Koran Sulindo – Bertepatan dengan dibukanya World Ocean Summit, pertemuan kelautan tingkat dunia, di Nusa Dua, Bali, ribuan warga di Pulau Dewata melakukan aksi jalan kaki dari parkir timur lapangan Bajra Sandi, Monumen Perjuangan Rakyat Bali, menuju kantor gubernur, Kams (23/2). Mereka berunjuk rasa untuk menolak reklamasi Teluk Benoa.
Dalam demonstrasi tersebut, sejumlah perwakilan desa adat menyampaikan pandangan mereka, alasan penolakan reklamasi itu, di depan Kantor Gubernur Bali. Wayan Gendo, salah seorang Koordinator For Bali, misalnya, mengatakan aksi itu dilakukan agar bisa didengar pemerintah dan sejumlah negara bahwa Bali menolak reklamasi Teluk Benoa. “Investasi di laut hari ini sudah menjadi jamak, sudah menjadi trend. Di Jakarta, Podomoro membuat pulau-pulau reklamasi. Di Makasar juga dibuat pulau untuk bisnis properti. Bisnis di laut, properti di laut, tidak dengan cara menguruk laut, termasuk Teluk Benoa,” katanya.
Selain orasi, aksi tersebut juga diwarnai dengan pertunjukan musik dari kelompok musik yang dipimpin personel Superman Is Dead, Jerink SID. Ada juga kaum disabilitas dan perwakilan mahasiswa dari Papua.
Sementara itu, di Jakarta, Aliansi Masyarakat Sipil menyampaikan surat terbuka kepada Mabes Polri. Mereka antara lain terdiri dari aktivis For Bali, Walhi, Greenpeace Indonesia, Kontras, Jatam, KKI Warsi, dan Elsam.
Mereka meminta polisi menghentikan kriminalisasi dua aktivis penolak reklamasi Teluk Benoa, yang berasal dari Desa Adat Sumerta. Mereka disangkakan oleh polisi telah merendahkan kehormatan Bendera Negara. “Aliansi Masyarakat Sipil di seluruh Indonesia mendatangi Mabes Polri untuk menyerahkan surat terbuka kepada Mabes Polri berkaitan dengan peristiwa kriminalisasi terhadap dua aktivis For Bali, yakni I Gusti Putu Dharmawijaya dan I Made Jonantara alias De John,” ungkap Koordinator Divisi Hukum For Bali, I Made Ariel Suardana, di Mabes Polri, Jakarta.
Menurut Aliansi Masyarakat Sipil, kedua aktivis itu tidak melakukan tindakan pidana seperti disangkakan, “Tindakan mereka merupakan penghormatan serta perlindungan terhadap Negara Indonesia dari tindakan perusakan lingkungan,” ujar Ariel.
Terkait dugaan penurunan Bendera Merah Putih yang bukan pada waktunya, kata Ariel lagi, tidak dilakukan oleh kedua aktivis tersebut. Ia mengatakan, penurunan bendera dilakukan oleh petugas dari DPRD Bali. “Ini merupakan bentuk kriminalisasi dan pelemahan gerakan masyarakat untuk menolak Reklamasi Teluk Benoa,” tuturnya. [RAF]