Rapor Merah dari Komnas HAM untuk Pemerintahan Jokowi-JK

Ilustrasi/kontras.org

Koran Sulindo – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberi rapor merah pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam hal penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat karena tidak terdapat kemajuan.

“Merah untuk yang HAM berat, itu yang paling parah karena sama sekali tidak ada pergerakan, tidak ada kemajuan,” kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, dalam diskusi “4 Tahun Pemerintahan Jokowi, Bagaimana Wajah HAM Hari Ini? ” di Jakarta, Jumat (19/10/2018), seperti dikutip antaranews.com.

“Soal kasus HAM berat, Jokowi belum lulus,” kata Taufan, di Jakarta, Jumat (19/10/2018), sepertid dikutip bbc.com.

Menurut Taufan, Komnas HAM telah menyerahkan berkas-berkas kasus pelanggaran HAM kepada Jaksa Agung sejak 2002. Berkas yang diserahkan antara lain Peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius (petrus) pada 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II pada 1998, peristiwa Talangsari pada 1989, kerusuhan Mei pada 1998, dan peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.

Ditambah tiga berkas pelanggaran HAM berat di Aceh, yaitu kasus Jambu Kepok, kasus Simpang KKA dan yang paling akhir, kasus Rumoh Geudong yang diserahkan kepada Jaksa Agung pada 6 September 2018 lalu.

Sampai saat ini tidak terdapat langkah konkret dari Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas-berkas pelanggaran HAM berat tersebut ke tahap penyidikan dan penuntutan sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan atau justice delayed is justice denied,” katanya.

Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Politik dan Keamanan justru mewacanakan penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang kemudian diubah menjadi Tim Gabungan Terpadu Penyelesaian Pelanggaran tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Selanjutnya tim gabungan tersebut dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi sehingga jalan satu-satunya penyelesaian adalah melalui mekanisme judisial.

Selain pelanggaran HAM berat, Komnas HAM menyatakan konflik sumber daya alam masih mewarnai perjalanan empat tahun pemerintahan Jokowi-JK. Terjadi pergeseran dari isu perkebunan, pertambangan dan kehutanan menjadi pembangunan infrastruktur.

Kasus intoleransi serta pelanggaran atas hak kebebasan berekspresi pun terjadi dalam pemerintahan Jokowo-JK, seperti penyerangan jamaah Ahmadiyah di NTB yang penyelesaiannya tidak menyeret aktor pelaku utama ke pengadilan. Juga menjamur tindakan persekusi oleh ormas dan kelompok massa yang dilatarbelakangi perbedaan pandangan pun muncul dengan menggunakan media sosial untuk memobilisasi massa.

Menurut Taufan, realisasi janji penuntasan kasus HAM selama ini berhenti pada tataran pernyataan publik. Jokowi disebutnya tak pernah memerintahkan Kejagung secara tegas untuk menggulirkan perkara HAM ke pengadilan.

“Untuk menyelesaikan dalam satu tahun tidak mungkin, tapi bisa untuk memberikan arahan yang tegas, misalnya agar Jaksa Agung segera membentuk tim penyidik. Itu jelas, bukan hanya pernyataan,” kata Taufan, seperti dikutip bbc.com.

Bahas 6 Kasus Pelanggaran HAM berat
Pada Juni 2018 lalu, Komnas HAM menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, membicarakan tindak lanjut penyelidikan kasus HAM berat.

“Komnas HAM, sekali lagi tetap menekankan bahwa pihak penyidik dalam hal ini Jaksa Agung itu kita mintakan untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan yang sudah dilakukan Komnas HAM. Setelah itu baru kemudian memutuskan langkah-langkah apa yang harus diambil oleh pihak Kejaksaan Agung,” kata Taufan, saat itu.

Komnas HAM menyatakan terdapat enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang menjadi perhatian khusus, yaitu tragedi 1965-1966, peristiwa talangsari, penembakan misterius (petrus), peristiwa semanggi I dan II, serta penghilangan paksa para aktivis.

“Tadi ada pembicaraan untuk bisa mulai dari beberapa kasus yang setelah tahun 2000,” kata Taufan.

Hanya Bisa Diselesaikan di Pengadilan
Pada 6 Agustus 2018 lalu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Choirul Anam mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu perlu diselesaikan secara yudisial, yaitu melalui pengadilan. Tak ada jalur atau metode lain dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Sampai detik ini satu-satunya pengaturan undang-undang yang mengatur soal pelanggaran HAM berat pada masa lalu hanyalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (tentang Pengadilan HAM). Enggak ada yang lain selain itu. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut, satu-satunya mekanisme yang mengatur adalah soal mekanisme yudisial, enggak ada mekanisme yang lain. Nah dalam kerangka tersebutlah Komnas HAM bekerja,” kata Choirul, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (6/8/2018), seperti dikutip kompas.com.

Berdasarkan UU Pengadilan HAM tersebut, Komnas HAM hanya memiliki fungsi penyelidikan. Dengan bukti permulaan yang ada, kesimpulan hasil penyelidikan diserahkan kepada Jaksa Agung untuk dilanjutkan menuju proses penyidikan. [DAS]