Ilustrasi/ksp.go.id

Koran Sulindo – Sudah seribu hari sejak Joko Widodo menjabat Presiden RI, reforma agraria masih berjalan lambat dan tersendat. Program nomor 5 dalam Nawacita yang dijanjikan Jokowi sewaktu berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2014 seolah hendak mengulang reformasi agraria pada 1960 melalui Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang gagal bahkan sebelum dikerjakan.

Reforma Agraria Jokowi melalui program tanah objek reforma agraria (TORA) digagas membagikan 9 juta hektare tanah kepada rakyat. Di seluruh Indonesia saat ini tersedia 126 juta bidang tanah, namun baru 46 juta bidang yang bersertifikat. Reforma ini digagas untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan, dan sulitnya lapangan pekerjaan. Selama ini kepemilikan tanah di kalangan petani gurem dan buruh tani menjadi akar persoalan yang melahirkan lingkaran kemiskinan.

“Ketiga hal itu menjadi problem pokok dan mendasar yang dihadapi masyarakat perdesaan,” kata Jokowi, saat Rapat Terbatas Kabinet tentang Reforma Agraria pada 24 Agustus 2016, seperti dikutip situs presidenri.go.id.

Sebelumnya, Presiden telah menetapkan reforma agraria sebagai bagian dari Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017 melalui dalam Perpres No 45/2016 pada 16 Mei 2016. Terdapat 5 program prioritas, diantaranya kepastian hukum dan legalisasi atas TORA dan pemberdayaan masyarakat. Jokowi memerintahkan untuk segera mempercepat program ini, dengan fokus distribusi lahan pada buruh tani yang tidak memiliki lahan dan petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar.

Namun hingga November 2016 Jokowi mengaku belum menemukan skema pembagian lahan seluas 9 juta hektare pada rakyat.

“Sampai sekarang belum ketemu jurusnya. Gimana yang sudah diberi juga tidak dijual, itu jurusnya belum ketemu. Jadi saya stop dulu,” kata Jokowi.

Pemerintah disebutnya masih mengumpulkan bahan lahan-lahan yang sudah mencapai 9 juta hektare. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, mengatakan target program itu mencakup 4,5 juta penduduk miskin. Kebijakan ini bisa menambah kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,8 hektar menjadi 2 hektar per petani.

Ego Sektoral Tak Tertembus

Selain skema yang belum juga ketemu, soal ego sektoral kementerian/dan lembaga yang terlibat dalam program ini adalah persoalan besar.

Ketua Umum Serikat Hijau Indonesia (SHI), Ade Indriani Zuchri mengatakan sampai sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria, dan lembaga yang terlibat masih jalan sendiri-sendiri. Kantor Staf Presiden yang bertugas mengkoordinasi antar kementerian itu, tak mempunyai kewenangan memutuskan.

“Harusnya Presiden Jokowi turun langsung sendiri. Apalagi tahun 2018 nanti sudah tahun politik, saya khawatir program ini bisa terbengkalai,” kata Ade pada koransulindo.com.

SHI terlibat dalam program TORA pada 2 kabupaten di Sumatera Selatan.

Sampai kini juga, masing-masing kementerian/lembaga tak memiliki indikator yang sama soal implementasi reforma agraria. Masing-masing memiliki TORA versinya masing-masing.

Dari skema Tanah untuk Objek Reforma Agraria (TORA) yang diperuntukkan untuk redistribusi lahan, angka yang signifikan justru didapat dari pelepasan kawasan hutan, yakni sebesar 4,1 juta hektar. Sedangkan TORA dari tanah-tanah terlantar hanya sebesar 0,4 juta hektar. Karena itu program ini masih tergantung pada pelepasan status kawasan hutan yang kewenangannya berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Susahnya, sudah sejak awal diputuskan leading sector dalam program ini adalah Kementerian ATR/BPN. Sampai menterinya diganti dalam reshuffle kabinet Jilid I 2 tahun lalu, tak pernah terdengar hal ihwal pembagian tanah dari kementerian itu. Peta indikatif yang memuat objek tanah yang bisa diredistribusi tak pernah dipublikasikan; data tanah-tanah eks-HGU yang terlantar yang bisa dijadikan objek reforma agraria tak pernah tersedia.

“Sampai saat ini pihak-pihak yang diberi mandat untuk melaksanakan program land reform, justru memiliki resistensi terhadap ide land reform itu” kata pakar hukum agraria dari Universitas Indonesia, Suparjo Sujadi, September 2016, seperti dikutip hukumonline.com.

Masalah ego sektoral dalam pelaksanaan reforma agraria ini sudah terjadi sejak agenda reforma agraria mulai diagendakan kembali pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Ego sektoral itu luar biasa besarnya. Kita butuh pemimpin yang kuat dan secara ideologis memahami konsep reforma agraria yang sejati,” kata Suparjo.

Tak Bisa Ditunda

Awal Juli ini pemerintah menyatakan masih terus mengupayakan program ini berjalan sesuai skema yang telah ditetapkan. Melalui redistribusi lahan, pemerintah berharap masyarakat dapat menggunakan lahan secara produktif sehingga bermanfaat bagi meningkatnya ekonomi masyarakat.

Jokowi menyebut masih mengevaluasi target sasaran dari kelompok-kelompok masyarakat yang akan mendapatkan lahan.

“Kita akan mencari kelompok masyarakat, mencari koperasi, mencari pondok pesantren yang memiliki visi-visi seperti ini kan juga tidak gampang. Karena memang ada kriteria-kriteria yang sudah disusun,” kata Jokowi, sambil berkata program ini akan terlihat realisasinya bulan ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menyatakan penurunan jumlah rumah tangga petani (RTP) dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013) dari 31, 17 juta menjadi 26,13 juta RTP. Sebagian besar RTP (55,33 persen) merupakan petani gurem, hanya memiliki tanah kurang dari 0,5 hektar atau petani penggarap yang tidak memiliki tanah.

Areal tanah pertanian juga terus berkurang sebagai dampak alih fungsi menjadi tanah nonpertanian dan tumpulnya UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah perkotaan juga terjadi sebagaimana ditunjukkan dalam studi penggunaan tanah perkotaan di sejumlah kota di Pulau Jawa pada 1995. Mayoritas penduduk menguasai tanah kurang dari 200 meter persegi dan hanya sebagian kecil menguasai tanah lebih dari 200 meter persegi.

Hanya negara yang bisa menghentikan laju ketimpangan ini.

“Negara memang harus hadir untuk menyelesaikan persoalan masyarakat, dan bukan sekadar singgah atau bahkan absen,” kata Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM, Maria SW Sumardjono, dalam tulisannya yang bertarikh 23 September 2016.

Membiarkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan dan pemilikan tanah bagi sebagian besar masyarakat adalah kesewenang-wenangan. Menutup mata terhadap konflik penguasaan tanah di dalam kawasan hutan yang tak kunjung terselesaikan secara tuntas adalah sikap korup. Presiden Jokowi harus turun tangan sendiri agar reforma ini tak lagi setengah hati seperti yang dulu-dulu. [Didit Sidarta]