Dalam industri film, remake bukanlah hal baru. Berbagai negara sering mengadaptasi karya populer dari luar negeri, baik dari film, serial, maupun webtoon, untuk disesuaikan dengan budaya dan selera penonton lokal. Namun, ada satu tantangan besar yang selalu muncul yaitu ekspektasi penggemar.
Belakangan ini, salah satu remake Indonesia, A Business Proposal, yang diadaptasi dari webtoon populer Korea dan sebelumnya telah diangkat menjadi serial drama Korea, menuai kritik. Salah satu kontroversi utama berpusat pada Abidzar, pemeran utama film ini. Ia sempat mendapat hujatan setelah mengaku tidak menonton drama A Business Proposal secara penuh dan hanya menonton satu episode sebelum memutuskan untuk membangun karakternya sendiri.
Keputusan ini memicu kekecewaan di kalangan penggemar versi asli. Banyak yang merasa karakter dalam versi Indonesia tidak memiliki esensi yang sama dengan yang mereka kenal dan cintai. Kritik semakin tajam ketika warganet menilai Abidzar tidak cocok memerankan sosok CEO tampan dan berkarisma seperti Kang Tae Moo. Perbandingan fisik antara Abidzar dan pemeran asli pun menjadi bahan perdebatan di media sosial.
Menanggapi gelombang kritik, Abidzar menyatakan bahwa ia merasa menjadi korban rasisme dan mengungkapkan kekecewaannya melalui Instagram Story. Pernyataannya yang menyebut bahwa netizen yang menghujatnya tidak akan diundang ke gala premiere semakin memperburuk citranya di mata publik. Banyak yang menilai bahwa sikapnya menunjukkan ketidakpedulian terhadap penonton, yang sebenarnya memiliki peran besar dalam menentukan kesuksesan film.
Kontroversi demi kontroversi membuat seruan boikot terhadap A Business Proposal semakin menggema. Warganet menilai Abidzar kurang menghormati karya asli serta tidak menunjukkan profesionalisme dalam proyek film ini. Jumlah penonton film ini pun terbilang rendah, hanya sekitar 6.900 orang di hari pertama penayangan. Sementara itu, rating film di IMDb hanya mencapai 2/10. Falcon Pictures, rumah produksi A Business Proposal Indonesia, akhirnya mengunggah surat permintaan maaf, yang kemudian diikuti dengan pernyataan serupa dari Abidzar di media sosialnya.
Ketika sebuah film atau serial diadaptasi, selalu ada dilema antara memberikan kebebasan kreatif atau tetap setia pada sumber asli. Beberapa sutradara dan aktor memilih untuk mengambil pendekatan baru agar remake terasa lebih segar dan relevan bagi penonton lokal. Namun, pendekatan ini sering kali bertentangan dengan harapan penggemar yang sudah memiliki gambaran kuat tentang karakter dan cerita aslinya.
Di Indonesia, remake dari film Korea cukup populer. Salah satu contoh sukses adalah Miracle in Cell No. 7 versi Indonesia, yang berhasil menarik banyak penonton meskipun tetap dibandingkan dengan versi aslinya. Namun, tidak semua remake mendapat sambutan positif. Ketika pemilihan pemeran dianggap tidak sesuai atau perubahan cerita terlalu jauh dari versi asli, penggemar sering kali merasa dikhianati.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Remake Hollywood dari film Asia, seperti The Eye yang diadaptasi dari film horor Hong Kong, juga mendapat kritik karena dianggap gagal menangkap nuansa asli yang membuat versi orisinalnya begitu kuat.
Bagaimana dengan Film Indonesia yang Di-remake oleh Luar Negeri?
Sebaliknya, beberapa film Indonesia juga pernah diadaptasi oleh industri film luar negeri. Salah satu yang paling terkenal adalah The Raid, film aksi garapan Gareth Evans yang menarik perhatian Hollywood. Versi remake-nya sempat direncanakan oleh sutradara Joe Carnahan, meskipun hingga kini masih dalam tahap pengembangan.
The Raid adalah contoh bagaimana sebuah film Indonesia bisa sukses secara internasional dan cukup menarik untuk dibuat ulang oleh industri film lain. Namun, seperti halnya remake pada umumnya, versi Hollywood dari film ini tetap menghadapi tantangan besar dalam memenuhi ekspektasi penggemar film aslinya.
Apakah Remake Harus Selalu Setia pada Versi Asli?
Adaptasi dan remake selalu menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka bisa membawa cerita ke audiens yang lebih luas. Di sisi lain, ada risiko besar jika penggemar tidak puas dengan hasil akhirnya, terutama dalam hal pemilihan pemeran dan perubahan alur cerita.
Untuk menciptakan remake yang sukses, keseimbangan antara menghormati materi asli dan memberikan sentuhan baru yang relevan sangatlah penting. Kreativitas tentu diperlukan, tetapi memahami esensi yang membuat versi asli begitu dicintai juga tidak boleh diabaikan. Pada akhirnya, remake yang baik bukan hanya sekadar menyalin cerita, tetapi juga harus mampu menghadirkan pengalaman sinematik yang tetap beresonansi dengan penonton. [UN]