Republik Maluku Selatan: Gerakan Separatisme di Indonesia

RMS atau Republik Maluku Selatan adalah gerakan separatis yang diproklamasikan pada 25 April 1950 dan bermarkas di Ambon. Foto DOK idsejarah.net

Republik Maluku Selatan (RMS) adalah salah satu gerakan separatis di Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan pada 25 April 1950, empat bulan setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.

Gerakan ini diinisiasi oleh sebagian komponen bangsa Indonesia di wilayah Maluku Selatan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kekuatan utama di balik pendirian RMS adalah para politisi bekas pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) dan mantan perwira Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).

Latar Belakang Terbentuknya RMS

Gerakan RMS muncul dari berbagai latar belakang yang berbeda. Pertama, RMS merupakan ungkapan kekecewaan sekelompok pejabat NIT terhadap rencana penggabungan NIT ke dalam NKRI setelah tercapai kesepakatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Kedua, sebagian masyarakat Ambon yang diuntungkan oleh kolonial Belanda khawatir posisi mereka terancam jika pemerintah di Jakarta mendirikan pemerintahan yang efektif di Ambon. Ketiga, RMS didorong oleh ketidaksetujuan Soumokil terhadap pemerintah pusat maupun NIT.

Pendirian dan Kepemimpinan RMS

Sebelum mendeklarasikan kemerdekaan RMS, Soumokil menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung NIT. Bersama dengan Andi Azis, Soumokil menentang penggabungan NIT ke dalam NKRI.

Saat pemberontakan di Makassar berhasil dipadamkan, Soumokil terbang ke Ambon untuk memisahkan Ambon, Buru, dan Seram dari NKRI. Bersama Ir. Manumasa, Soumokil mengambil alih kekuasaan dan memproklamasikan RMS.

RMS bertujuan untuk berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan tidak terikat oleh pemerintah RI maupun negara RIS.

Ir. J.A. Manumasa memainkan peran penting dalam merealisasikan pemerintahan RMS. Ia menjadi ujung tombak dalam menggalang kekuatan militer dari unsur KNIL dan melakukan konsolidasi dengan pemerintah daerah.

Ketika Kepala Daerah J.H. Manuhutu dan Wakil Ketua Dewan Maluku Selatan Albert Wairisal tidak menyetujui pendirian RMS, Manumasa menyelenggarakan kongres kilat yang mengangkat Manuhutu sebagai presiden dan Wairisal sebagai Menteri Pertahanan.

Konflik Internal dan Ketidakstabilan RMS

Selain Soumokil dan Manumasa, Nanlohy juga berpengaruh dalam RMS, meskipun hubungan antara Soumokil dan Nanlohy dipenuhi kecurigaan dan ketidakpercayaan, sehingga Nanlohy dipecat dan pergi ke Irian Barat.

Pemerintahan RMS tidak berjalan efektif dan cenderung tidak stabil akibat berbagai masalah internal, termasuk penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Kondisi ini menyebabkan RMS lemah dan kurang mendapat dukungan politik dan ekonomi dari masyarakatnya.

Penanggulangan Gerakan RMS oleh Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia menempuh langkah diplomasi politik dengan misi perdamaian, mengirim delegasi untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan Soumokil. Delegasi ini dipimpin oleh Dr. J. Leimena dan terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat.

Namun, misi perdamaian ini tidak berhasil, sehingga pemerintah menggelar Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin Kol. A.E. Kawilarang.

Operasi militer ini melibatkan pasukan dari Jawa dan Maluku yang dibagi sesuai basis kekuatan RMS di Ambon, Seram, dan Buru. Kontak senjata tidak bisa dihindarkan, dan banyak korban jatuh dari kedua belah pihak, termasuk Letnan Kolonel Slamet Riyadi yang gugur dalam pertempuran di Benteng Nieuw Victoria Ambon pada 4 November 1950. Pertempuran ini akhirnya dimenangkan oleh pasukan pemerintah Indonesia dan menandai kembalinya Ambon ke dalam wilayah NKRI.

Akhir Pemberontakan RMS

Setelah wilayah RMS dikuasai oleh pasukan pemerintah Indonesia, dilakukan penangkapan terhadap Presiden RMS J.H. Manuhutu, Perdana Menteri RMS Albert Wairissal, dan sembilan menteri lainnya.

Mereka semua diproses secara hukum dan dihukum sesuai pelanggaran masing-masing. Sebagian pimpinan RMS melarikan diri ke Belanda dan mendirikan organisasi dengan pemerintahan di pengasingan.

Soumokil melanjutkan perlawanan di Pulau Seram hingga ditangkap pada 12 Desember 1963, yang menandai berakhirnya pemberontakan RMS. Setelah menjalani persidangan, Soumokil dijatuhi hukuman mati pada 12 April 1966.

Republik Maluku Selatan (RMS) merupakan gerakan separatis yang muncul dari kekecewaan dan ketidaksetujuan sekelompok pejabat dan masyarakat di wilayah Maluku Selatan terhadap pemerintah pusat.

Gerakan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Soumokil dan Ir. Manumasa, tetapi tidak berhasil mempertahankan kekuasaannya karena konflik internal dan operasi militer oleh pemerintah Indonesia.

RMS mencerminkan dinamika politik dan sosial di Indonesia pasca-kemerdekaan, yang terus berupaya menjaga integrasi nasional dan kedaulatan NKRI. [UN]