Koran Sulindo – Indonesia telah lama menjadi salah satu negara pemberi subsidi listrik terbesar di dunia. Tarif tenaga listrik ditetapkan pada tingkat yang rendah namun dengan kondisi pemerintah menyalurkan dana kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menutup kerugiannya. Pada 2012, subsidi listrik membebani pemerintah sebesar $10 miliar.
Dalam sebuah program reformasi yang ambisius, sejak 2013 Indonesia telah mengambil langkah-langkah penting untuk mengurangi beban subsidi ini. Reformasi ini termasuk menaikkan tarif listrik pada tingkat yang lebih mencerminkan biaya produksi, dengan pengecualian untuk konsumen yang menggunakan sambungan daya listrik kecil, termasuk golongan miskin. Subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) juga telah dikurangi.
Dalam penelitian baru yang dimuat dalam Energy Policy, saya dan Sandra Kurniawati menemukan bahwa reformasi subsidi listrik di Indonesia telah mendorong peningkatan efisiensi penggunaan listrik.
Jika Murah, Buat Apa Berhemat?
Idealnya konsumen harus membayar harga listrik yang setidaknya menutup biaya produksi. Jika listrik dijual dengan harga di bawah biaya produksi, konsumen akan cenderung boros menggunakan listrik. Mungkin lampu akan dibiarkan menyala padahal tidak diperlukan. Penggantian perangkat elektronik dengan perangkat yang lebih efisien mungkin saja ditunda-tunda. Mematikan AC di ruang yang tak terpakai? Nanti sajalah.
Menaikkan tarif listrik ke tingkat yang mencerminkan biaya produksi mengisyaratkan bahwa listrik adalah komoditas berharga.
Penelitian Kami
Kami memperkirakan efek perubahan tarif listrik terhadap penggunaan listrik di Indonesia dengan menggunakan data pemakaian listrik dan tarif tenaga listrik dari tahun 1992 hingga 2015 untuk semua kelompok konsumen dan wilayah.
Perkiraan kami menunjukkan bahwa pada tahun 2015 pemangkasan subsidi listrik mengurangi pemakaian listrik tahunan sekitar 7% dibandingkan dengan skenario tanpa reformasi.
Pemakaian listrik terus meningkat, tetapi peningkatannya lebih rendah dibandingkan dengan kondisi jika tarif listrik tetap rendah seperti sebelumnya.
Tingkat pemakaian listrik di Indonesia saat ini lebih rendah dari yang diperkirakan pemerintah. Terlalu tingginya perkiraan pemerintah mengenai kebutuhan listrik Indonesia juga disebabkan oleh asumsi yang kurang realistis mengenai tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Langkah Indonesia menuju penggunaan listrik yang lebih efisien ini telah menyurutkan tekanan terhadap pemerintah untuk membangun pembangkit listrik baru. Bahkan, beberapa rencana untuk membangun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dihentikan seluruhnya. Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada infrastruktur yang mengandalkan bahan bakar fosil. Terdapat ruang fiskal yang dapat digunakan untuk prioritas pembangunan lainnya.
Kami memperkirakan bahwa pencabutan sepenuhnya subsidi listrik di Indonesia akan mendorong penghematan tambahan sekitar 6% dalam pemakaian listrik (lihat bagan).
Lebih Tepat Sasaran
Secara historis, subsidi listrik di Indonesia merupakan salah satu bentuk belanja yang regresif.
Selama fase terakhir pemangkasan subsidi pada tahun 2017, pemerintah mencabut subsidi listrik untuk rumah tangga yang menggunakan sambungan daya 900 volt-ampere (VA), dengan pengecualian rumah tangga miskin. Subsidi untuk rumah tangga dengan sambungan daya yang lebih besar sudah dicabut sebelumnya. Dengan kata lain, reformasi ini mendorong pemberian bantuan pemerintah bagi golongan miskin menjadi lebih tepat sasaran.
Indonesia juga telah menunjukkan kemajuan dalam menyasar masyarakat miskin untuk pemberian bantuan transfer tunai dan bantuan-bantuan lain bagi masyarakat yang paling membutuhkan.
Menjadi Contoh
Masyarakat internasional sudah berkomitmen untuk menghentikan secara bertahap pemberian subsidi bagi penggunaan bahan bakar fosil, termasuk dalam sektor listrik. Reformasi subsidi bahan bakar minyak dan listrik selama beberapa tahun terakhir menjadikan Indonesia terdepan dalam memenuhi komitmen penghapusan subsidi tersebut.
Pengalaman Indonesia memperlihatkan bahwa tidak mustahil untuk melakukan reformasi yang secara bersamaan pro-lingkungan hidup, mengurangi ketimpangan, dan baik untuk kesehatan fiskal.
Salah satu kunci kesuksesan Indonesia dalam melakukan reformasi subsidi energi adalah komunikasi yang cukup jelas mengenai manfaat dari pengurangan subsidi tersebut. Penekanan pada perlindungan bagi golongan miskin juga penting dalam upaya meningkatkan dukungan masyarakat.
Ke depan, Indonesia sangat berpeluang untuk sepenuhnya meninggalkan subsidi bahan bakar minyak dan listrik. Sebagai gantinya, Indonesia dapat mengalihkan subsidi energi ke bantuan sosial dalam bentuk lain bagi mereka yang membutuhkan. Hal itu tentu akan memberikan berbagai macam manfaat, termasuk bagi lingkungan hidup.
Sayangnya, belum lama ini diumumkan bahwa tarif listrik dan harga bahan bakar minyak tidak akan dinaikkan hingga akhir 2019, tahun pemilihan presiden. Subsidi bahan bakar minyak dan listrik diprediksikan akan mulai meningkat lagi. [Paul Burke, Crawford School of Public Policy, Australian National University].
Artikel ini disalin dari The Conversation Indonesia, di bawah lisensi Creative Commons.
Makalah lengkap penelitian bisa diunduh di situs ini.