Koran Sulindo – Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) otomatis diundangkan hari ini.
“Sebuah undang-undang yang sudah dibahas bersama DPR dan pemerintah, lalu diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR, selama 30 hari kalau belum ditandatangani Presiden, itu otomatis berlaku,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Tjahjo Kumolo, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (16/10/2019), seperti dikutip beritasatu.com.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) mengesahkan Revisi UU tersebut pada 17 September 2019. Berdasarkan UU Nomor Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU KPK otomatis berlaku setelah 30 hari disahkan DPR, walau tidak ditandatangani setelah 30 hari oleh Presiden.
Menurut Tjahjo, belum ada pembahasan mengenai aturan turunan dari UU KPK tersebut.
“Masih panjang itu, Belum kita bahas. Saya sebagai Menkumham sifatnya Plt. Tidak membuat keputusan yang strategis,” kata Tjahjo.
UU KPK itu dapat dibatalkan dengan Perppu yang dilakukan pemerintah, melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi, atau peninjauan ulang oleh DPR periode 2019-2024.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo tidak menjawab pertanyaan awak media soal wacana penerbitan Perppu tersebut saat menerima kunjungan para pimpinan MPR, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Presiden Jokowi sebenarnya pernah membuka peluang menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK itu.
“Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan itu berupa Perppu. Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi, dan nanti setelah itu akan kami putuskan,” kata Jokowi, setelah pertemuan dengan cendekiawan, ahli hukum, sastrawan, pengusaha, dan seniman di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (27/9/2019) lalu.
Aturan Peralihan
Setelah UU baru KPK berlaku, seluruh sumber daya KPK harus tunduk terhadap UU itu, karena aturan peralihan sudah ada di dalam UU tersebut.
“Ada peraturan peralihannya. Sebelum Dewas dibentuk, penyadapan dan lain-lain, diatur dengan UU sebelum diubah. Itu diatur dalam Pasal 69D,” kata Tenaga Ahli Utama bidang Politik dan isu Hukum, Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim, di Jakarta, Selasa (15/10/2019), seperti dikutip bbc.com.
Pasal 69D UU KPK itu berbunyi, “Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah.”
Sementara Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan aturan pegawai KPK menjadi ASN dan Dewan Pengawas adalah dua hal teknis yang mesti diperjelas oleh Pemerintah.
Jika Dewan Pengawas belum terbentuk, maka ketika UU KPK berlaku, KPK masih bisa menjalankan fungsi penindakan, penyidikan, dan penyadapan tanpa perlu meminta izin.
“KPK jadi tidak perlu izin-izin karena enggak bisa dimintakan. Misalnya sekarang ada penyadapan dan ada OTT ya dia langsung OTT. Izinnya ke mana? Dewan pengawas kan belum ada. Jadi presiden harus bikin panitia seleksi karena perintahnya begitu kalau di UU,” katanya.
Sementara tentang perubahan status pegawai KPK, Bpemerintah juga harus melakukan perubahan besar-besaran dan kemungkinan rekrutmen pegawai ulang.
“Kalau di UU ini syaratnya saja berubah. Barangkali harus pakai rekrutmen ulang,” kata Bivitri.
Sebelumnya, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyatakan pembentukan UU KPK tersebut cacat prosedural karena tidak masuk dalam prolegnas dan tidak melibatkan KPK. [Didit Sidarta]