Koran Sulindo – Kapolri baru hanya menawarkan reformasi kultural.
Sampai tiga kali Presiden Joko Widodo mengatakan hal sama pada awal Juli ini: Reformasi Polisi. Yang pertama pada upacara Hari Bhayangkara ke-70 pada 1 Juli, melalui pidato yang dibacakan Kapolri Badrodin Haiti. Kedua, pada sore harinya ketika berbuka puasa di Mabes Polri. Terakhir, ketika melantik Tito Karnavian menjadi Kapolri baru di Istana Negara pada 13 Juli.
Presiden Jokowi menyebut reformasi Polri adalah keniscayaan dan kunci menghadapi persaingan di masa depan.
Menurut presiden reformasi itu harus dilakukan dari hulu sampai hilir, mulai dari sistem rekruitmen sampai dengan pelayanan Polri pada masyarakat, mulai dari perubahan pola pikir sampai perubahan perilaku setiap anggota Polri. “Muaranya adalah perubahan sikap dan perilaku yang lebih profesional, lebih berintegritas, dan penuh tanggung jawab. Dengan cara itu, saya yakin kepercayaan rakyat kepada Polri akan semakin meningkat,” kata Presiden, seperti dikutip laman Sekretariat Presiden.
Sebenarnya sebelum Presiden Jokowo riwil meminta polisi mereformasi diri itu, Reformasi Polri sudah diperintahkan sejak masa reformasi 1998 dulu, bersama-sama dengan reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang setelah mereformasi diri mengubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Reformasi Angkatan bersenjata dinilai banyak pihak berhasil, sedangkan proses perubahan pada korps berseragam coklat itu tak terlihat.
Kegagalan reformasi Polri terlihat bahkan dalam hal yang kasat mata, yaitu cara mereka menangani kasus. Sebelumnya Polri adalah bagian dari ABRI dan instrumen kekuasaan, sehingga sifat militeristiknya sangat menonjol. Sifat militeristik ini hingga kini belum bisa dihilangkan. Polri belum mampu berperilaku sipil dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, terutama dalam memecahkan masalah kejahatan.
Komnas HAM menyatakan pada 2010 terdapat 1.369 buah pengaduan masyarakat tentang pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian. Angka itu tak berubah bahkan terus membesar dalam pantauan Setara Intitute pada 2015.
Pengaduan masyarakat terhadap pelanggaran HAM oleh polisi ini menduduki peringkat teratas diantara lembaga negara/pemerintahan yang lain. Masyarakat banyak mengeluhkan keberpihakan atau diskriminasi anggota Polri dalam menangani kasus-kasus hukum. Mereka dianggap berpihak kepada kalangan pengusaha atau orang yang memberinya uang dalam penanganan kasus-kasus hukum. Banyak anggota masyarakat yang juga menganggap anggota Polri melakukan pemerasan atau meminta uang kepada pihak yang terlibat kasus hukum.
Perilaku korup, dalam artian penyalahgunaan kekuasaan, juga masih melekat dalam tubuh Polri. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2006 yang dikeluarkan oleh TII menempatkan Polri diperingkat teratas dalam persepsi masyarakat tentang lembaga negara yang paling korup.
Hasil penelitian TII pada 2014 lalu juga masih meletakkan polisi di urutan atas.
Temuan-temuan Global Corruption Barometer (GCB) menunjukan 1 dari 10 orang di seluruh dunia harus membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik. Praktik suap secara khusus menyebar dalam interaksi dengan polisi, lembaga peradilan dan lembaga pelayanan perijinan. GCB menyatakan lembaga kepolisian adalah yang paling bermasalah dalam membayar suap.
Ada empat zona titik rawan korupsi di kepolisian. Pertama, zona pelayanan dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya; kedua zona kewenangan, khususnya dalam tugas selaku penegak hukum; ketiga zona fiskal atau anggaran, di mana pos belanja barang, khususnya persenjataan telah menjadi sasaran empuk pemburu ekonomi rente; keempat, zona manajemen personalia, khususnya saat rekruitmen, promosi, mutasi bahkan diklat untuk jabatan yang strategis.
Berbagai permasalahan diatas, hingga saat ini masih terus menjadi sisi kelam wajah Polri. Berbagai keberhasilan Polri dalam penegakkan hukum seperti pemberantasan terorisme dan mafia narkoba, tenggelam ditelan isu-isu korupsi, makelar kasus, dan kebrutalan polisi.
Presiden Jokowi mengungkapkan beberapa hal yang harus menjadi prioritas Polri untuk berbenah diri, yang tercermin dalam wajah pelayanan Polri kepada masyarakat.
“Tidak ada lagi pungutan, tidak ada lagi makelar kasus, tidak ada lagi diskriminasi dalam penegakan hukum maupun dalam perlindungan masyarakat. Selain itu, sebagai Bhayangkara negeri, yang tidak kalah penting ialah kemauan Polri, keikhlasan Polri, untuk menekan ego sektoral dan memperkuat kerja sama antar lembaga seperti dengan KPK dan dengan kejaksaan. Kejahatan hanya bisa diberantas kalau kita bersatu,” kata Presiden.
Jenderal Tito Karnavian, Kepala Kepolisian Republik Indonesia baru pilihan Jokowi, mengatakan akan fokus pada reformasi kultural di dalam instansi Polri. Selama 18 tahun terakhir upaya mereformasi Polri dinilainya belum maksimal sehingga kepercayaan publik tetap rendah.
“Reformasi ini akan fokus mengatasi budaya korupsi, hedonis, dan konsumtif,” kata Tito dalam uji kelayakan di DPR, 23 Juni lalu. Tito akan mengubah perilaku anggota Polri saat berhadapan dengan masyarakat.
Menurut Tito, reformasi kultural Polri berhubungan dengan anggaran. Proporsi anggaran saat ini menunjukkan Polri bukan institusi yang baik yaitu 62 persen dihabiskan untuk belanja pegawai, 28 persen belanja operasional, dan 10 persen belanja modal. Sebagian besar uang habis untuk gaji.
Saat ini terdapat sekitar 250.000 anggota Polri, namun hanya 24.000 anggota di antaranya yang memiliki rumah dinas. Artinya 70% anggota polisi tidak punya jaminan tempat tinggal.
Untuk menekan belanja pegawai, Tito mengaku akan menerapkan prinsip pengetatan rekrutmen, yaitu hanya akan mengganti anggota yang sudah pensiun.
Tito berharap tunjangan kinerja Polri bisa dinaikkan hingga 100 persen pada 2019. Selain itu, belanja operasional juga harus naik secara bertahap menjadi 40-45 persen.
Lembaga swadaaya masyarakat Imparsial menilai reformasi Polri terkesan berhenti di tengah jalan dan belum maksimal. Padahal reformasi Polri, bagian dari reformasi penegakan hukum dan sektor keamanan, adalah tuntutan reformasi yang bergulir 1998. Reformasi polisi yang berjalan hanya bersifat kosmetik belaka dan belum dilakukan secara lebih substansial dan lebih utuh
Menurut Imparsial, lahirnya UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI memang telah mendorong adanya perubahan khususnya terkait dengan pemisahan peran dan kedudukan TNI dan Polisi, serta penegasan tentang fungsi polisi sebagai bagian aparat penegak hukum. Namun hal itu tidak mengubah polisi menjadi profesional, tidak militeristik, dan tidak korup.
Imparsial menilai terjadinya berbagai kasus penyimpangan seperti brutalitas, dugaan keterlibatan dalam kasus-kasus korupsi, makelar kasus, keterlibatan dalam kasus pembalakan liar, dan skandal penyuapan adalah cerminan buruknya institusi dan kinerja aparat Kepolisian dalam penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan baik itu secara internal ataupun eksternal. Upaya penghukuman terhadap aparat yang menyimpang juga tidak tegas dan cenderung diskriminatif.
Tapi reformasi polri yang tersendat baangkali karena memang aparat Polri lebih keras kepala dibanding tentara. Kepala Biro Reformasi Birokrasi Polri Brigjen Pol. Naufal Yahya, mengatakan sosialisasi zona integritas antikorupsi terus digalakkan di internal lembaganya, tapi persoalan itu tetap masih menjadi debu bagi Polri di mata publik.
Pengamat kepolisian yang juga mantan polisi, Bambang Widodo Umar, mengatakan Polri telah gagal menjalankan reformasi diri. Perilaku aparat Polri menurutnya belum berubah dibandingkan sebelum reformasi.
Bagi Bambang, selain perubahan fisik yang terjadi seperti berdirinya gedung-gedung Polri yang megah, perubahan mental aparat Polri tak terjadi. [Didit Sidarta]