Koran Sulindo – Pemberian izin ekspor terhadap PT Freeport Indonesia hingga Oktober mendatang disebut sebagai kekalahan pemerintah dalam bernegosiasi. Bahkan keputusan tersebut menjadi rapor buruk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, ancaman arbitrase Freeport sesungguhnya hanya gertakan. Walau awalnya Menteri ESDM Ignasius Jonan melawan, namun pada akhirnya menjadi takut.
Padahal ketika Freeport menghentikan produksinya, maka tentu saja akan berdampak terhadap harga sahamnya. “Hasilnya bisa saja harga saham Freeport bakal anjlok,” kata Fahmy seperti dikutip CNN Indonesia pada Selasa (15/8).
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan tidak mempersoalkan perpanjangan kontrak Freeport hingga 20141. Syaratnya perusahaan tersebut mau menjual sahamnya hingga 51 persen kepada pemerintah.
Luhut menilai Freeport bersedia mematuhi peraturan dengan membangun fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral. Juga bersedia akan melepaskan sahamnya sebesar 51 persen kepada pemerintah.
Fahmy beranggapan Freeport tidak akan melakukan hal itu. Terlebih posisi tawar Freeport lebih tinggi ketimbang pemerintah. Bahkan Fahmy sama sekali tidak percaya Freeport akan melepaskan sahamnya hingga 51 persen itu kepada pemerintah.
Faktanya hingga hari ini Freeport hanya mau melepaskan 30 persen. Dengan pemegang saham mayoritas, maka Freeport bisa saja memutuskan tidak membagikan deviden. “Hanya orang bodoh yang mau melepaskan saham mayoritas,” kata Fahmy menambahkan.
Agar tidak dibilang “kalah”, pemerintah, sebut Fahmy, harus tegas dan berani memutuskan sesuatu. Semisal, memberhentikan ekspor konsentrat sebelum Freeport benar-benar mematuhi aturan pemerintah seperti mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Kontrak Karya (KK). [KRG]