Koran Sulindo – Ada beberapa paradoks seiring merebaknya berita soal tenaga kerja asing, khususnya dari Tionghoa. Pertama: sebagai bangsa dari negara kepulauan, dengan jumlah pulau lebih dari 17.000, mengapa bangsa ini seolah sedang mengalami xenophobia, takut terhadap datangnya orang asing? Bukankah pergaulan dengan dunia luar sudah dilakukan sejak berabad-abad lalu?
Kedua: tenaga kerja asing, apalagi yang ilegal, lazimnya bermigrasi ke negara-negara maju untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup mereka, tapi mengapa Indonesia yang dipilih sebagai tujuan, padahal belum tergolong negara maju, bahkan bisa dibilang negara yang sedang susah-payah mengatasi krisis keuangannya?
Ketiga: pemerintah terlihat ingin meredam isu ini, tapi mengapa begitu banyak pejabat pemerintahan yang bicara, mulai dari presiden, wakil presiden, menteri koordinator, menteri, sampai direktur jenderal kementerian, belum lagi ditambah anggota legislatif, aparat militer, dan kepolisian?
Lumrah jika kemudian muncul pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, berita soal membanjirnya tenaga kerja asing, terutama dari Tiongkok, bukan berita baru. Setidaknya sejak hampir dua tahun lalu sudah ada beritanya di berbagai media.
Pada tahun 2015 lalu, misalnya, ada berita yang mengatakan Indonesia akan “diserbu” 10 juta tenaga kerja dari Tiongkok. Angka tersebut tampaknya berasal dari pidato Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu Yandong ketika berkunjung ke Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 27 Mei 2015. Banyak media memberitakan soal ini.
Dalam kesempatan tersebut, Liu Yandong mengatakan, demi mempererat hubungan bilateral negaranya dengan Indonesia ditargetkan pertukaran 10 juta warganya dalam berbagai bidang pada tahun 2020. Itu termasuk dalam mekanisme kerja sama yang hendak dibentuk oleh kedua pemimpin negara.”Tiga mekanisme akan memimpin kerja sama di bidang keamanan politik, ekonomi dan perdagangan, serta humaniora,” ujarnya.
Pertukaran masyarakat tersebut, tambahnya, akan tersebar di sejumlah sektor, yakni pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, media, pemuda, pariwisata, think tank, dan agama. Menurut dia, hal itu adalah upaya untuk mendorong warga kedua negara untuk saling mengenal.
Ditekankan Liu, kerja sama bilateral Tiongkok-Indonesia menjadi penting mengingat jumlah penduduk kedua negara yang begitu besar. Kalau digabungkan, total penduduk Tiongkok-Indonesia mencapai 1,6 miliar jiwa, yang mewakili seperempat total penduduk dunia.
Pada bidang ekonomi, ia menyoroti kesamaan megaproyek maritim Presiden Xi Jinping dan Presiden Joko Widodo. Seperti diketahui, Presiden Xi Jinping memasang target kerja sama untuk membangun jalur ekonomi Jalan Sutera dan Jalur Sutera Maritim modern. Bahkan, ia mengklaim rencana tersebut disambut baik oleh lebih dari 60 negara di kawasan. Proyek tersebut juga dinilai akan meningkatkan kooperasi di bidang infrastruktur.
Sejak itu, berita-berita soal tenaga kerja Tiongkok mulai banyak menghiasi media massa di Indonesia. Bahkan, dari hari ke hari terasa semakin masif. Topiknya pun beragam: mulai dari tenaga kerja asal Tiongkok ilegal, menyalahi izin kerja, tenaga kerja kasar, sampai warga Cina yang membuka lahan perkebunan dengan membawa tumbuhan yang mengandung penyakit yang berbahaya.
Masyarakat pun waswas, resah, khawatir, dan takut. Wajar sebenarnya, apalagi kondisi ekonomi Indonesia juga sedang morat-marit dan jumlah pengangguran masih tergolong sangat tinggi.
Namun, wajar juga bila pemerintah menjadi curiga, ada yang memprovokasi isu soal tenaga kerja dari Tiongkok tersebut, seperti diungkapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly, 29 Desember 2916 silam. Karena, hubungan pemerintah Indonesia dengan Tiongkok yang semakin mesra belakangan ini besar kemungkinan dapat memantik “api cemburu” dari negara-negara lain, terutama dari negara-negara yang telah begitu lama menanamkan kepentingannya di negeri ini. Bukan mustahil, dengan terjalinnya hubungan yang semakin akrab antara Indonesia dan Tiongkok, mereka takut kepentingannya di Indonesia terganggu, bahkan kepentingan mereka di kawasan.
Kecurigaan seperti itu sebenarnya punya landasan yang cukup kuat. Dari berbagai catatan penelitian yang dilakukan ahli-ahli dari dalam dan luar negeri dapat dilihat bagaimana negara lain melakukan upaya rekayasa dengan berbagai cara untuk menekan pemerintah Indonesia, bahkan untuk merongrong kedaulatan bangsa dan negara ini. Sejak masa awal-awal kemerdekaan, sejarah mencatat, bagaimana pihak asing ingin mencengkeram Indonesia, dengan menciptakan kerusuhan dan konflik horizontal serta mendukung gerakan-gerakan separatis.
Terkait dengan isu anti-Tiongkok atau ant etnis Cina, kerusuhan di Bandung pada 10 Mei 1963, misalnya, diketahui ada campur tangan Amerika Serikat (AS) di belakangnya. Yang mengungkap soal ini justru peneliti asal AS dari Universitas California, Peter Dale Scott.
Dalam makalahnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian dibukukan dengan judul Konspirasi Soeharto–CIA: Penggulingan Soekarno 1965-1967 (1998), Scott memaparkan bagaimana keterlibatan keterlibatan AS dalam upaya penggulingan Presiden Soekarno, dengan cara-cara yang kotor, keji, dan berdarah.
Yang juga digunakan AS ketika itu, menurut Scott, adalah dengan memberikan serangkaian bantuan kepada pihak militer Angkatan Darat (AD) Indonesia atau Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) dalam program Military Training Advisory Group (MILTAC) sejak tahun 1962. Lewat program itu, para perwira AD di Seskoad dilatih menyusup ke berbagai sektor, antara lainsektor pemerintahan dan sosial kemasyarakatan melalui program Civic Mission Seskoad untuk mencapai target-target politik yang diinginkan AS..
Waktu itu, Buing Karno memang semakin berani menentang hegemoni AS. Bung Karno antara lain melakukan nasionalisasi aset-aset minyak AS. Juga semakin mendekatkan diri dengan “Blok Timur”, yakni dengan Republik Rakyat Tiongkok, serta dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tambahan pula, sejak menggagas dan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika, Bung Karno telah menjadi figur kunci bagi tergugahnya semangat bangsa terjajah untuk merebut kemerdekaan dan terbebas dari pengaruh kekuatan asing. Ia menyerukan adanya politik dekolonialisasi bagi negara-negara terjajah karena praktik imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan oleh Barat selama berabad-abad. Ia menggelorakan semangat “membangun dunia baru” kepada negara-negara dunia ketiga.
Lalu, pada tahun 1961, Bung Karno juga memperkenalkan gagasannya tentang kekuatan baru yang sedang tumbuh, yang ia sebut The New Emerging Forces, Nefos. Kekuatan baru ini muncul dari negara-negara yang pernah dijajah negara-negara imperialis dan kekuatan lama yang semakin dekaden, yang disebut Bung Karno sebagai Oldefo, The Old Esthablished Forces.
Gagasan Bung Karno itu tumbuh di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Nefos, menurut Bung Karno, bukan hanya berupaya bebas dari neo-kolonialisme dan imperialisme, tapi juga berusaha membangun tatanan dunia baru tanpa exploitation l’homme par I’homme. Nefos merupakan pemerintah, bangsa, dan rakyat progresif di negara sedang berkembang.
Jadi, seperti diungkapkan Peter Dale Scott, huru-hara anti-Cina di Bandung itu dijadikan kuda Troya oleh kaum imperialis asing beserta kompradornya didalam negeri. Tujuannya: menghentikan laju revolusi nasional yang ketika itu digelorakan Bung Karno.
Lalu, bagaimana pemerintah sekarang mesti bersikap menghadapi isu serbuan tenaga kerja asing dari Tiongkok? Langkah pertama yang terpenting adalah meredam kecemasan rakyat banyak, dengan memberikan informasi selengkap-lengkapnya, yang tidak simpang-siur dan membuat negeri ini semakin berisik. Seiring dengan itu: mempelajari kembali catatan-catatan sejarah dan berupaya keras mewujudkan kesejahtreraan rakyat banyak denga langkah-langkah konkret dan terukur. Kerja cerdas, bukan sekadar kerja keras! [Purwadi Sadim]