Reog Cemandi: Kesenian Tradisional yang Ditakuti Penjajah di Sidoarjo

Kesenian Reog Cemandi dari Sidoarjo, Jawa Timur.(kikomunal-indonesia.dgip.go.id)

Di Jawa Timur, terdapat seni budaya yang mencerminkan sejarah panjang perjuangan masyarakat setempat, salah satunya adalah Reog Cemandi. Kesenian ini berasal dari Desa Cemandi di Kecamatan Sedati, Sidoarjo, dan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan Reog Ponorogo yang lebih dikenal.

Tidak seperti Reog Ponorogo yang menampilkan warok dan topeng merak yang megah, Reog Cemandi menyuguhkan pertunjukan yang lebih sederhana namun sarat makna dan sejarah. Kesenian ini konon dibuat untuk menakuti pasukan Belanda yang berusaha memasuki desa tersebut pada masa penjajahan. Seiring waktu, Reog Cemandi kini sering ditampilkan dalam berbagai acara budaya, termasuk karnaval, pernikahan, peringatan hari besar Islam, Hari Kemerdekaan, serta Hari Jadi Sidoarjo.

Asal-usul Reog Cemandi

Melansir laman Kemdikbud, Reog Cemandi pertama kali diciptakan pada tahun 1922 oleh Dul Katimin, seorang mantan santri dari pesantren Tegalsari, Ponorogo. Dul Katimin yang memiliki pondok di kawasan Sidosermo, Surabaya, datang ke Sidoarjo pada 1917 setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Dalam perjalanan pulangnya ke Sidoarjo, Katimin berhenti di Pagerwojo dan bertemu dengan sekelompok pemuda yang sedang menabuh kendang sembari menunggu waktu salat ashar.

Pemuda-pemuda tersebut ternyata adalah mantan gemblak, yaitu pemuda yang menjadi “simpanan” para warok dalam kesenian Reog Ponorogo. Mereka memiliki pengalaman dalam menari dan memainkan alat musik kendang, yang akhirnya menarik perhatian Katimin.

Melihat potensi ini, Katimin memutuskan untuk tinggal sementara di Pagerwojo untuk mengajarkan agama Islam kepada para pemuda tersebut. Setelah beberapa bulan, Katimin melanjutkan perjalanan ke Sidoarjo bersama para pemuda yang tertarik menemaninya.

Sesampainya di Desa Cemandi, Katimin dan para pemuda mulai membuka lahan untuk membangun surau sebagai tempat ibadah. Selama proses tersebut, mereka tetap melanjutkan kebiasaan menabuh kendang dan menari. Katimin memanfaatkan kebiasaan ini sebagai sarana dakwah Islam, yang kemudian menarik banyak warga untuk bergabung dan salat berjemaah di surau tersebut.

Namun, situasi menjadi semakin tegang ketika Belanda mulai mengirim tentara untuk menarik pajak dari warga Desa Cemandi setelah panen. Tentara Belanda, yang dikenal dengan sebutan Oost Indische Leger (OIL), sering melakukan penyiksaan terhadap penduduk desa. Melihat kesulitan ini, Katimin memiliki ide brilian untuk mengusir penjajah Belanda dengan kesenian yang ia ciptakan.

Menciptakan Reog Cemandi untuk Mengusir Penjajah

Katimin memerintahkan warga Desa Cemandi untuk mencari beberapa batang kayu nangka dan kayu randu. Kayu nangka digunakan untuk membuat kendang, sementara kayu randu dipakai untuk membuat topeng menyerupai wajah buto cakil dengan dua taring. Topeng tersebut diwarnai dengan gambar-gambar yang menyeramkan untuk menciptakan kesan gaib.

Ketika utusan Belanda datang ke desa untuk menarik pajak, Katimin dan para pemuda dari Pagerwojo mengadakan pertunjukan kesenian barongan. Mereka menari diiringi dengan tabuhan kendang yang meriah.

Pertunjukan tersebut begitu menyeramkan sehingga membuat tentara Belanda ketakutan dan terlibat dalam tarian yang tidak mereka pahami. Dalam suasana yang penuh kegembiraan itu, tentara Belanda dihajar beramai-ramai oleh warga desa hingga tidak berdaya. Setelah insiden tersebut, Belanda tidak lagi berani memungut pajak atau melakukan kekerasan terhadap warga Desa Cemandi.

Ada pula versi lain dari cerita ini yang menyebutkan bahwa ide pembuatan topeng dan pertunjukan kesenian ini datang dari Kiai Mas Albasyaiban, seorang pemimpin pondok pesantren yang mengisi topeng dengan energi gaib. Kiai ini diduga menggunakan kekuatan mistis untuk memperkuat kesan menyeramkan dari tarian Reog Cemandi, yang pada akhirnya berhasil mengusir penjajah Belanda dari desa.

Properti dan Pemain dalam Reog Cemandi

Reog Cemandi melibatkan sekitar 13 pemain, yang terdiri dari penari dengan topeng barongan lanang dan wadon, serta para penabuh kendang dan pemain angklung. Properti yang digunakan dalam kesenian ini cukup sederhana namun penuh makna, yaitu topeng barongan lanang dan wadon, keris, tali untuk ikat pinggang penari barongan lanang, golok, kalung untuk penari barongan wadon, dan selendang kuning.

Saat ini, Reog Cemandi menjadi bagian dari budaya masyarakat Sidoarjo dan sering ditampilkan dalam berbagai acara, baik di tingkat lokal maupun regional. Meski sudah berusia lebih dari satu abad, kesenian ini tetap hidup dan berkembang, diiringi dengan upaya pelestarian budaya oleh masyarakat setempat. Reog Cemandi tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah, tetapi juga menjadi warisan budaya yang mengajarkan kita tentang kekuatan seni dalam menyatukan masyarakat dan melestarikan tradisi.

Reog Cemandi mengingatkan kita akan pentingnya kesenian sebagai sarana untuk mempertahankan identitas dan semangat perlawanan terhadap penindasan. Dengan penampilan yang menawan dan penuh makna, kesenian ini tetap hidup dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Sidoarjo hingga hari ini. [UN]