Koran Sulindo – Pemerintah ingin superholding BUMN segera diwujudkan. Padahal, konsepnya dinilai banyak pihak belum matang. Bahkan, rencana induknya pun belum ada.
WACANA pembentukan superholding badan usaha milik negara (BUMN) kini dimunculkan lagi. Bahkan, Presiden Joko Widodo sudah memiiki target yang akan diselesaikan tahun ini—yang tinggal beberapa bulan lagi. Kata Joko Widodo pada 3 Maret lalu: “Tahun ini, saya targetkan ada enamholding. Kemudian setelah itu nanti ada superholding.”
Pada masa reformasi sebenarnya wacana ini—dengan istilah berbeda—telah digulirkan Presiden Habibie pada tahun 1999. Ia mengeluarkan masterplan pengembangan BUMN Indonesia masa depan. Dalam masterplanitu disebutkan, pengelolaan BUMN akan dikelompokkan pada beberapa holding company, seperti kelompok jasa keuangan, kelompok pertanian-perkebunan, kelompok infrastruktur, kelompok industri strategis, dan beberapa kelompok bisnis lain. Tapi, masterplan itu tidak dijalankan karena pemerintahan berganti. Pada masa pemerintahan-pemerinthan selanjutnya memang kemudian dibentuk holding company untuk kelompok pupuk dan semen. Setelah itu, pada akhir pemerintahan priode kedua Susilo Bambang Yudhoyono telah disetujui lagi untuk segera dioperasionalkan holding BUMN untuk kelompok pertanian.
Kini, seperti hasrat Presiden Joko Widodo—yang didorong oleh keinginan Menteri BUMN Rini Soemarno—pemerintah sedang menggodok konsep superholding BUMN, dengan fokus pada pembentukan enam holding BUMN dulu, yakni pertambangan, energi, jalan tol, perumahan, perbankan, dan konstruksi.
Rini sendiri mengaku, rencana pembentukan superholding BUMN itu mengacu ke Singapura dan Malaysia.”Memang kalau kita lihat negara lain seperti di Singapura dan Malaysia itu mereka bentuknya superholding. Di Malaysia itu Khasanah, sedangkan di Singapura juga ada Temasek,” kata Rini, 25 Juli 2016.
Dijelaskan Rini, keputusan Singapura dan Malaysia membentuk superholding BUMN membuat perusahaan-perusahaan BUMN di negara tersebut lebih lincah berbisnis. Sekarang ini, katanya lagi, BUMN Malaysia dan Singapura bisa lebih banyak berbicara di dunia dibandingkan Indonesia karena pembentukan superholding BUMN.”Itu membuat mereka menjadi lebih lincah, fleksibel, mendunia,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah BUMN Indonesia selama dinilai tidak bisa bergerak leluasa dalam pengembangan bisnisnya karena berada di bawah Kementerian BUMN.”Perlu adanya lembaga pengelolaan lembaga BUMN yang bisa bertindak cepat yang selaras dengan sistem korporasi,” tutur Rini. Karena itu, tambahnya, dengan adanya superholding BUMN, dirinya yakin BUMN tidak akan lagi bergantung pada negara.
Adapun Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN Hambra mengungkapkan, setelah menyelesaikan keenam holding sektoral seperti disebutkan Presiden Joko Widodo, barulah pihaknya akan membanhgun superholding. Jika sudah terbentuk, Kementerian BUMN pun akan dihapuskan dan semua urusan yang menyangkut BUMN menjadi tanggung jawab superholding itu. Kekuasaan tertinggi superholding akan berada di tangan presiden, dengan skema pengawasan berjenjang.
Pengawasan persero kelak, kata Hambra, mesti dilakukan dewan komisaris yang dipimpin langsung presiden dan wakil presiden. Yang menjadi dewan komisarisnya antara lain Menteri Keuangan dan sejumlah menteri terkait yang ditunjuk langsung presiden. Setiap anggota dewan komisaris yang dipilih wajib memastikan kinerja perseroan sesuai dengan tujuan utama pembentukannya dan ketentuan perudang-undangan yang berlaku. Maka, semua orang yang berada dalam struktur organisasi superholding wajb melaksanan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, dan tata kelola perusahaan yang baik.
Itu berarti harus transparan, mandiri, akuntabel, bertanggung jawab, dan hasilnya wajar. Dengan demikian, hukumnya tetap ada dan dikelola sama tim eksekutif, tidak bergantung pada satu orang. Konsep ini, kata Hambra, masih menjadi pembahasan di semua jajaran Kementerian BUMN. Itu sebabnya belum bisa dipastikan kapan superholding akan dibentuk karena masih terus mematangkan konsepnya.
Menteri Rini juga punya target: masterplanpembentukan superholding BUMN akan rampung pada tahun ini juga. Diungkapkan pula, dalam waktu dekat, pembentukan holding BUMN minyak dan gas akan diealisasi, dengan menggabunggkan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (Persero) dan PT Pertamina (Persero), dengan Pertamina yang akan menjadi induk usaha. Pelaksanaan holding ini tinggal menunggu revisi Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN. Akan ada tambahan pasal yang diharmonisasi sebagai penyesuaian pembentukan holding BUMN. Jika revisi itu selesai, holding BUMN minyak dan gas bisa segera terwujud.
Wacana yang beredar di masyarakat kurang-lebih hanya sebatas itu plus informasi mengenai iktikad dan tujuan mulianya. Menurut Rini, tujuan pembentukan superholding tersebut, selain karena ingin BUMN dikelola lembaga yang bisa bertindak cepat dan efektif, juga ingin mencontoh holding BUMN Singapura dan Malaysia, Temasek dan Khazanah. Juga agar BUMN Indonesia bisa lebih efesien dan selaras dengan sistem korporasi. Karena itu, kata Rini lagi, pembentukan superholding ini menjadi sebuah kebutuhan,agar BUMN dapat bergerak lebih lincah.Karena, menurut pandangan dia,BUMN selama ini tidak bisa bergerak bebas karena berada di bawah Kementerian BUMN.
Lebih lanjut Rini menjelaskan, ide awalnya, superholding itu akan berperan sebagai sebagai pembina, pengawas, dan pengelola BUMN. Gagasan pembentukan superholding atau pembubaran Kementerian BUMN akan sejalan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang BUMN.
Apa yang diungkapkan Rini itu dipertegas dengan pernyataan Presiden Joko Widodo: pembentukan superholding akan membuat BUMN Indonesia semakian kuat dan kompetitif. Selama ini, BUMN selalu disokong suntikan dana dari poemerintah melalui Penyertaan Modal Negara [PMN]. Pemerintah, kata Joko Widodo, tidak ingin BUMN selamanya dibiayai negara. Tanpa holding, lanjutnya, BUMN akan selalu disubsidi pemerintah setiap tahun.
Sejurus dengan itu, keran investasi asing yang dibuka lebar, menurut Joko Widodo, memberi efek positif bagi BUMN. Karena, BUMN akan dipaksa mampu bersaing secara ketat dan berpikir ke depan.
Ia mencontohkan, pada tahun 1975, BUMN di bidang perbankan, seperti BNI dan BRI, relatif tidak memiliki saingan dari perbankan asing. Akibatnya, pelayanan dan sumber daya manusia yang dihasilkan terbatas karena tak punya saingan. Kini, setelah era persaingan dan investasi asing, justru bank BUMN seperti BNI, BRI, dan Bank Mandiri meraup keuntungan melebihi swasta.
Begitu pula dengan Pertamina pada periode 1970 hingga 1990. Pada masa itu, stasiun pengisian bahan bakar umum milik Pertamina sangat kumuh dan apa adanya. Tapi, sejak investasi asing dibuka, menurut Joko, mau tidak mau Pertamina akhirnya membenahi pelayanan dan infrastrukturnya. Ia menyebut itu sebagai bentuk psikologi masyarakat Indonesia.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, keuntungan BUMN nantinya berdasarkan setiap perusahaan, tidak lagi secara total. Bahkan keuntungannya atau manfaatnya bisa didefinisikan untuk siapa, kapan, dan untuk apa. Perusahaan tidak akan dilebur, hanya dibentuk sebuah holding sebagai induk, dengan menciptakan suatu nilai yang bisa dikelola dalam bentuk holding.
Seperti halnya program pengampunan pajak yang dibuat pemerintahan sekarang, pembentukan superholding BUMN itu diragukan keberhasilannya oleh banyak pihak. Bahkan, ada yang menilai, program itu bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 atau sistem ekonomi Pancasila, yang terutama bersendi pada sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apalagi, masih ada juga BUMN yang berbentuk perusahaan umum (perum), yang tujuan utamanya bukan mencari keuntungan sebagaimana perusahaan perseroan, seperti termaktub dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Tambahan pula, menurut Guru Besar Ekonomi InstitutPertanian Bogor, Didik J. Racbini, pembentukan superholding BUMN bukanlah langkah sederhana. Setidaknya, kata Didik dalam diskusi terbatas di kantor Koran Suluh Indonesia pada awal September 2016 lalu, ada tiga syarat yang perlu dipertimbangkan untuk membentuk superholding atau super-induk BUMN. Pertama: fondasi bisnis. Dari jumlah BUMN yang lebih dari seratus hanya beberapa yang bisa disebut berhasil, antara lain perbankan. “Perbankan termasuk yang relatif berhasil, konsolidasinya cukup memberikan fondasi, walaupun masih menciptakan cost yang masih tinggi, bunga yang tinggi. Itu pun setelah jungkir balik, dipelototi,” ungkap ekonom yang pernah menjadi anggota Komisi VI DPR, yang antara lain membidangi BUMN, ini.
Fondasi bisnis BUMN dan asetnya, tambahnya,juga beragam sehingga tidak mungkin dilebur begitu saja. Belum lagi ada jenis BUMN yang tujuan utamanya melaksanakan fungsi sosial, antara lain PT KAI dan Pelni, yang memang mendatangkan manfaat besar bagi masyarakat.
“Jadi tidak bisa dipaksakan.Karena, ada yang siap secara bisnis, ada yang tidak,” kata Didik.
Fondasi kedua yang harus disiapkan, lanjut Didik, adalah fondasi politik. Karena, BUMN Indonesia bertemali dengan politik. Karena itu, sebelum dibentuk superholdingBUMN, fondasi politiknya harus ditinjau dulu, apakah bisa menjadi landasan untuk menggerakkan roda bisnis BUMN. Kalau tidak sejalan, fondasi politiknya perlu diubah. “Kalau tidak diubah, BUMN akan sulit dijadikan entitas bisnis, karena fondasi politiknya bisa merecoki,” katanya.
Yang ketiga adalah fondasi historis, termasuk di dalam aspek sumber daya manusia dan teknologi. Karena, menurut Didik, kultur BUMN itu berbeda-beda sehingga tidak bisa langsung disamakan. “Dalam BUMN perkebunan, misalnya, masih hidup kultur feodal, yang merupakan warisan penjajah Belanda,” tuturnya. Begitu pula dengan sumber daya manusia dan teknologi yang digunakan, masih belum merata kualitas dan kemampuannya.Belum lagi harus membereskan masalah lain yang begitu banyak di BUMN. “Jadi, memang, perlu waktu yang relatif lama untuk mempersiapkannya,” ujar Didik.
Pertimbangan yang matang memang diperlukan. Karena, jika ingin cepat-cepat tanpa dimatangkan lebih dulu, itu justru akan bisa merusak kerja BUMN. Peringatan ini pernah disampaikan Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati pada akhir Juli 2016 lalu. “Kalau holding itu didefinisikan atau diterjemahkan hanya sebagai menggabungkan BUMN tanpa pertimbangan bisnis yang matang, ini justru akan merusak kerja BUMN,” kata Enny.
Ekonomosenior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, malah mengatakan terang-terangan konsep superholding BUMN yang diinginkan Rini Soemarno sangat tidak jelas. Bahkan, konsep holding-nya pun sama tidak jelasnya. Karena, belum ada rencana induknya. “Jangan tiap hari rencananya berubah terus. Ngeri saya kalau begini jalannya,” ujar Faisal, awal Agustus 2016.
Ia mencontohkan soal rencana akuisisi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk oleh PT Pertamina (Persero). Menurut Faisal, PGN yang sudah masuk bursam relatif lebih terbuka, transparan, dan bisa diawasi, ketimbang Pertamina yang pada masa lalu memiliki catatan kelam terindikasi mafia migas. Karena itu, dirinya merasa aneh jika PGN harus diakuisis Pertamina, walay anak usaha Pertamina, Petral, sudah dilikuidasi.“Sekarang governance-nya bagus mana, PGN atau Pertamina? Di Pertamina ada mafia migas dan belum go public. Ya, kita tidak tahu, ya. Tetapi, PGN kan lebih susah dijarah karena sudah go public. Ini kan ada logika yang tidak jelas,” ungkap Faisal, 6 Agustus 2016.Jika tujuannya adalah sinergi BUMN energi, katanya lagi, seharusnya Rini Soemarno tinggal mengeluarkan regulasi aturan main industri gas. Karena, kedua BUMN itu sudah memiliki infrastruktur gas masing-masing.
Sebelumnya, ekonom Dradjad H. Wibowo juga mengungkapkan, rencana akuisisi PGN oleh PT Pertamina, yang diselimuti dengan nama holding energi, perlu ditinjau ulang karena akan membawa efek negatif terhadap bisnis minya dan gas di Tanah Air.Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan Badan Intelijen Negara itu mengatakan, rencana merger dan akuisisi biasanya dilakukan ketika harga sedang jatuh. “Ketika harga jatuh, banyak pemain yang mengalami kesulitan likuiditas dan atau solvabilitas dengan skala raksasa. Merger dan akuisisi mau tidak mau yang menjadi salah satu solusi utama,” kata Dradjad, 19 Juli 2016.
Memang, sejak 2014, harga minyak dan gas turun terus. Kendati begitu, skema merger dan akuisisi justru berkurang. Karena, perusahaan minyak dan gas harus memastikan, apakah skema tersebut akan menghasilkan sinergi operasional yang dapat menekan biaya dengan signifikan.“Namun, saat ini, skema terbaik dan manteranya adalah efisiensi dan efisiensi. Karena, jatuhnya harga sudah tidak kira-kira lagi besarnya, sekitar separo dari harga semula. Dengan perkembangan itu, rencana pemerintah menggabung Pertamina dan PGN sebaiknya dikaji ulang dengan cermat,” ujar Dradjat. Karena, lanjutnya, sektor minyak dan gas adalah sektor yang sangat padat modal sehingga sebagian besar investasi eksplorasi dan eksploitasi dibiayai oleh utang ataupun penempatan dana dari pihak ketiga.
Alasan klasik dari merger dan akuisisi, yaitu adanya kesulitan likuiditas atau solvabilitas, kata Dradjat lagi, tidak berlaku dalam kasus Pertamina dan PGN. Sebagai target, PGN justru bagus likuiditas dan solvabilitasnya.
Selain itu, belum terdapat kajian yang meyakinkan bahwa penggabungan Pertamina dengan PGN akan memberikan sinergi operasional yang menghasilkan efisiensi. Juga, merger besar yang terjadi akhir-akhir ini lebih dipicu keinginan meningkatkan efisien dan memangkas biaya dalam salah satu subsektor, minyak saja atau gas saja.“Bukan menggabungkan minyak dan gas. Contohnya merger antara Shell dan BG Group. Motivasi utama adalah pemangkasan biaya dalam pengembangan ladang gas di Australia,” tutur Dradjat.
Soal rencana konsolidasi perbankan syariah juga membuat banyak pihak heran, termasuk Faisal Basri. Ia heran, mengapahanya perbankan syariah yang akan dikonsolidasikan. Padahal, market share perbankan syariah hanya dua persen dari total pasar perbankan.“Yang harusnya konsolidasi itu Mandiri dan BNI. Kalau digabung keduanya, itu akan menjadi besar, keren,” tutur Faisal. [Kris Ginting, Purwadi Sadim]