Koran Sulindo – Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK, menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, akan mulai menerjang Indonesia pada tahun 2019. Penyebab utamanya adalah Revolusi Industri 4.0, karena Indonesia belum memiliki kesiapan menyambut perubahan tersebut untuk melindungi tenaga kerja.
“Tahun 2019, Revolusi Industri 4.0, pemerintah tidak siap dari sisi regulasi dan proteksi untuk para pekerja dan dunia usaha,” kata Iqbal saat konferensi pers evaluasi kinerja ketenagakerjaan, Rabu (26/12).
Yang akan melakukan PHK secara masif, lanjutnya, adalah beberapa sektor industri, antara lain sektor semen, tambang, elektronik, komponen, otomotif, dan industri padat karya, seperti garmen, tekstil, sepatu, dan ritel.
Diungkapkan Iqbal, sebelumnya sudah ada gelombang PHK di Indonesia. Tahun 2015 ada PHK skala besar dari industri garmen, tekstil, serta makanan dan minuman, yang jumlahnya mencapai kurang-lebih 75.000 orang. Gelombang ini berlanjut pada tahun 2016, dengan total pegawai terdampak PHK mencapai ratusan ribu, dari sektor industri elektronik, otomotif, dan komponen.
Untuk periode tahun 2016-2017, gelombang PHK menerpa industri ritel, keramik, pertambangan, dan farmasi. Tahun 2018 pun terdapat PHK yang menyerang pekerja sektor garmen, tekstil, dan baja. “Tahun 2019 akan terjadi gelombang PHK kelima,” kata Iqbal lagi.
Totalnya, tambahnya, pekerja yang terkena PHK dalam rentang waktu dari tahun 2015 sampai 2018 mencapai hampir 1 juta orang. Perusahaan yang merumahkan pekerjanya antara lain PT Krakatau Steel (Persero) Tbk., PT Holcim Indonesia Tbk., dan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
Dalam penilaian Iqbal, sektor semen dan baja tak cukup kuat untuk berkompetisi dengan perusahaan asal Cina, sehingga beberapa pabrik ditutup. Baja dan semen asal Cina membuat penjualan perusahaan dalam negeri melorot.
“Krakatau Steel di Cilegon banyak melakukan PHK terhadap karyawan kontrak karena masuknya pabrik baja Cina, industri baja di Indonesia kalah karena harga baja Cina lebih murah,” ujar Iqbal.
Akan halnya semen, harga jual hasil olahan pabrik Cina dijual dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan semen milik Holcim dan Indocement. Akibatnya, perusahaan dalam negeri tak bisa mempertahankan beberapa pabik miliknya.
Sepanjang tahun 2018 ini, beberapa pabrik milik PT Smelting Gresik juga telah ditutup. Namun, Iqbal mengaku masih mengumpulkan data terkait penutupan pabrik-pabrik itu dan jumlah pekerja yang terkena PHK. “Beberapa pabrik PT Smelting Gresik di Bekasi dan Tangerang itu hampir ratusan ribu pekerja,” tuturnya.
Penutupan pabrik dari perusahaan elektronik seperti Toshiba dan Panasonic juga menyebabkan pekerjanya kehilangan pekerjaan. Belum lagi penutupan toko ritel Giant. “Bisa lihat, kalau ditotal mungkin ada 19 cabang Giant tutup, di Lampung, Medan, dan lain-lain,” kata Iqbal.
Dalam bahasa berbeda, pemerintah juga memangkap adanya ancaman dengan datangnya Revolusi Industri 4.0. “Menurut studi Mckinsey, 60 persen jabatan pekerjaan di dunia akan tergantikan oleh otomatisasi. Di Indonesia diperkirakan 51,8 persen potensi pekerjaan yang akan hilang. Kita harus proaktif memastikan SDM kita siap menghadapi Revolusi Industri 4.0,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro di Kantor Kementerian PPN, Jakarta, 7 Desember 2018 lalu.
Menurut Bambang, kuncinya memang pada pengembangan sumber daya manusia (SDM). Karena itu, bila SDM kita sudah dipersiapkan secara matang, Revolusi Industri 4.0 dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan alias Sustainable Development Goals (SDGs), yang salah satu tujuannya adalah negara tanpa kemiskinan.
Lebih lanjut Bambang berpandangan, penggunaan teknologi digital membantu penyaluran bantuan sosial yang lebih tepat sasaran. Juga membantu tercapainya inklusi keuangan dan memberikan akses keuangan lebih luas kepada masyarakat miskin.
Selain itu, perkembangan teknologi juga sejalan dengan tujuan SDGs, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan kehadiran Internet, lanjutnya, memungkinkan proses pembelajaran jarak jauh dengan biaya yang rendah. Seiring dengan itu, teknologi kecerdasan buatan bisa menentukan dengan lebih akurat alokasi waktu dan materi pengajaran yang lebih efektif dan efisien.
Bambang juga berpendapat, Revolusi Industri 4.0 dapat memberikan pekerjaan yang lebih layak bagi masyarakat sesuai dengan SDGs. “Peran teknologi digital jelas terlihat dalam pengembangan sektor e-commerce di Indonesia,” ujarnya. [RAF]