Koran Sulindo – Pemerintah kerap menjadi sorotan lantaran kurang peduli terhadap nasib buruh migran. Padahal, kontribusi mereka terhadap negeri tak perlu diragukan lagi. Pemerintah sesungguhnya sudah sepantasnya berterima kasih atau setidaknya meningkatkan kepeduliannya terhadap nasib buruh migran kita di berbagai negara. Mengapa?
Pasalnya, derasnya remitansi buruh migran menjadi bukti defisit neraca berjalan mampu ditahan. Maka, gelar “Pahlawan Devisa” seharusnya bukan pemanis bibir atau sekadar basa-basi. Remitansi buruh migran yang termasuk dalam pendapatan sekunder sepanjang kuartal (tiga bulan) II mencapai surplus US$ 1,63 miliar.
Dalam neraca berjalan terdapat 4 komponen yaitu barang, jasa, pendapatan primer dan pendapatan sekunder. Jika dibandingkan, surplus pendapatan sekunder jauh lebih tinggi ketimbang pos barang yang surplus hanya US$ 289 juta; sedangkan pendapatan primer mengalami defisit US$ 1,79 miliar; dan pos jasa defisit US$ 8,16 miliar.
Tingginya surplus pendapatan sekunder itu umumnya karena derasnya remitansi dari buruh migran. Sepanjang kuartal II penerimaan remitansi dari buruh migran mencapai US$ 2,81 miliar, lebih tinggi dibanding posisi kuartal I yang mencapai US$ 2,64 miliar. Setidaknya sejak kuartal I 2016, pendapatan remitansi tidak pernah sebesar itu.
Berdasarkan negaranya, buruh migran yang bekerja di kawasan Asia Pasifik menjadi penyumbang remitansi terbesar yaitu senilai US$ 1,64 miliar. Kemudian disusul kawasan Timur Tengah dan Afrika yang sebesar US$ 1,11 miliar. Data menunjukkan hingga kuartal II jumlah buruh migran mencapai 3,5 juta.
Merujuk kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sekitar 69,6% buruh migran yang bekerja di Asia Pasifik meliputi negara Malaysia, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sisanya atau 30,1% bekerja di Timur Tengah dan Afrika, dengan porsi terbesar berada di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yordania.
Berdasarkan fakta ini, jika tidak ada remitansi dari buruh migran bisa dipastikan defisit neraca berjalan tidak akan mampu dibendung. Nilai tukar rupiah akan lebih anjlok dan terpuruk. Terlebih defisit neraca berjalan Indonesia pada kuartal II tahun ini mencapai 3,04% dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, pada kuartal I defisitnya hanya 2,21% dari PDB. [KRG]