Realitas Kini Semakin Berkelindan dalam Dunia Seni Rupa

Ilustrasi: Lukisan The Issue karya Ostheo Andre/YUK

Koran Sulindo – Batas realitas dan virtualitas agaknya semakin kabur. Seseorang membuat ‘status’ di media sosial dan berinteraksi di dunia maya berkelindan dalam kehidupan kita. Eksistensi orang di jagad maya itu kadang juga menjadi tolok ukur keberadaan diri, senyatanya. Seolah memang benar teralami dan terindera. Namun bukankah hal itu juga nyata bila memang terjadi?

Atas dasar itulah Direktur Pendhapa Art Space Ganes Satya Aji mengajak sebanyak 27 perupa yang mempunyai nama terkenal dihadirkan untuk membaca kembali perihal kenyataan dalam seni rupa, bagaimana ke-27 perupa tersebut mengartikulasikan kontestasi realitas dewasa ini dalam karyanya. Pameran yang bertajuk Representasi yang dibuka oleh Vice President PT Sritex Solo, Iwan Kurniawan Lukminto, ini juga menandai dibukanya galeri seni rupa Pendhapa Art Space yang baru.

“Galeri ini diharapkan menjadi ruang alternatif yang mendukung karya-karya seniman untuk dapat bertemu dan berinteraksi dengan para penikmat seni,” ujar Ganes.

Kurator Suwarno Wisetrotomo tengah menjelaskan ihwal karya-karya yang dipamerkan kepada Vice President PT Sritex Iwan Kurniawan Lukminto/YUK

Sementara Suwarno Wisetrotomo, pengamat seni rupa yang tinggal di Yogya, melontarkan pertanyaan tentang apa sesungguhnya pengertian kenyataan. Terlebih dalam keadaan sekarang, yakni kenyataan dan maya hadir secara bersamaan, dalam ruang dan waktu. Akibatnya yang nyata bisa tereduksi dan maya bisa menjadi sangat nyata.

“Maka, datanglah era simulakra, yang maya bisa semakin dianggap nyata. Reaksi semacam ini hadir dalam ruang seni rupa. Setidaknya, dalam relasi antara seniman dengan kenyataan,” kata Suwarno yang bertindak selaku kurator dalam pameran ini.

Realitas semacam itu, menurut Suwarno, kini semakin berkelindan dalam dunia seni rupa. Setidaknya berkelindan dalam relasi antara seniman dan kenyataan. Pada suatu era, perupa memburu ‘kenyataan’ (alam) untuk ditampilkan kembali dalam kanvas mereka. Di antara mereka ada yang ‘meniru’ alam, ada yang menuangkan impresinya, atau ada yang mengabstraksikan.

“Karena itulah sering terdengar pendapat para perupa bahwa karyanya bertumpu pada kenyataan. Tentu saja akan berujung dalam bentuk yang beraneka rupa,” ujarnya.

Hari Budiono dalam pameran yang berlangsung 6 – 18 Mei ini menghadirkan karya berjudul ‘Paidi di Negeri Korupsi’. Dalam kanvas, Hari Budiono melukiska situasi getir itu melalui sosok Paidi yang mengenakan seragam Korpri, bersandal, dengan gestur tubuh meleyot karena di pundak kirinya dibebani tas berisi sembako. Di sekitarnya puluhan tikus lalu-lalang. Sosok Paidi menjadi ambigu, apakah ia menjadi bagian tikus-tikus atau  menjadi korban tikus-tikus yang rakus.

“Karya ini menarasikan persoalan sosial dengan bentuk yang langsung, tetapi tetap menghadirkan makna yang berlapis. Hari Budiono dengan mengolah realitas yang disaksikan, tetap memberikan ruang interpretasi pada penonton,” kata Suwarno.

Jika ranjang tak lagi menawarkan kenyamanan, apalagi justru menebar ancaman, ke mana lagi tubuh akan direbahkan untuk melepas ketegangan? Jika gosip bertumbuh bagai jamur, di mana lagi kebenaran akan didapat? Karya Ostheo Andre menghentak karena realitas semacam itu berhasil digubah dengan kuat melalui karya tiga dimensional, ‘The Issue’.

Realitas pseudo kenyamanan dam berjamurnya gosip, menurut Suwarno, menjadi realitas baru dalam bentuk abstraksi kasur kain berisi kapuk yang ditumbuhi cendawan berbentuk bibir. Kita, lanjutnya, langsung terkoneksi dengan sejumlah realitas lain; kasur sejenis itu menunjukkan lapis kepemilikan, cendawan bibir menunjukkan bahwa kasur itu tak lagi sehat, dan jamur itu menjadi semacam ancaman, posisi kasur yang digulung juga mengisyaratkan fungsi, ruang dan kepemilikan sekaligus. “Karya ini kombinasi antara pencapaian artistik dan kekuatan metafora yang menohok kesegala lapis serta penjuru,” ujarnya.

Karya tiga dimensi ‘ Ibu – Pahlawan Sejati’ yang dihadirkan Dunadi dinilai Suwarno bersumber pada ikatan emosional yang begitu besar terhadap ibunya. Wajah berkerudung, senyumnya yang lepas, seluruh keriput di wajah dan kedua tangannya adalah narasi pengalaman sepanjang hayat sebagai ibu bagi anak-anaknya. Dalam pandangan luas juga bisa dimaknai sebagai ibu bagi semesta.

“Karya ‘Ibu-Pahlawan Sejati’ mewakili emosi setiap orang. Setiap orang menempatkan ibu sebagai hero sejati,” ungkap Suwarno.

Itulah beberapa karya yang tampil dalam pameran Representasi. Melalui pameran ini, kata Suwarno, dapat dilihat bahwa realitas yang sungguh dipahami dan kemudian diendapkan dalam pikiran serta jiwa, diolah dengan metafora yang tepat, berpotensi menghadirkan kejutan-kejutan. “Mengejutkan karena karya-karya tersebut menghadirkan ‘realitas baru’ yang memprovokasi dan menggugah kesadaran kritis serta kesadaran reflektif,” kata Suwarno. [YUK]