Presiden Joko Widodo berada di jalur dipilih sekali lagi untuk periode kedua. Pemerintahan 5 tahun pertamanya sukses, termasuk pembangunan infrastrukturnya. Kini dengan kekuasaan lebih kokoh dalam genggaman ia dapat mencabuti hambatan-hambatan yang memberati ekonomi Indonesia, sekaligus mewariskan legasinya.
Koran Sulindo – Tatkala rakyat Indonesia memilih pada 17 April nanti dalam ujian demokrasi yang epic melintasi ribuan pulau dalam pemilihan umum yang selesai dalam sehari, survei-survei menunjukkan Joko Widodo akan menang tebal dan koalisi partai politik yang mendukungnya memperoleh suara mayoritas kuat di parlemen. Periode kedua nanti yang berarti juga masa terakhirnya bisa terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, justru membuatnya makin menguatkannya.
Berangkat sebagai wali kota di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Jokowi hadir sebagai meteor di negeri yang berdekade-dekade dipimpin lingkaran militer dan elit politik. Ia mengubah Jakarta dengan kepemimpinan yang bersih, bisa bekerja, dan siap menyelesaikan segalanya, hingga mengurusi kemacetan ibu kota yang membuat 5 miliar dolar Amerika Serikat terbuang percuma, hingga melawan korupsi. Gaya bicaranya yang rendah berbeda terbalik dengan lawannya dalam Pilpres, dan Jokowi mendorong negaranya menjalankan keterbukaan dalam berbisnis.
Pemerintahannya telah membuat awal yang baik, memotong hambatan dan mengguyurkan uang untuk pembangunan infrastruktur, misalnya merampungkan kereta bawah tanah (MRT) di Jakarta yang pembangunannya lama terbengkalai, diresmikan bulan lalu. Desa-desa juga jauh lebih bagus dibawah model yang dia jalankan. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan politisi kakap dan pebisnis besar.
Dan di sebuah negeri yang biasanya dikuasai konglomerat, generasi baru pebisnis menuju bintang seperti perusahaan aplikasi transportasi online Go-Jek yang kini bernilai US$10 miliar dan perusahaan marketplace online (e-commerce) Tokopedia yang terus berkembang hingga kini kapitalisasinya sebesar US$7 miliar. Sementara itu bursa saham dan rupiah sudah mulai pulih dari bulan-bulan turbulansi tahun lalu, bukti kukuh ditangani dengan benar oleh kabinet Jokowi dan bank sentral yang kompeten.
Banyak yang masih belum selesai, memang. Negeri yang kini masuk negara ekonomi US$1 triliun ini hanya pertumbuhan ekonominya hanya 5 persen, sangat rendah bagi kawasan berpenduduk 260 juta orang ini, juga dari target awal Jokowi yang sebesar 7 persen. Seperti pemerintahan sebelumnya, Jokowi juga sempat beranjak ke episode populis yang membuat investor asing terkaget-kaget: Perusahaan tambang raksasa Freeport dipaksa tunduk meyerahkan kontrol atas tambang timah Grasberg dalam akuisisi senilai US $4 miliar akhir tahun lalu, dan Jakarta menjadi lebih berkuasa atas kandungan mineral di sana.
Kebijakan yang sering berubah, yang menganakemaskan badan usaha milik negara (BUMN), merusak, terutama dalam bidang minyak dan gas, membuat Indonesia yang dulu menjadi produsen kini menjadi negara pengimpor dan meninggalkan OPEC pada 2016. Solusi minyak sawit sebagai pengganti solar hanya terlalu kecil untuk menangkal isu itu.
Jokowi telah membuka pintu bagi kepemilikan asing di Indonesia dan memotong rantai birokrasi, namun masih bisa lebih menarik modal asing, dimulai dari legislasi yang stabil. Pemacuan produksi minyak dan gas, sebagai contoh, membantu menurunkan defisit perdagangan, serta mengurangi kerapuhan ekonomi dari guncangan eksternal. Terus membangun jalan, jaringan kereta api, dan bandar udara, akan banyak membantu juga.
Ia juga bisa menaikkan anggaran negara menggenjot pembiayaan untuk menutup lubang-lubang fiskal, dan terus melanjutkan program tax amnesty yang kemarin menambah aset menjadi sekitar US$370 miliar. Pendapatan tipis dan pajak korporasi memang membuas pebisnis kecut, namun pendapatan negara dari sana sekarang masih cuma 11 persen dari GDP, di bawah bahkan negara sederajat seperti Filipina, yang telah membiayai sendiri pembangunan infrastrukturnya.
Sebagai mayoritas kuat, Jokowi bisa beralih ke isu yang lebih berat: buruh. Kesulitan-kesulitan dalam memperkejakan dan memecat, termasuk upah yang rendah, dan banyak buruh bekerja dalam kontrak jangka pendek, membuat gagasan menggenjot sektor manufaktur tak berdayaguna. Pekerja asing dibutuhkan untuk menaikkan produktivitas, tapi mempekerjakan mereka secara politis berbahaya. Maksimal hanya 1 persen pekerja yang bukan WNI.
Tapi tentu saja tetap ada resiko pemilu nanti tak seperti yang diduga. Seperti yang terjadi di Malaysia tahun lalu. Pemilu di Asia Tenggara tak bisa diperkirakan. Pada 2014 lalu Jokowi hanya menang 6 persen di atas Prabowo Subianto, lawan yang dihadapinya lagi tahun ini. Pemilu paling ketat dalam sejarah Indonesia.
Presiden agak tak bisa bermain baik di dalam suasana politik yang penuh dengan kata-kata kasar. Prabowo jauh lebih baik, juga merangkul suara Islam konservatif dan menyerang dengan aroma nasionalis, menjanjikan mengkaji investasi China. Sekitar 20 persen pemilih, berdasar survei, masih belum menentukan suaranya. Kemungkinan perpindahan suara dan batas yang tipis itu bisa membuat oposisi berencana berkontetasi secara tak wajar.
Dan itu akan menjadi hasil yang mencederai Indonesia, yang masih berkemungkinan meraih hal-hal besar lebih banyak jika di tangan Jokowi untuk 5 tahun ke depan. [Didit Sidarta; Disadur dari Clara Ferreira-Marques, Breakingviews – “Indonesia’s Jokowi can make a final term count.”]