Ilustrasi/beritasatu.com

Setelah 20 tahun berdemokrasi partai politik malah menjauhi cita-cita reformasi. Perlu reformasi lagi?

Koran Sulindo – Megawati Soekarnoputri mengutip pidato bapaknya pada Jumat pagi yang sejuk April 2016 itu. Pidato Presiden Pertama Republik Indonesia Ir Soekarno di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 1960 itu sudah begitu populer dan banyak dikutip orang. Judulnya, “Membangun Tatanan Dunia Baru” (To Build The Word A New).

“Kami berusaha membangun suatu dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana kemanusiaan mencapai suatu kejayaannya yang penuh,” kata Megawati, dalam acara International Conference of Asian Political Parties (ICAPP), di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, tersebut.

Dalam konferensi partai politik se-Asia itu Megawati menekankan partai politik harus memiliki landasan untuk mensejahterakan rakyat.

“Kesejahteraan rakyat haruslah menjadi muara perjuangan seluruh partai politik, di belahan dunia manapun. Saya meyakini kesejahteraan rakyat tidak mungkin tercapai tanpa adanya kemerdekaan politik dan kemerdekaan ekonomi,” katanya.

Dalam era politik modern, keberadaan partai politik adalah suatu keniscayaan. “Partai adalah alat perjuangan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Melalui parpol, semua bisa melakukan pengorganisiran rakyat secara sistematis.”

Menurut Ketua Umum PDI Perjuangan itu, tujuan mendirikan dan membangun partai politik bukanlah semata-mata mengejar kekuasaan politik, meskipun semua memahami kekuasaan penting sebagai sarana untuk melapangkan perjuangan dalam mensejahterakan rakyat.

“Tugas dan tanggung jawab partai politik yang sesungguhnya adalah berjuang. Berjuang untuk membebaskan rakyat dan bangsa dari penjajahan dalam bentuk apa pun yang menyebabkan ketertindasan, kemiskinan dan kebodohan,” kata Megawati.

Inilah filosofi dan landasan historis berdirinya partai di belahan dunia ketiga dan negara pascakolonial, terutama di Asia, Afrika, dan di Amerika Latin. Partai bukan sekadar mesin elektoral tapi sebuah alat pembebasan.

Itulah motif dan orientasi otentik pendirian partai yang seharusnya selalu kita sadari, kita yakini, dan selalu kita pegang teguh,” kata Presiden RI Ke-5 tersebut.

Setelah 20 Tahun Berdemokrasi

PDI Perjuangan mungkin satu-satunya partai politik yang selama 20 tahun terakhir terus-menerus berupaya membenahi organisasi partainya. Partai itu sejak 1993 jatuh bangun, terpuruk, bangkit lagi, terpuruk, bangkit lagi; berada di pemerintahan, di luar pemerintahan, dan akhirnya kembali memperoleh kepercayaan rakyat menjadi pemenang Pemilu Legislatif pada 2014 lalu.

Fungsi utama partai politik dalam sistem yang demokratis adalah ikut serta dalam pemilihan umum. Jika kekuasaan diperoleh, ia berperan sebagai pembuat keputusan politik. Selain itu, partai politik juga melaksanakan sejumlah fungsi lainnya, antara lain: sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, kaderisasi, dan representasi konstituen.

Tapi selain PDI Perjuangan, tampaknya hanya sedikit partai di Indonesia yang sudah mengerjakan pekerjaan rumahnya. Nyaris minim partai yang menjadikan rakyat sebagai cakrawati perjuangan, sebagai sumber sekaligus muara perjuangan partai.

Lantas apa yang telah, sedang, dan akan dikerjakan partai politik setelah demokrasi di tanah air setelah terbebaskan dari kungkungan selama 33 tahun lebih di masa rezim Orde Soeharto?

Kebebasan berpolitik dan berekspresi baru dihirup lagi mulai masa reformasi yang ditandai dengan berhentinya Presiden Soeharto dari kekuasaan pada 21 Mei 1998 pagi.

Masalahnya kemudian adalah, setelah kebebasan politik dan demokrasi itu dicapai, negeri ini justru menghadapi samudera permasalahan baru. Kekerasan, primordialisme, dan komununalisme tumbuh menguat; ketimpangan sosial makin melebar; keadilan sosial makin menjauh. Demokrasi menghadapi defisit besar.

Demokrasi tampak sepertinya ada, tapi kekerasan dengan simbol-simbol agama juga tampak digdaya. Ada kebebasan tapi kurang kesadaran bersama, dan makin hilangnya sikap kewarganegaraan dalam dunia sehari-hari perpolitikan ibu pertiwi.

Bung Karno sejak awal 1950-an telah mengingatkan bahaya 5 krisis yang bisa mematikan. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Dan kelima, krisis kewibawaan otoritas. Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang membayangi kehidupan negeri kita hari-hari ini.

Menjauh dari Cita-Cita Reformasi

Semenjak cita-cita reformasi dicanangkan 20 tahun lalu, nyaris belum ada perbaikan nyata kelembagaan-kelembagaan dan sistem demokrasi di sini.

Hasil pemilu di Indonesia setelah itu, Pemilu 1999 dan 2004 dan konstelasi partai politik yang terbentuk sebagai hasil pemilu itu memiliki kesamaan dengan demokrasi parlementer pertama di Indonesia pada 1950-an.

Dinamika partai politik tersebut masih memiliki ciri aliran (‘streams’), yaitu beberapa partai politik yang besar masih mempunyai basis massa dan mengakar di wilayah-wilayah tertentu. Namun politik aliran telah kehilangan sebagian besar makna pentingnya dan kemudian muncul kembali dalam bentuk yang berbeda sejak jatuhnya Soeharto.

Andreas Ufen, dalam makalah kerjanya, “Partai Politik di Indonesia Pasca Suharto: Antara Politik Aliran dan Filipinanisasi” (diterbitkan German Institute of Global and Area Studies GIGA/Leibniz-Institut für Globale und Regionale Studien pada Desember 2006), berargumen partai masih memiliki akar sosial, sehingga suatu pendekatan aliran dengan modifikasi tertentu masih bisa dipakai sebagai alat untuk analisa.

“Tetapi, nyata juga terlihat adanya pelemahan aliran (dealiranisasi) dan ‘Filipinanisasi’ yang terkait; ini ditandai dengan naiknya partai presidensial dan presidensialisasi partai, berkembangnya otoritarianisme dalam tubuh partai, meluasnya ‘politik uang’, dan kurangnya platform politik yang berarti, melemahnya kesetiaan terhadap partai, kartel-kartel dengan koalisi yang berganti-ganti serta munculnya elit-elit lokal baru,” tulis Ufen.

Sementara Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan perilaku dan budaya politik dan kepemiluan gagal merefleksikan semangat reformasi.

“Catatan kami reformasi sistem kepartaian kita belum terhubung atau belum memiliki konektivitas yang optimal dengan reformasi sistem kepemiluan dan juga sistem pemerintahan,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Angraini, Mei lalu.

Kondisi lebih buruk terjadi pada reformasi internal partai politik yang dianggapnya masih menyisakan sekurang-kurangnya dua masalah besar. Pertama, akuntabilitas keuangan dan pengelolaan keuangan di internal partai politik. Kedua terkait dengan rekrutmen politik yang demokratis. Dua hal yang saling berhubungan satu sama lain yang pada akhirnya bisa memicu disfungsi partai politik.

Hambatan terbesar adalah menguatnya praktik politik transaksional mulai dari jual beli suara, mahar politik atau jual beli tiket pencalonan, hingga transaksi suap pada penyelenggara maupun hakim Pemilu.

Namun di sisi lain, setelah “bebas’ dalam 20 tahun terakhir, terasa makin lama makin sulit mendirikan partai politik, meskipun sejak reformasi undang-undang Parpol sudah direvisi sebanyak 4 kali.

Parahnya, makin direvisi sistem kepartaian di Indonesia justru makin bertambah buruk.

“Parpol itu bukan hanya mahal tapi juga eksklusif hanya bisa diakses orang-orang tertentu untuk kemudian mendapatkan kekuasaan melalui satu-satunya jalan kekuasaan yaitu, pemilu,” kata peneliti Perludem, Usep Hasan.

Sulitnya persyaratan mendirikan parpol bakal berdampak pada kualitas-kualitas parpol karena parpol merupakan ‘penyuplai’ pemimpin-pemimpin di daerah. Akhirnya karena kader-kadernya buruk, dan satu-satunya jalan yang paling mudah mencalonkan kepala daerah dari luar paprol, maka kalau ada kepala daerah yang bagus pasti berasal dari luar parpol.

Dengan semua permasalahan ini tugas terbesar dan utama adalah perbaikan institusi parpol dari hulu hingga hilir. Harus ada reformasi lagi agar parpol memiliki sumber dana yang jelas, transparan, dan akuntabel. Selain reformasi inbternal di masing-masing partai dengan cara membangun sistem demokrasi internal yang adil dalam setiap proses pencalonan pada kontestasi politik, dari tingkat terendah hingga pemilihan presiden.

Reformasi 2.0

Apa yang salah dengan parpol-parpol setelah berdemokrasi bebas lepas selama 2 dekade terakhir?

Peneliti LIPI, Syamsuddin Haris, dalam tulisannya “Keniscayaan Reformasi Parpol” (Kompas, 14 September 2018), mengatakan harapan membubung terhadap parpol seringkali bertolak belakang dengan realitas politik. Dalam praktik demokrasi kita hari ini, realitas parpol sungguh buruk.

Kini politik dipahami sekadar sebagai perjuangan merebut dan mempertahankan kekuasaan belaka; politik akhirnya hanya soal siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.

“Dampaknya bagi parpol-parpol kita luar biasa. Ideologi bukan hanya absen dari kehidupan parpol, tetapi justru menjadi barang haram,” katanya.

Kalaupun ada, ideologi parpol sekadar asesoris untuk memenuhi syarat keharusan oleh undang-undang. Fokus parpol akhirnya sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan tanpa mempersoalkan dasar etik, cara dan prosedur, serta standar kepatutannya menurut rasionalitas demokrasi.

Parpol mewarisi berbagai problem akut, antara lain tidak ada standar etik sebagai acuan perilaku bagi parpol dan para politisi parpol, sehingga kompetisi elektoral melalui pemilu dan pilkada diperlakukan sebagai pasar bebas bagi siapa saja.

“Tidak ada beban bagi para politisi jika sewaktu-waktu “loncat pagar” alias pindah parpol, sebab tidak ada standar moralitas yang dilembagakan dan diinternalisasikan ke dalam kehidupan parpol.”

Selain itu partai belum membangun sistem kaderisasi yang baku, yang inklusif, berkala, berjenjang, dan berkesinambungan, serta sistem rekrutmen yang terbuka, demokratis, dan akuntabel. Akibatnya, kompetisi pemilu dan pilkada menjadi “pasar bebas”, sehingga siapa pun bisa menjadi caleg pemilu ataupun paslon pilkada.

“Kapasitas dan integritas seringkali dikalahkan oleh isi tas alias kemampuan membayar mahar kepada oknum pengurus partai.”

Partai poltik juga mayoritas belum memiliki sistem tata kelola keuangan yang baik dan akuntabel. Di satu sisi parpol-parpol tidak memiliki sumber dana yang memadai karena iuran anggota tidak berjalan dan subsidi negara yang terbatas.

Di sinilah tampak waktunya keniscayaan mereformasi parpol. Tanpa reformasi parpol dan sistem kepartaian maka demokrasi Indonesia takkan lebih sebagai demokrasi elektoral yang bersifat prosedural belaka.

“Sejak reformasi politik bergulir hampir dua dekade yang lalu, parpol adalah satu-satunya institusi publik yang belum tersentuh reformasi,” kata Syamsuddin.

Partai politik harus segera menyerukan, sebutlah, Reformasi 2.0. Jika tak, partai-partai mungkin akan ditinggalkan konstituennya, juga diabaikan rakyat, yang amat sangat mereka butuhkan terutama pada tahun-tahun politik seperti sekarang ini. [Irwansyah/Didit Sidarta]