Sogokan.
Korupsi makin membelit dengan penetapan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yang mengesahkan komisi untuk penguasa, di luar upeti.
Tuan Besar Guntur
Sebelum menemukan Diponegoro, Peter sebenarnya lebih dulu tertarik pada Herman Willem Daendels, sosok gubernur Jenderal Hindia Belanda ketika dijajah Perancis, yang disebutnya mengubah wajah Hindia Belanda. Dalam buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia; Dari Daendels sampai Era Reformasi (2016), Carey menelusuri sejarah korupsi dan upaya pemberantasannya hingga ke masa Daendels pada awal abad ke-19.
Buku ini sebenarnya dikumpulkan dari beberapa tulisan Peter di tempat lain, ditambah bantuan studi kasus. Soal Daendels misalnya, pernah dicetak tersendiri dalam buku tipis Daendels dan Ruang Suci Jawa, 1808-1811Hubungan Politik, Seragam dan Postweg (2013).
Masa pemerintahan Marsekal Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal di Jawa (1808–1811) adalah titik balik dalam sejarah Indonesia modern. Menurut Peter, ia bukan hanya meletakkan dasar bagi pemerintahan Hindia Belanda dan Indonesia pasca-1945 yang tersentralisasi, namun juga mengubah hubungan antara pemerintah kolonial di Batavia dengan para pangeran Jawa independen untuk selamanya.
Selain itu ia juga memperkenalkan gaya busana dan etiket sosial baru, serta mengintegrasikan Pulau Jawa sebagai kesatuan pemerintahan dan infrastruktur baru. Baik jalan raya pos (postweg) yang dibangun atas perintahnya maupun reformasi administratifnya yang radikal, menyatukan pulau Jawa sebagai entitas koheren yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Daendels diberi tugas dengan kekuasaan yang besar untuk mereformasi pemerintahan bekas Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) yang korup (9 Februari 1807).
Ia diangkat dan menduduki pangkat militer tertinggi sebagai satu-satunya marsekal dalam tentara Napoleon yang bukan orang Prancis untuk memastikan otoritas penuhnya dalam mereorganisasi pertahanan Jawa melawan Inggris. Masa jabatan Daendels selama 41 bulan sebagai penguasa kolonial tertinggi meninggalkan warisan politik yang bertahan lama di Indonesia. Kelak ia sering diberi nama Tuan Besar Guntur.
VOC yang bertugas sebagai wakil Belanda di Jawa sudah hampir bangkrut. Hal itu menyebabkan pemerintah Belanda melakukan serangkaian penyelidikan terhadap VOC. Pada 1 Januari 1800 VOC secara resmi dibubarkan setelah pemerintah Belanda berhasil mengungkap kebangkrutan, korupsi, dan skandal yang dilakukan oleh VOC. Wilayah-wilayah yang awalnya menjadi daerah kekuasaan VOC diserahkan kepada pemerintah Belanda.
Daendels adalah seorang pemuja prinsip–prinsip pemerintahan yang revolusioner. Dan pemberani. Konon pada 1 Januari 1808, ia tiba di Anyer hanya dengan pengawalan seorang ajudan. Setelah sampai di Batavia, dia kemudian memutuskan untuk meninggalkan kota yang menurutnya tidak sehat itu dan pindah ke Bogor dan mulai bekerja memangkas korupsi, menata administrasi, mencitakan lembaga hukum, membangun tentara, dan membangun jalan darat. Mahkamah Agung, misalnya, adalah lembaga peradilan yang akarnya jauh ke Tuan Besar Guntur itu.
Sekitar 300 tahun setelah Daendels korupsi yang dicoba dibasminya ternyata tetap Berjaya, sama dengan ketika masa-masa hidup Diponegoro.
Bahkan setelah pembentukan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003, korupsi dan para aktornya mampu melawan balik. Proses reformasi anti-korupsi Indonesia dalam situasi sulit karena lemahnya kemauan politik.
Dalam buku terbaru Peter yang diterbitkan Komunitas Bambu itu Peter menyarankan Indonesia belajar dari pengalaman Inggris mereformasi diri melawan korupsi pada 1660-1830. Pada tahun-tahun itu Inggris adalah sebuah wilayah korupsi di Eropa.
Berbarengan dengan masa-masa itu, ajaibnya, Inggris pelan-pelan menjadi negara adidaya dengan kapasitas militer yang digdaya. Negeri yang secara geografis terletak di luar “Pulau” Eropa itu juga mengawali revolusi industri di dunia.
Zaman korupsi merajalela di negeri kerajaan itu Inggris juga menjadi negara dengan ekonomi perdagangan paling sukses di dunia. Pada masa-masa itu juga Inggris mengalahkan musuh utamanya Perancis, terutama diwakili dalam Pertempuran Waterloo (18 Juni 1815).
Namun Inggris membutuhkan waktu lebih dari 150 tahun, antara 1660 hingga 1830, untuk mengatasi masalah korupsinya. [Didit Sidarta]