Koran Sulindo – Perlu tidaknya militer dilibatkan dalam penangan terorisme masih menjadi isu yang berkembang di media massa. Bahkan orang tertinggi di militer Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, hampir tiap hari muncul di berita berbicara tentang hal itu. Terakhir, usai menyampaikan ceramah kebangsaan di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Minggu (4/6) malam, Gatot mengatakan TNI tidak meminta peranan apapun dalam Undang-Undang Antiterorisme yang setahun ini rancangan undang-undangnya dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
“Soal UU Antiterorisme, TNI tidak pernah meminta apapun juga. TNI disuruh apapun juga siap, karena keselamatan anak cucu bangsa Indonesia tergantung bagaimana yang merumuskan undang-undang teroris,” kata Jenderal Gatot, seperti dikutip antaranews.com.
Sementara di acara sama anggota DPR Hanafi Rais mengatakan wacana pelibatan tentara itu adalah usulan pemerintah.
“TNI itu memang sudah sejak awal dalam draf itu disebutkan menjadi bagian dari lembaga atau aparat pemerintah yang dilibatkan dalam pemberantasan atau penanggulangan terorisme,” kata Hanafi.
Perang?
Sebelumnya, sekitar 1 minggu lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan perlunya pelibatan militer dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Kewenangan TNI itu dimintanya masuk di dalam RUU Antiterorisme dan Presiden Jokowi meyakini Menko Polhukam Wiranto sudah mempersiapkan alasan-alasan mengenai perlunya TNI masuk dalam RUU itu.
Menko Polhukam mengatakan terorisme sudah menjadi musuh bersama.
“Untuk melawan mereka kita juga harus total, kalau total berarti seluruh komponen bangsa juga ikut terlibat, baik itu polisi, masyarakat, dan TNI,” kata Wiranto, usai Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (29/5), seperti dikutip setkab.go.id.
Sementara Kapolri Jenderal TNI Tito Karnavian mengaku sudah berdiskusi dengan Panglima TNI dan Menko Polhukam, dan sepakat penanganan terorisme harus komprehensif, tidak bisa hanya dilakukan satu instansi, apalagi hanya dengan penegakan hukum.
“Perlu ada kegiatan preventif (pencegahan), perlu ada kegiatan penindakan, dan ada kegiatan pasca penindakan yang disebut dengan deradikalisasi atau rehabilitasi. Ini perlu melibatkan banyak unsur,” kata Tito.
Wacana memasukkan TNI dalam menanggulangi pemberantasan terorisme disambut baik parlemen, baik DPR, DPD, maupun MPR.
Ketua DPR RI Setya Novanto mengatakan saat semua pemimpin lembaga negara bertemu di Istana pada 30 Mei lalu, isu itu salah satu yang diperbincangkan.
“Masuknya TNI untuk ikut menanggulangi terorisme sudah dibicarakan secara teknis. Mudah-mudahan tidak ada masalah lagi,” kata Setya, seperti dikutip dpr.go.id.
DPR sendiri, paling tidak beberapa anggota dewan, sudah sejak awal sebenarnya mendukung ide itu bahkan sebelum Jokowi mengusulkan.
Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, misalnya, sudah melakukan kunjungan kerja ke Detasemen 81 Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, pada 12 Oktober 2016.
“Kita ingin melihat sejauh mana kesiapan Detasemen 81 dalam menangani masalah terorisme dengan segala sarana dan prasarananya serta bagaimana mengantisipasinya, itu yang ingin kita lihat,” kata anggota Pansus Habib Aboe Bakar Alhabsyi, seperti dikutip dpr.go.id.
Menurut politisi PKS itu, masih banyak area yang belum mampu dijangkau kepolisian, misalnya penanganan terorisme di pengunungan, kapal laut, pesawat terbang, istana ataupun kedutaan besar Indonesia.
“Akan lebih baik bila penanganan teror yang spesifik seperti itu diberikan kepada satuan khusus, seperti Satuan Gultor 81 Kopassus yang sudah menunjukkan kemampuannya dalam operasi Wolya di Dun Muang Thailand hingga KM MV Sinar Kudus di Somalia,” kata Aboe Bakar.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang Terorisme Muhammad Syafi’i mengatakan Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu sudah separuh jalan, dan diharap bisa selesai tahun ini.
Pembahasan RUU ini dimulai Mei tahun lalu.
Masalah utama selain non teknis, menurut Syafi’i, secara substansi revisi yang diajukan pemerintah hanya berisikan soal penindakan.
“Pencegahan dan penanganan korban sama sekali belum disentuh,” katanya.
AS, Bulgaria, dan Cina
Pelibatan TNI dalam masalah terorisme ini ditolak misalnya Komnas HAM dan Imparsial. Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sesungguhnya sudah ada dalam Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU No 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat 2 dan ayat 3).
“Mengacu pada pasal itu sebenarnya presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sepanjang ada keputusan politik negara,” kata Al Araf, pada 31 Mei lalu.
Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tersebut merupakan bentuk tugas perbantuan untuk menghadapi ancaman terorisme yang secara nyata mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial negara.
“Di sini pelibatan militer seharusnya menjadi last resort (pilihan terakhir), yang dapat digunakan presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme,” kata Al Araf.
Di seluruh dunia, hingga saat ini, pelibatan militer dalam penanganan terorisme hanya dilakukan Amerika Serikat, Cina, dan Bulgaria. Namun hanya 2 negara yang di belakang itu mendasarkannya pada UU.
Di AS, gara-garanya adalah serangan teroris pada dua menara kembar gedung World Trade Centre di New York pada 11 September 2001. Setelah itu Presiden George Bush menandatangani, atas persetujuan Kongres, Otoritas Penggunaan Militer untuk melawan Al Qaeda. Aturan ini diulang lagi, misalnya oleh Obama saat melawan ISIL (ISIS) pada hari-hari terakhir ia menjabat presiden AS.
UU Anti Teror Cina yang disahkan pada 2015 mengizinkan pelibatan militer melawan terorisme, namun hanya untuk aksi-aksi di luar negeri Cina.
Satu-satunya negara yang mempunyai UU yang mengesahkan pelibatan militer dalam perang melawan teror hanyalah Bulgaria. UU itu disahkan akhir 2016 lalu. [DAS]