Koran Sulindo – Persahabatan sering kali dipandang sebagai salah satu ikatan paling kuat dan abadi. Namun, seperti halnya dalam berbagai aspek kehidupan, persahabatan yang sudah lama dijalin pun bisa retak atau bahkan berubah menjadi permusuhan, terutama jika kepentingan politik atau pandangan ideologis berbeda.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di masa kini; sejarah mencatat bahwa hal serupa pernah terjadi di antara para pendiri bangsa Indonesia.
Salah satu contohnya adalah hubungan antara dua tokoh penting Indonesia: Soekarno dan Tan Malaka. Keduanya, yang sempat berhubungan erat, akhirnya berseberangan jalan karena perbedaan pandangan politik.
Padahal, di awal perjuangan kemerdekaan, mereka memiliki visi yang sama yaitu mewujudkan kemerdekaan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Namun, perbedaan cara untuk mencapai tujuan itulah yang akhirnya memisahkan mereka.
Persahabatan yang Berubah
Soekarno, yang kelak menjadi Presiden pertama Indonesia, adalah sosok sentral dalam perjuangan kemerdekaan. Bersama tokoh-tokoh lainnya, ia berjuang melalui berbagai cara, termasuk diplomasi, untuk merebut kemerdekaan dari penjajah.
Di sisi lain, Tan Malaka, yang juga berjuang dengan gigih, memiliki pandangan yang berbeda. Tan Malaka menolak jalan diplomasi yang diambil Soekarno, terutama ketika harus berunding dengan Belanda. Baginya, perundingan hanya sah jika Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia sepenuhnya dan meninggalkan tanah air.
Kekaguman Soekarno terhadap Tan Malaka sempat begitu besar. Saat Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang, Bung Karno merasa terhormat bisa bertemu dengan sosok yang ia anggap sebagai inspirasi.
Bahkan, Soekarno sempat berjanji akan menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Tan Malaka jika dirinya dan Hatta tak bisa melanjutkan perjuangan.
Namun, seiring waktu, perbedaan pandangan antara keduanya semakin mencolok. Ketegangan memuncak ketika Tan Malaka mendirikan Persatuan Perjuangan (PP) yang menjadi oposisi pemerintah.
Gerakan ini menolak segala bentuk kompromi dengan Belanda, sedangkan Soekarno, meskipun tetap ingin merdeka sepenuhnya, percaya bahwa diplomasi adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh. Ketidaksetujuan ini akhirnya berujung pada penangkapan Tan Malaka atas restu Soekarno. Tan Malaka ditahan dari 1947 hingga akhir 1948.
Setelah dibebaskan, hubungan mereka semakin memburuk. Tan Malaka semakin lantang mengkritik Soekarno dan bahkan TNI, yang ia anggap enggan berperang melawan penjajah.
Konflik ini pada akhirnya mengantarkan Tan Malaka pada kematiannya. Ia tewas ditembak pada 21 Februari 1949 di Kediri. Meski begitu, pada 1963, Soekarno mengakui jasa-jasa Tan Malaka dengan menganugerahkannya gelar Pahlawan Nasional.
Pelajaran dari Perbedaan Pandangan
Sejarah Soekarno dan Tan Malaka mengajarkan kita bahwa perbedaan pandangan politik bisa merusak bahkan hubungan yang paling dekat sekalipun. Meski mereka sama-sama berjuang untuk kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat, cara yang mereka tempuh berbeda, dan hal itu membawa mereka pada jalan yang berlawanan.
Namun, ada satu hal yang membedakan konflik politik pada masa itu dengan yang sering kita saksikan sekarang. Perbedaan pendapat antara para pendiri bangsa, seperti Soekarno dan Tan Malaka, bukan didasarkan pada ambisi kekuasaan atau keuntungan pribadi, melainkan pada cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama. Pada akhirnya, meskipun terjadi konflik, semangat dan tujuan untuk memajukan bangsa tetap menjadi pendorong utama.
Ini adalah pengingat bahwa perbedaan pandangan dalam politik adalah hal yang wajar, bahkan di antara teman dan rekan seperjuangan. Namun, yang terpenting adalah menjaga tujuan yang lebih besar dan tidak membiarkan perbedaan tersebut merusak persatuan dan tujuan bersama. [UN]