Koran Sulindo – Rempah yang tak bakalan tumbuh di tanah Eropa adalah komoditas mewah bernilai tinggi yang sangat dicari di pasar Eropa.

Gara-gara rempah pula, orang-orang dari benua biru itu melakukan riset campur nekat ketika membuat kapal-kapal besar yang akan digunakan untuk mengarungi samudera luas mencari sumbernya.

Selama ini yang mereka tahu rempah dibawa orang-orang Arab yang menutup mulutnya rapat-rapat dan membumbui dengan cerita-cerita fantastis tentang asal muasalnya. Mereka hanya tahu, rempah itu datang dari ‘Hindia’.

Di masa lalu, rempah-rempah tak melulu digunakan untuk mengawetkan makanan. Komoditas itu dianggap terlalu mahal untuk hanya menjadi bahan pengawet makanan apalagi di masa itu orang-orang Eropa sudah mengawetkan daging penggaraman atau pengasapan.

Dalam skala kecil, perdagangan Timur dan Barat sudah terjalin sejak era Yunani-Roma. Orang Eropa mengalami gegar budaya semenjak Perang Salib.

Mereka segera terpesona dengan angka Arab yang dianggapnya sangat fenomenal bagi sistem pembukan dan pengorganisasi kapital.

Selain takjub dengan ilmu astronomi dan kelautan, hal lain yang paling mempengaruhi orang Eropa adalah kemewahan dan kemegahan istana-istana di Arab.

Mereka mulai meniru singgasana, kain sutra, beludru hingga taffeta dan damask yang menjadi ornamen sehari-hari di Arab. Mereka juga terkagum-kagun dengan bumbu ‘oriental’ yang terbuat dari rempah-rempah.

Selain karena cita rasanya dan asal-usul yang kabur serta misterius, orang Eropa selalu mengasosiasikan rempah-rempah dengan negeri antah berantah dan bahkan dianggap berhubungan dengan surga.

Ini  bisa dibuktikan dari tulisan-tulisan abad pertengahan yang selalu menggambarkan taman-taman para santo atau para kekasih berbau cengkeh, kayumanis, pala, atau jahe.

Dengan orang-orang Islam yang mendominasi Timur Tengah hingga Persia, saudagar Arab mengantongi untung besar sebagai makelar rempah di abad pertengahan dengan membeli dari pelabuhan-pelabuhan dari India, Selat Malaka, hingga Jawa dan Maluku.

Mereka menjual kepada rempah-rempah itu pada pedagang Venesia dan Genoa yang datang ke Aleksandria dan Gaza. Mereka inilah yang sejak awal millenium pertama memonopoli perdagangan kayumanis, pala, cengkeh dan merica di pasar Eropa. Sama seperti saudagar Arab, pedagang Venesia dan Genoa juga menangguk untung besar dari perdagangan komoditas ini.

Di Eropa, rempah dianggap sebagai simbol status kelas bangsawan. Kekayaan bangsawan seringkali dilihat dari seberapa banyak mereka menyediakan makanan mahal saat pesta yang diukur dari makin banyak penggunaan rempah.

Tak jarang ditemui, rempah yang menjadi simbol status sosial itu hanya dipamerkan untuk pajangan dibanding dikonsumsi sendiri. Dalam sebuah pesta, umumnya rempah bakal diedarkan untuk para tamu dengan baki perak dan emas untuk dibawa pulang.

Dianggap sebagai layaknya barang berharga, rempah disimpan layaknya permata dan seringkali digunakan sebagai alat pembayaran karena harganya sama dengan emas.

Sebuah catatan dari dari abad pertengahan menyebut ketika dikunjungi Raja Skotlandia di Inggris, Raja Richard I harus menyediakan 2 pon merica dan 4 pon kayumanis sebagai tanda keramahtamahan.

Monopoli pedagang Arab berakhir ketika Kekaisaran Ottoman menguasai Mesir dan Turki sekaligus menutup perdagangan rempah. Rempah menghilang dari pasar Eropa dan memicu upaya-upaya penjelajahan orang Portugis dan Spanyol untuk menemukan sumber rempah. Pertemuan mereka dengan penghasil rempah itulah yang memicu kolonialime di Asia dan Afrika.[Teguh Nugroho]