Koran Sulindo – Ternyata tak sedikit hakim yang dinilai Komisi Yudisial (KY) telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sepanjang tahun 2018 ini saja, Komisi Yudisial (KY) merekomendasikan kepada Mahkamah Agung (MA) agar menjatuhkan sanksi ke 63 orang hakim. Jumlah itu pun sudah merupakan hasil penyaringan dari 1.719 laporan masyarakat yang masuk ke KY.
Laporan terbanyak merupakan aduan perkara perdata, yakni sebanyak 782 pelaporan. Tempat kedua ditempati kasus pidana, sebanyak 506 pelaporan. Yang terakhir adalah kasus tata usaha negara, 120 pelaporan.
Penyaringannya dilakukan dalam sidang pleno, untuk membuktikan adanya pelanggaran kode etik hakim. “Dari situ ada 39 putusan pelanggaran yang melibatkan 63 hakim,” kata Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus di Gedung KY, Jakarta, Senin (31/12).
Perinciannya: sanksi ringan untuk 40 hakim, sanksi sedang untuk 11 hakim, dan sanksi berat untuk 12 hakim. Sanksinya juga variatif: mulai dari teguran ringan, teguran tertulis, hingga pemberhentian tidak hormat. Penyebab rekomendasi sanksi tersebut dikeluarkan meliputi kasus tidak melakukan tugas secara profesional; tidak menjaga martabatnya secara profesional; salah mengetik putusan; tidak berlaku adil, dan; tersandung perkara perselingkuhan.
“Untuk sanksi ringan, KY memberikan teguran ringan terhadap 9 orang hakim, teguran tertulis terhadap 18 orang hakim, dan pernyataan tidak puas secara tertulis terhadap 13 hakim,” kata Jaja.
Sanksi sedang berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun terhadap 1 orang hakim; nonpalu paling lama enam bulan terhadap 7 hakim, dan; penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun terhadap 3 hakim. Akan halnya untuk sanksi berat, KY memberikan sanksi nonpalu selama tujuh bulan terhadap 1 orang hakim; nonpalu selama dua tahun terhadap 2 hakim; penurunan kenaikan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun terhadap 3 hakim, dan; pemberhentian tetap tidak dengan hormat terhadap 6 orang hakim.
Yang paling banyak dijatuhi sanksi adalah hakim yang berasal dari Pengadilan Tinggi Jayapura (6 orang). Lalu ada yang dari Pengadilan Negeri Ponorogo, PN Balikpapan, PN Rantau Prapat, PN Tais, PN Malang, PN Muara Bungo, PN Mempawah, PN Lubuk Pakam, dan PA Surakarta, masing-masing 3 orang hakim. KY juga merekomendasikan sanksi kepada 2 hakim di Mahkamah Agung.
Masalahnya, MA sering tidak melaksanakan sebagian usul sanksi yang disampaikan KY. Adanya tumpang tindih penanganan tugas pengawasan antara KY dan MA juga menjadi masalah tersendiri.
Dari 39 laporan yang masuk, MA baru merespons 18 laporan KY. Menurut pihak MA, kata Jaja, 10 rekomendasi dinyatakan tidak bisa ditindaklanjuti; 3 rekomendasi masuk sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH), dan; 3 lainnya masuk persidangan biasa. “Mungkin 2 rekomendasi lagi sedang diproses,” ujar Jaja.
Jaja Ahmad juga mengungkapkan, KY sering tidak memperoleh akses informasi atau data yang dibutuhkan saat menangani laporan masyarakat. Karena, MA atau badan peradilan di bawahnya tidak bersedia memberikan. Hakim terlapor dan saksi dari pihak pengadilan juga tidak memenuhi panggilan KY.
Untuk pemantauan persidangan, KY menerima 581 permohonan pemantauan persidangan selama tahun 2018, yaitu 517 permohonan masyarakat dan 64 inisiatif KY. Namun, dari jumlah itu, KY hanya dapat melakukan pemantauan terhadap 278 permohonan.
Sepuluh provinsi asal permohonan pemantauan persidangan ke KY secara berturut-turut adalah Provinsi DKI Jakarta (126 permohonan); Jawa Timur (79); Jawa Tengah (49); Jawa Barat (43); Sumatera Utara (42); Sumatera Selatan (36); Riau (32); Sulawesi Utara (20); Sulawesi Selatan (20), dan; Nusa Tenggara Timur (19 permohonan). [PUR]