Koran Sulindo – PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Freeport McMoRan Inc, dan PT Rio Tinto Indonesia menandatangani Sales Purchase Agreement (SPA) beserta perjanjian terkait lainnya, hari ini. SPA ini adalah tindak lanjut dari Head of Agreement (HoA) yang diteken Inalum dan Freeport McMoRan Inc pada 12 Juli 2018 lalu.
Dengan penandatanganan SPA itu, 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) bakal resmi menjadi milik Inalum, yang sekaligus menjadi pemilik saham terbesar perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.
Penandatanganan akan dilaksanakan di Ruang Sarulla Kementerian ESDM Jalan Medan Merdeka Selatan No. 18 Jakarta, pada pukul 16.00 WIB ini.
Dalam perjanjian itu, sebesar 40 persen Participating Interest (PI) Rio Tinto sudah dikonversi menjadi saham PTFI. Inalum juga membeli saham milik Freeport McMoRan Inc untuk mendapat tambahan 5,4 persen saham. Ditambah saham milik pemerintah yang sudah di tangan selama ini, maka Inalum menguasai 51 persen saham PTFI.
“Jadi yang ditandatangani nanti bukan hanya SPA saja, tapi sekaligus perjanjian-perjanjian terkait. PI milik Rio Tinto sudah dikonversi menjadi saham,” kata sumber yang tidak mau disebut namanya, Rabu (26/9/2018) kemarin, seperti dikutip Reuters.
Setelah penandatanganan perjanjian ini, Kementerian ESDM akan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk PTFI yang berlaku hingga 2031. Rencananya IUPK diberikan pada Jumat (28/9/2018) nanti.
Sebelumnya, sumber yang sama mengatakan seluruh dokumen SPA itu telah rampung.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, mengatakan proses divestasi saham Freeport itu segera selesai.
“Minggu ini selesai. Kan janjinya Bu Menteri Keuangan akhir September 2018, jadi kan minggu ini,” kata Fajar saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (26/9/2018), seperti dikutip kumparan.com.
Menurut Fajar, divestasi 51 persen saham PTFI kepada pemerintah seperti itu ibarat proses jual beli rumah. Saat HoA diteken oleh berbagai pihak pada Juli 2018, hal itu bisa disamakan dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
“Kalau sekarang itu AJB (Akta Jual Beli). Kalau beli rumah kaya gitu. Sudah boleh ditempati, PPJB aja boleh ditempati,” katanya.
Mengenai proses pembayaran divestasi 51 persen saham PTFI, kata Fajar, keputusan itu diambil oleh PT Inalum (Persero) selaku induk holding BUMN pertambangan. Sumber pendanaan berasal dari pinjaman 11 bank asing.
“Iya, masih. Itu tanyakan ke Inalum,” kata Fajar.
Kontrak Karya tak Dikenal Lagi
Sementara itu Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyambut positif penandatanganan Sale and Purchase Agreement (SPA) antara PT Inalum dengan Freeport McMoran itu.
“Positif karena akhirnya dengan penandatanganan SPA maka PT FI menjadi milik Indonesia yang diwakili oleh PT Inalum secara sah,” kata Hikmahanto, di Jakarta, Kamis (27/9/2018), melalui rilis media.
Yang terpenting dari penandatanganan SPA itu, tidak ada lagi dualisme antara IUPK dan Kontrak Karya. Dengan divestasi saham ini, nama KK Freeport secara pasti dan sah tidak dikenal.
“Namun demikian perlu diperhatikan sejumlah hal. Pertama terkait dengan harga saham. Bila Kementerian ESDM akan memberikan perpanjangan hingga 2031 untuk PT FI maka harga saham tidak seharusnya harga 2041,” katanya.
Menurut Hikmahanto, bila hal itu yang terjadi bisa saja dianggap telah terjadi kerugian negara. Ini dapat berdampak pada masuknya transaksi ini ke Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, soal kewajiban pembangunan smelter dan masalah lingkungan setelah penandatanganan SPA harus tetap menjadi beban dari Freeport McMoran, mengingat masalah tersebut telah ada sebelum PT Inalum menjadi pemegang saham.
Ketiga dalam perjanjian antarpemegang saham (shareholder agreement) harus ada ketentuan yang menentukan PT Inalum tidak akan pernah terdilusi kepemilikan 51 persen sahamnya meski pada saat adanya peningkatan modal PT Inalum tidak mengambil bagian.
Keempat setelah PT FI dimiliki secara mayoritas oleh PT Inalum maka PT FI wajib bersedia untuk diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan secara menyeluruh layaknya anak perusahaan BUMN.
“Terakhir dalam perjanjian antarpemegang saham keputusan harus diambil berdasarkan suara terbanyak sederhana (51 persen) baik pada tingkat RUPS, dekom maupun direksi,” kata Hikmahanto. [DAS]