Koran Sulindo – Peristiwa banjir Tahun Baru yang baru saja menimpa kawasan Jabodetabek dan diikuti oleh kejadian longsor di Kabutapen Lebak mengakibatkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dikeluarkan 6 Januari 2020, total ada 67 orang meninggal dan 14.535 pengungsi. Sementara itu, kerugian akibat rusaknya infrastruktur diperkirakan lebih dari Rp 10 triliun.
Umumnya, korban meninggal dari banjir yang terjadi belakangan diakibatkan oleh sengatan listrik. Ada juga yang melaporkan bahwa pompa yang sedianya berfungsi untuk mengalihkan luapan banjir ke laut gagal dioperasikan dalam waktu yang diharapkan, menyebabkan korban meninggal karena hanyut.
Contoh-contoh itu dan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa faktor manusialah yang berpotensi meningkatkan jumlah korban banjir.
Saya bersama rekan dari Center for Environment and Population Health, School of Medicine, Griffith University melakukan penelitian terhadap ketahanan komunitas perkotaan terhadap banjir.
Provinsi DKI Jakarta telah memiliki visi penanggulangan bencana yaitu “mewujudkan Jakarta yang tangguh terhadap bencana”. Pendekatan tangguh bencana ini menjadi sangat penting karena perubahan iklim yang telah terbukti meningkatkan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem.
Namun, saat ini belum ada definisi operasional dari istilah ‘komunitas tangguh’ dalam konteks menghadapi banjir di Jakarta. Istilah komunitas tangguh dapat diartikan berbeda oleh institusi yang berbeda.
Kami menduga tidak adanya definisi ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan tidak efektifnya upaya penguatan komunitas tangguh bencana.
Saat ini, terutama di Jakarta, pembangunan ketangguhan komunitas dalam menghadapi banjir masih berorientasi pada pembangunan infrastruktur. Contoh yang paling nyata adalah pembangunan tanggul raksasa di teluk Jakarta untuk melindungi dari banjir atau pembangunan kanal air untuk mengalihkan air ke laut. Proyek-proyek seperti ini akan menyerap dana yang tidak sedikit.
Melalui penelitian kami, salah satu kesimpulan yang kami dapatkan adalah untuk meningkatkan ketangguhan komunitas terhadap banjir, program harus difokuskan pada aspek manusia dan sosial masyarakat dan harus menggunakan pendekatan kolaborasi lintas sektoral.
(Tidak) Siap Bencana
Dalam penelitian ini, kami berusaha mengidentifikasi aspek apa yang paling diperlukan untuk membangun komunitas tangguh terhadap banjir. Kami juga berusaha mencari tahu langkah prioritas yang harus dilakukan untuk mensinergikan program komunitas tangguh lintas sektoral.
Kami melakukan studi dengan melibatkan 26 pemangku kepentingan yang terkait dengan penanggulangan banjir di Jakarta dari berbagai unsur diantaranya pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, lembaga peneliti, dan lembaga donor.
Kami menggunakan pendekatan kuantitatif lewat metode kuesioner dan pendekatan kualitatif dengan telaah literatur dan wawancara.
Para partisipan setuju bahwa peningkatan ketangguhan komunitas terhadap banjir harus difokuskan pada aspek manusia dan sosial masyarakat. Pembangunan aspek manusia ini merupakan dasar kemampuan komunitas untuk bertransformasi dari komunitas yang tidak atau kurang tangguh menjadi komunitas tangguh.
Salah satu aspek manusia yang dibahas dalam penelitian kami adalah perlunya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap risiko banjir dan komitmen untuk mengubah sikap dan perilaku agar lebih menjaga lingkungan sekitarnya.
Kesadaran akan risiko bencana adalah kondisi saat seseorang memahami apa saja yang akan memperburuk dampak dari bencana tersebut dan mengetahui apa langkah yang harus diambil baik secara pribadi maupun kolektif untuk meminimalisir paparan dan kerentanan.
Pada pertanyaan kedua, kami mendapati bahwa membangun komunitas tangguh banjir memerlukan pendekatan kolaborasi lintas sektoral.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa koordinasi belum berjalan secara efektif baik di antara pemerintah provinsi dan pusat (koordinasi vertikal) dan di antara instansi pemerintah di tingkat provinsi (horizontal). Kurangnya koordinasi lintas instansi ini pun menjadi salah satu faktor penghambat suksesnya program komunitas tangguh.
Institusi yang berbeda memandang banjir dengan perspektif masing-masing. Instansi penanggulangan bencana akan melihat banjir sebagai kejadian bencana. Instansi yang fokus dalam bidang adaptasi perubahan iklim akan melihat banjir sebagai dampak perubahan iklim. Sementara instansi yang tugasnya merencanakan pembangunan daerah akan melihat banjir sebagai penghambat proses pembangunan.
Seluruh persepsi ini menjadi penting karena semuanya memiliki landasan berpikir masing-masing.
Mengubah Paradigma
Dari penelitian kami, kami menemukan bahwa walaupun setiap pemangku kepentingan memiliki mandat yang berbeda satu sama lain, pada umumnya mereka semua memiliki pendapat yang sama mengenai pentingnya membangun kesadaran penuh masyarakat mengenai risiko banjir (risk-informed community).
Kesamaan berpikir ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk mempererat kemitraan dan kolaborasi antar pihak terkait.
Sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya, mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana, adaptasi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan merupakan awal dari suksesnya program tangguh bencana khususnya di era perubahan iklim ini.
Kami berharap temuan kami dapat menjadi masukan bagi pihak yang terkait khususnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Lingkungan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dalam menentukan strategi prioritas dalam rangka membangun komunitas tangguh banjir di Jakarta dan sekitarnya.
Apalagi BNPB telah mengadopsi dua kerangka bertaraf global, Kerangka Kerja Hyogo dan Sendai, sebagai acuan untuk pengembangan program pengurangan risiko bencana dalam konteks Indonesia. Dokumen ini menyebutkan bahwa investasi pengurangan risiko bencana untuk membangun ketangguhan menjadi salah satu tindakan prioritas.
Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, paradigma dalam membangun masyarakat tangguh bencana yang kini difokuskan pada pendekatan infrastruktur harus diubah menjadi pendekatan yang berbasis pada pembangunan manusia dan sosial masyarakat. Mengatasi permasalahan banjir di Jakarta tidak hanya berkaitan dengan manajemen luapan air hujan namun juga manajemen manusianya.
Pemimpin daerah harus menunjukkan komitmen penuh baik secara politik maupun finansial untuk memfasilitasi kerja sama dan kerja bersama dalam membangun ketangguhan komunitas terhadap banjir. [Dr Febi Dwirahmadi, Lecturer in Global Health, Griffith University, Australia].Tulisan ini disalin dari theconversation.com.