Ilustrasi/ntmcpolri.info

SETELAH berkali-kali ternoda, kini saatnya Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus mendobrak pintu besar untuk melakukan reformasi bagi instansi kecintaannya tersebut. Indeks kepercayaan publik kepada kepolisian jauh mengalami kemunduran setelah tahun lalu berhasil menjadi salah satu lembaga yang menuai banyak apresiasi.

Namun hantaman begitu keras terjadi ketika pada tanggal 8 Juli 2022 muncul kasus yang menjadikan semua sorotan mata tertuju kepada instansi kepolisian, yaitu kematian misterius seorang Brigadir J atau Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat. Tangisan dari sang ibu yang bahkan tidak diperbolehkan melihat jenazah anaknya sendiri membuat publik bertanya mengenai kejadian sebenarnya.

Kokohnya instansi kepolisian perlahan hancur tergerus akibat terungkapnya skenario yang dibuat langsung oleh Jenderal Bintang 2 Ferdy Sambo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Propam. Divisi yang seharusnya menjadi pengawas bagi para anggota kepolisian yang melanggar hukum justru terlibat suatu tindakan kriminal.

Mengerikannya, banyak anggota kepolisian yang ikut terlibat dalam kasus tersebut. Tidak tanggung-tanggung ada 83 anggota yang diperiksa karena diduga ikut ambil bagian. Dari pangkat paling rendah hingga seorang Brigjen pun ikut menutupi pembunuhan berencana tersebut. Loyalitas para anggota ini sangat luar biasa, entah itu sebatas perintah atau ikut andil dalam untuk menghalanginya proses hukum patut diacungi jempol. Sayangnya ini terjadi dalam kasus kriminal yang seharusnya tidak mereka lakukan sebagai personel lembaga penegakan hukum.

Beberapa hari lalu tepatnya pada Jumat 14 Oktober 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai memanggil seluruh jajaran Polri mulai dari para pejabat utama Mabes Polri, Kapolda, hingga Kapolres seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta. Pemanggilan bertujuan untuk memberikan pengarahan terkait rendahnya kepercayaan publik kepada institusi kepolisian. Jokowi juga mempercayai bahwa kasus Ferdy Sambo sebagai penyebab utamanya.

Bahkan Jokowi mendiksikan kondisi Polri saat ini sebagai jatuh dan terlentang pada indeks kepercayaan masyarakat. Ia mengatakan November tahun lalu polisi berhasil mendapatkan poin 80,2% meskipun Presiden tidak menjabarkan dari mana angka itu datang. Kita tidak bisa menutup mata bahwa sebelum kematian Brigadir J terkuak, opini masyarakat terhadap polisi tidak setinggi itu. Banyaknya tindakan kekerasan polisi kepada masyarakat sipil hingga kasus-kasus yang tidak selesai dari tindakan kriminal kecil hingga terbesar. Namun mungkin saja dengan membantu upaya vaksinasi kepada ke seluruh masyarakat Indonesia mampu mendongkrak nama Polri.

Dalam kesempatan yang sama, Jokowi juga mengkritisi mengenai gaya hidup para anggota kepolisian saat ini. Ia mengingatkan jajaran Polri untuk tidak memperlihatkan gaya hidup yang berlebihan agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial yang bisa menjadi sorotan tajam di masyarakat.

“Hati-hati, sehingga saya ingatkan yang namanya kapolres, wakapolres, yang namanya kapolda, yang namanya seluruh pejabat utama, perwira tinggi, mengerem total masalah gaya hidup. Jangan gagah-gagahan karena merasa punya mobil bagus atau motor gede yang bagus. Hati-hati. Hati-hati, saya ingatkan hati-hati,” ujar Jokowi.

Sebenarnya, hal ini bukan pertama seseorang mengkritisi gaya hidup para anggota kepolisian, pada rapat dengar pendapat bersama Kapolri, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir mengingatkan Kapolri bahwa perilaku dan gaya hidup khususnya personil Polri di daerah dinilai sangat berlebihan. Ia mengatakan bahwa para Polda hingga Polres sudah seperti raja kecil di daerah. Bahkan Adies ikut mengkritisi gaya para istri yang suka memperlihatkan tas-tas mewah mereka.

Beberapa waktu lalu di Twitter bahkan heboh soal pakaian atau outfit yang dikenakan oleh Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi yang memiliki kemeja seharga Rp7 juta hingga Brigjen Hendra yang juga sebagai tersangka obstruction of justice pada kasus terkait Ferdy Sambo mampu menyewa pesawat jet pribadi yang digunakannya untuk ke Jambi mendatangi rumah keluarga dari korban Brigadir J. Tahun lalu seorang Kapolres Labuhanbatu bahkan dicopot dari jabatannya karena sering pamer moge (motor gede) yang dimilikinya seharga 700-800 jutaan.

Mungkin nama-nama diatas hanya sebagian yang terungkap namun nyatanya gaya hidup mewah para anggota ini sangat berbanding terbalik dengan pendapatan atau kisaran gaji mereka. Dalam Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2019 Tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, gaji pokok terendah Polri adalah Rp1.643.500 dan yang tertinggi sebesar Rp5.930.800. Lalu bagaimana mereka bisa membeli barang-barang yang super mewah? Hal tersebut mungkin bisa dijawab dari kisaran besaran tunjangan yang didapat, namun perlu dipertanyakan tunjangan sebesar itu bisa menyewa private jet hingga membeli moge seharga ratusan juta dapat dari mana?

Listyo Sigit mempunyai beban berat dipundaknya, reformasi dalam tubuh kepolisian bukan hanya berbicara soal hukuman atau pemecatan, ada hal lebih besar yang harus dilakukan. Lembaga kepolisian sudah harus segera berbersih dan berbenah. Polri perlu pengawasan ketat dari lembaga eksternal ketika Propam (pengawasan internal) sendiri belum efektif. Meskipun ada Kompolnas yang diposisikan sebagai lembaga eksternal namun beberapa kali tidak memperlihatkan tajinya. Kepercayaan publik akan kembali jika kepolisian mampu memperlihatkan tanggung jawab dan moralitasnya dihadapan masyarakat luas bukan hanya soal gaya hidup tetapi juga tindakan apartnya ditengah masyarakat. [NS]