Reforma Agraria Sejati Harga Mati

Koran Suluh Indonesia Volume III Nomor 07, 2-15 April 2018

Koran Sulindo – “Tanah tidak boleh menjadi alat pengisapan, apalagi pengisapan dari modal asing terhadap rakyat Indonesia,” demikian antara lain dikatakan Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1960, yang dikenal sebagai pidato “Jalannya Revolusi Kita”.

Pada tahun itu pula terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Penetapan undang-undang ini dinilai sebagai tonggak paling penting dalam sejarah agraria Indonesia. Karena, pada masa-masa awal revolusi kemerdekaan, struktur agraria yang menjadi warisan feodalisme dan kolonialisme menjadi masalah utama yang membelenggu kaum tani.

Itu sebabnya, Presiden Soekarno lewat keputusan presiden kemudian menetapkan tanggal diterbitkannya UUPA sebagai Hari Tani Nasional. Bung Karno pun dalam berbagai kesempatan menyebut reforma agraria yang menjadi inti dari UUPA sebagai satu bagian mutlak dari revolusi Indonesia.

Ada lima prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya UUPA, yakni pembaruan hukum agraria kolonial menuju hukum agraria nasional; untuk menjamin kepastian hukum; untuk menghapus hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia; untuk mengakhiri pengisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah, dan; sebagai wujud implementasi atas Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 memberi kewenangan bagi negara untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun, jalannya sejarah mencatat hal yang berbeda dari tujuan mulia UUPA. Undang-undang itu sampai sekarang belum sepenuhnya mampu dijalankan oleh berbagai pemerintahan yang diberi amanat menyelenggarakan jalannya negara. Bahkan, pada masa pemerintahan rezim Presiden Soeharto diterbitkan tiga undang-undang yang bertentangan dengan semangat UUPA, yakni Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Pertambangan—yang semuanya diterbitkan pada tahun 1967, tak lama setelah Bung Karno dijatuhkan dari kursi kepresidenannya.

Dengan kehadiran tiga undang-undang itulah konflik yang berhubungan dengan agraria semakin sering terjadi dan meluas. Karena, dengan berbekal ketiga undang-undang tersebut, Presiden Soeharto melakukan pembangunan yang massif dan memberikan hak penguasaan lahan secara besar-besaran kepada korporasi dan segelintir orang. Lahan pertanian rakyat juga sering menjadi korban “perampasan” (land grabbing). Dalihnya: diperlukan pengadaan lahan demi kepentingan umum.

Yang bikin miris, konflik terkait agraria tersebut masih terus marak sampai sekarang. Padahal, pada tahun 2016 lalu, pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Kepala Staf Kepresidenan telah menerbitkan surat keputusan untuk membentuk kepanitiaan penggagas reforma agraria. Dalam surat keputusan itu ada lima agenda pokok yang akan dilaksanakan dalam rentang waktu Juni 2016 sampai Juli 2017, yakni penyelesaian konflik agraria; memperjelas obyek sasaran reforma agraria; pemberdayaan masyarakat; merancang peraturan, dan; membentuk lembaga reforma agraria di tingkat daerah.

Kenyataannya, data Konsorsium Pembaruan Agraria ( KPA) memperlihatkan, sepanjang tahun 2017 saja terjadi 659 konflik agraria, dengan luasan lahan mencapai 520.491,87 hektare. Jumlah konflik agraria ini meningkat 50% dibandingkan tahun 2016. Konflik-konflik pada tahun 2017 melibatkan sedikitnya 652.738 kepala keluarga.

Melihat kenyataan itu, pemerintah sudah seharusnyalah menjalankan reforma agraria dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar sebatas proforma atau pencitraan. Juga harus dapat mengontrol dengan baik pelaksanaannya, termasuk dalam upaya penegakan hukumnya, penataan organisasi pelaksananya, sistem administrasinya, pendidikan dan pelatihan, serta tentu saja pembiayaannya. Tanpa kontrol yang ketat, reforma agraria justru dapat menambah kisruh kehidupan berbangsa dan bernegara—yang bukan mustahil ujung-ujungnya bisa membuat negara kesatuan ini pecah atau setidaknya membuat semakin tingginya dinding segregasi di tengah masyarakat.[Purwadi Sadim]